29 April 2014

Sinode Tolak Tambang


Oleh FRANS OBON

Salah satu keputusan penting Sinode Keuskupan Ruteng pada tahun 2014 adalah menolak pertambangan di Manggarai karena dinilai merusak keutuhan ciptaan.  Dalam konferensi pers, Jumat (17/1/2014) Romo Dr Marthin Chen mengatakan, dari berbagai diskusi selama sinode, diputuskan bahwa semua aktivitas yang merusak lingkungan baik oleh masyarakat maupun oleh pertambangan ditolak. Semua pihak diminta ikut menjaga keutuhan ciptaan , termasuk pemerintah yang berwenang mengeluarkan izin pertambangan agar ikut serta menjaga keutuhan ciptaan (Flores Pos, 20 Januari 2014).
Uskup Ruteng Mgr Hubert Leteng pada awal sinode menegaskan pentingnya umat Katolik Manggarai menjaga keutuhan ciptaan dan menolak pembangunan yang merusak lingkungan hidup dengan dalih meningkatkan pendapatan asli daerah. Menurut Uskup, tidaklah benar kesejahteraan rakyat diwujudkan dengan merusak lingkungan dan hutan. Gereja Katolik Manggarai berkomitmen untuk membangun kesadaran umat bahwa sumber daya alam itu terbatas. Gereja punya hak dan tanggung jawab untuk membangun kesadaran umat mengenai keterbatasan sumber daya alam dan kesadaran untuk menghormati keutuhan ciptaan.
Gereja Katolik Manggarai, sejak masalah tambang ini muncul, telah menjadikannya keprihatinan pastoral. Uskup Hubert lewat kehadirannya dan misa ekologis yang dibuatnya di lokasi-lokasi pertambangan  sudah dengan jelas menunjukkan sikap tegas menolak pertambangan. Uskup datang ke lokasi pertambangan di Nangarawa, Manggarai Timur dan mengadakan misa ekologis, Minggu, 25 Juli 2010 (Flores Pos, 27 Juli 2010). Uskup mengunjungi lokasi pertambangan Serise dan mengadakan misa  ekologis pada minggu pertama masa Adventus, 28 November 2010 (Flores Pos 30 November 2010). Namun Uskup gagal mencapai lokasi pertambangan di Batu Gosok, Kamis 18 November 2010, karena ada onggokan tanah dan alat berat yang diparkir di jalan menuju Batu Gosok (Flores Pos, 19 November 2010). Sebelum ke Batu Gosok, Uskup mengadakan misa ekologis di Paroki Roh Kudus Labuan Bajo.
Hampir lima tahun lebih masyarakat Flores dan Lembata dihadapkan dengan masalah pertambangan. Berbagai pernyataan, analisis, dan demonstrasi dilakukan untuk menolak pertambangan. Gereja Katolik Flores memainkan peranan penting dalam advokasi penolakan pertambangan. Oleh karena itu sebagai konsekuensi logis yang mau tidak mau harus diterima adalah kenyataan bahwa Gereja Katolik vis a vis berhadapan dengan pemerintah yang menerbitkan izin pertambangan. Gereja Katolik (terutama hierarki dan kelompok awam Katolik) berhadapan dengan pemimpin-pemimin pemerintahan lokal di Flores dan Lembata, yang juga adalah orang-orang Katolik. Hal ini adalah sebuah atmosfer baru di dalam kehidupan Gereja Katolik Flores, sekaligus membongkar perspektif dan pemahaman umat Katolik Flores mengenai Gereja Katolik itu sendiri.
Tidak perlu dipahami lebih jauh sebenarnya. Sederhana saja. Duka dan kecemasan umat adalah duka dan kecemasan Gereja Katolik. Kendati banyak umat belum menyadari pentingnya masalah ini,  Gereja Katolik tetap harus menjalakan tugasnya untuk membimbing dan mengajar. Hasil survei Keuskupan Ruteng sendiri membuktikan bahwa tingkat kepuasan terhadap masalah ekologi, sosial politik dan ekonomi hanyalah 31 persen lebih.
Masalah kita sebanarnya di sini yakni duka dan kecemasan yang dihadapi Gereja Katolik belum menjadi duka dan kecemasan sebagian besar umat. Padahal, duka dan kecemasan itu adalah duka dan kecemasan umat sendiri. Dalam usia 100 tahun kehadiran Gereja Katolik di Manggarai, kita belum sepenuhnya merasakan apa yang dirasakan oleh Gereja Katolik, yang seharusnya kita merasakan bersama apa yang dirasakan Gereja Katolik (sentire cum ecclesiae). 
Diangkatnya masalah ini dalam Sinode Keuskupan Ruteng dan adanya keputusan menolak pertambangan adalah energi baru untuk meningkatkan kesadaran masyarakat Manggarai tentang pentingnya menjaga keutuhan ciptaan di mana lingkungan merupakan salah satu dari pilar relasi segi tiga antara Tuhan, Manusia dan Ciptaan lainnya 

Bentara, 27 Januari 2014

Tidak ada komentar: