Tampilkan postingan dengan label tambang. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tambang. Tampilkan semua postingan

31 Oktober 2014

Solidaritas Sosial

Oleh Frans Obon
 TAMPAKNYA  masih sangat relevan jika kita berbicara mengenai tema solidaritas sosial dalam pekan-pekan terakhir ini pada saat masyarakat Manggarai Timur berhadapan dengan masalah tambang. Kita menyebut masalah tambang di Tumbak khususnya dan di Manggarai Timur umumnya lantaran karena masalah tambang di wilayah itu cukup panas dan santer belakangan ini serta mendapatkan perhatian publik termasuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia.
Dalam sepuluh tahun terakhir memang masyarakat Flores dan Lembata bergulat dengan masalah tambang. Oleh karena itu masalah tambang bukanlah spesifik masalah Manggarai Timur. Kendati persoalan tambang sudah lama mendera masyarakat kita, tapi seringkali kita memang tidak pernah memberikan perhatian lebih serius untuk menyikapi dan menanggapi gejolak di kalangan para petani kita di pedesaan terkait masalah tambang ini. Oleh karena itu tidaklah heran kita akan terus mengulangi masalah yang sama dan terantuk pada persoalan yang sama dan jatuh dalam keteledoran yang sama. 

29 April 2014

Sinode Tolak Tambang


Oleh FRANS OBON

Salah satu keputusan penting Sinode Keuskupan Ruteng pada tahun 2014 adalah menolak pertambangan di Manggarai karena dinilai merusak keutuhan ciptaan.  Dalam konferensi pers, Jumat (17/1/2014) Romo Dr Marthin Chen mengatakan, dari berbagai diskusi selama sinode, diputuskan bahwa semua aktivitas yang merusak lingkungan baik oleh masyarakat maupun oleh pertambangan ditolak. Semua pihak diminta ikut menjaga keutuhan ciptaan , termasuk pemerintah yang berwenang mengeluarkan izin pertambangan agar ikut serta menjaga keutuhan ciptaan (Flores Pos, 20 Januari 2014).
Uskup Ruteng Mgr Hubert Leteng pada awal sinode menegaskan pentingnya umat Katolik Manggarai menjaga keutuhan ciptaan dan menolak pembangunan yang merusak lingkungan hidup dengan dalih meningkatkan pendapatan asli daerah. Menurut Uskup, tidaklah benar kesejahteraan rakyat diwujudkan dengan merusak lingkungan dan hutan. Gereja Katolik Manggarai berkomitmen untuk membangun kesadaran umat bahwa sumber daya alam itu terbatas. Gereja punya hak dan tanggung jawab untuk membangun kesadaran umat mengenai keterbatasan sumber daya alam dan kesadaran untuk menghormati keutuhan ciptaan.

27 Juli 2009

Masyarakat Lokal

Oleh Frans Obon

BANYAK dari kita berharap berlebihan dari kunjungan Menteri Kehutanan MS Kaban ke Batu Gosok, Manggarai Barat. Karenanya kita tunggu-tunggu apa kata menteri. Ternyata di luar harapan banyak orang, dia bicara secara normatif saja. Dia bicara dalam bingkai tugas dan wewenangnya. Dia bilang bahwa Batu Gosok di luar kawasan konservasi TNK. Kalau ada di dalam kawasan hutan lindung, maka langsung dipidana.

30 Juni 2009

Jangan Lagi Korbankan Petani

Oleh Frans Obon

SALAH SATU sisi yang mencuat dalam masalah tambang adalah pengklaiman hak atas tanah. Pemerintah termasuk jago memberi label baik melalui pernyataan politik mereka maupun melalui regulasi yang mereka tetapkan. Lahan-lahan yang belum digarap secara retoris sering disebut lahan tidur dan lahan kosong. Pada waktunya lahan kosong ini dianggap sebagai tanah tak bertuan, bukan milik masyarakat lokal, melainkan milik negara. Lalu, merasa sebagai representasi negara pemerintah boleh menggunakan dan memberikannya kepada siapa saja atas nama kepentingan negara dan atas nama kepentingan rakyat. Tapi dia tidak sadar bahwa negara berkewajiban melindungi hak warga negaranya termasuk dari perampasan hak masyarakat oleh negara.

26 Juni 2009

Tambang

Oleh Frans Obon

BEBERAPA tahun belakangan ini, orang-orang Flores dan Lembata berteriak: tolak investasi tambang di Flores-Lembata. Investasi tambang akan merugikan petani. Tambang tidak memberi nilai tambah pada petani. Tambang merusak lingkungan dan menghancurkan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) seperti dicanangkan pemerintah. Tanah adalah aset petani. Kerusakan yang diakibatkan tambang tidak akan dengan mudah dipulihkan. Mereka melihat tambang di Sumbawa, mereka saksikan di Buyat dan mereka tercengang melihat Papua.

20 November 2008

Katakan Cukup untuk Bencana

Oleh FRANS OBON


Komisi Justice, Peace and Integrity of Creation (JPIC) Ordo Fratrum Minorum (OFM) bersama kelompok Manggarai di rantauan Jakarta, menggelar diskusi bersama mengenai tambang besar terbuka di Manggarai. Kelompok Tenang Tanage (Mengenang Tanah Air) ini menyerukan agar segera menghentikan tambang besar terbuka di Manggarai karena tidak saja menganggu ekosistem, tetapi juga sebagai bentuk perampasan terhadap hak-hak rakyat setempat. Diskusi ini merupakan bentuk kepedulian terhadap tanah Manggarai dan dilihat sebagai proses peradaban besar di masa depan, yakni proses penyadaran massal dan komprehensif di setiap komunitas basis di Manggarai. Proses pencerahan di komunitas basis akan membangunkan kesadaran masyarakat setempat mengenai bencana ekologis di masa depan.

Masalah tambang karenanya bukan saja perkara ekologis, melainkan perkara iman dan tuntutan moral. Secara teologis, kita memuji Tuhan di atas tanah tempat kita berpijak. Kepedulian masyarakat akan tambang itu didasarkan pada keprihatinan iman kristiani. Karenanya masalah tambang adalah juga perkara kemanusiaan. Demi mengejar mitor kesejahteraan rakyat, pemerintah bersekutu dengan investor untuk membuka usaha tambang besar terbuka di Manggarai. Dalam proses penciptaan kesejahteraan ini, rakyat diabaikan. Rakyat tidak jadi subjek melainkan objek. Begitulah diskusi kelompok Tenang Tanage itu.
Yang paling menarik dari sini adalah munculnya kepedulian warga Manggarai rantauan terhadap masalah ekologi di Manggarai. Ada satu keprihatinan bersama bahwa katakan cukup terhadap bencana ekologis yang terjadi di Manggarai. Memang kita akui bahwa pada masalah tambang, warga rantauan berhadapan dengan pemerintah dan pemodal. Maka mudah mereka mengambil posisi berhadapan dengan pemerintah dan pemodal. Tetapi ketika bencana ekologis yang ditimbulkan oleh makin merusaknya hutan lindung di Manggarai, warga rantauan bersikap mendua. Karena mereka berhadapan dengan rakyat, berhadapan langsung dengan ayah dan ibu mereka, saudara dan saudari mereka. Maka amat sulit kelihatannya ketika berhadapan dengan masalah hutan, di mana penduduk setempat tidak mau peduli dengan masalah hutan. Mengubah hutan lindung yang ditetapkan pemerintah menjadi kebun. Mereka berada dalam posisi dilematis.
Yang ingin kita tegaskan di sini adalah hendaknya lawa Manggarai melakukan proses penyadaran di setiap komunitas basis untuk mengatakan tidak terhadap semua tindakan yang menimbulkan bencana ekologi. Ya hutan, ya tambang. Dengan mengaca pada bencana bebera waktu lalu, orang Manggarai hendaknya sama-sama satu kata: cukup untuk bencana. Cukup babat hutan. Tolak tambang.


Flores Pos / Bentara /Bencana / 21 November 2008


05 Oktober 2007

Jangan Korbankan Rakyat Lembata

Oleh: FRANS OBON

Ada babak baru dalam masalah tambang di Kabupaten Lembata. Di tengah pro dan kontra tambang, pemerintah Kabupaten Lembata menerima penyerahan tanah dari beberapa orang warga yang mengaku diri punya hak atas tanah tersebut. Namun dari empat suku di wilayah pertambangan, masyarakat menolak dan menyebut penyerahan itu sebagai sesuatu yang ilegal.

Kita memandang titik ini dari keseluruhan pro dan kontra persoalan tambang di Kabupaten Lembata amat krusial dan mungkin juga rawan menimbulkan konflik. Ada dua sudut pandang, yang membuat kita mengambil kesimpulan ini, sekaligus kesimpulan kita harus ditempatkan dalam konteks mengingatkan pemerintah Kabupaten Lembata akan bahaya yang bisa ditimbulkan dari pro dan kontra soal tambang di kalangan masyarakat pada titik pro dan kontra penyerahan hak ulayat.

Pertama, demonstrasi masyarakat menolak tambang di Kabupaten Lembata adalah persoalan antara masyarakat dan pemerintah (yang disokong DPRD Lembata). Ini artinya konflik yang terjadi adalah konflik vertikal antara masyarakat dan pemerintah. Konflik demikian tidak mengkhawatirkan kita karena masyarakat memiliki saluran untuk menyampaikan aspirasi mereka melalui lembaga-lembaga perwakilan rakyat.

Kedua, namun dengan penyerahan tanah oleh sekelompok orang yang mengklaim dirinya berhak, maka konflik menjadi bercabang yakni tidak saja dengan pemerintah melainkan horisontal antarmasyarakat. Masalahnya sekarang tidak lagi sekadar polarisasi pendapat dan sikap soal tambang yang risikonya masih terbilang kecil. Tetapi ketika polarisasi itu sampai pada tingkat penyerahan tanah, maka masalah selanjutnya adalah saling klaim atas hak ulayat di masyarakat. Ini berarti konflik bergeser ke level horisontal.

Kita khawatir dengan situasi ini. Karena dari alasan yang diberikan masyarakat yang menolak tambang, tampak sekali kekhawatiran mereka soal kehilangan tanah dan ladang serta jati diri mereka sebagai sebuah masyarakat adat. Tanah bagi masyarakat adalah soal hidup dan mati. Karena itu masalahnya menjadi sangat sensitif di sini.

Kita sekadar mengingatkan bahwa konflik pertanahan sudah sering menyulut pertikaian berdarah. Kita mengingatkan pemerintah Kabupaten Lembata agar bertindak arif di sini. Masyarakat kita yang rapuh ibarat bejana tanah liat akan mudah pecah ketika mereka berhadapan dengan soal hidup dan mati. Itulah sebabnya ketika masalah bergeser begini, kita mengingatkan pemerintah Kabupaten Lembata agar berpikir ulang dan berpikir keras agar tidak mengorbankan rakyat Lembata. Apa artinya cita-cita tambang menyejahterahkan rakyat, ujung akhirnya menyulut konflik horisontal.

*Flores Pos / Bentara / 6 Oktober 2007