10 Januari 2008

Agama dan Politik (1)

Menarik Garis


Oleh FRANS OBON


Pembicara dari kiri ke kanan: Umar Ibnu Alkhatab, Rm Fery Dheidae (moderator), Pdt YAR Tarully, dan Rm Sipri Sadipun. Foto : frans obon


MENULIS agama dan politik barangkali sama dengan menarik sebuah garis. Terserah dengan warna apa. Bagaimana menarik garis agama dan politik itu dalam lembaran kehidupan negara, itulah yang coba dijawab dalam diskusi Dian/Flores Pos yang berlangsung di aula Bung Karno, Penerbit Nusa Indah, Sabtu (15/12). Tilikannya dalam konteks Flores dan Lembata.

Tema diskusi adalah “Agama dan Politik” (Kemarin, Hari Ini, dan Esok).Tema ini ditilik dari perspektif agama-agama. Romo Sipri Sadipun Pr membahasnya dari perspektif Katolik, Pdt Y A Reiwutty Tarully dari perspektif Protestan, dan Umar Ibnu Alkhatab dari perspektif Islam. Moderator Romo Feri Dheidae Pr, Kepala Litbang Pusat Pastoral Keuskupan Agung Ende.
Mendiskusikan agama dan politik menimbulkan pertanyaan. “Saya lihat tema agama dan politik lagi hangat sekarang ini. Apakah ada kaitannya dengan aksi para imam beberapa waktu lalu?” begitu kata Direktur Pusat Pastoral Keuskupan Agung Ende, Romo Cyrilus Lena Pr.
Pater Hendrik Kerans SVD, salah satu editor pada Penerbit Nusa Indah juga menyangsikan relevansi berbicara mengenai agama dan politik. Pengalaman dia selama lima tahun di Jepang, rakyat Jepang tidak sibu-ribu (tidak mau repot) dengan politik. Di Jawa selama dua tahun studi di Universitas Gajah Mada, masyarakat tidak sibu-ribu juga dengan politik. Namun ketika kembali ke Flores, orang hangat berbicara politik. Mungkin sangat erat kaitannya dengan kemiskinan – paling tidak kemiskinan yang membuat orang tertarik kepada politik. Menurut dia, tidak relevan berbicara agama dan politik karena politik adalah ajang perebutan kekuasaan dan kekuasaan itu dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Pertanggungjawaban kepada Tuhan itu urusan pribadi.
Direktur Penerbit Nusa Indah Lukas Lege bilang, agama tidak saja mentobatkan politik, tetapi juga politik mentobatkan agama. Dalil dua arah semacam ini menimbulkan beragam tafsiran. Barangkali agama berperan mengoreksi politik yang menyimpang dari tujuan mulianya menyejahterakan rakyat dan politik mesti pula membangkitkan kesadaran agama untuk tidak terbuai dalam permainan politik lalu melupakan fungsi kritis agama dan sikap membisu agama terhadap aktivitas politik.
Agama dan politik tidak hanya menjadi topik pembicaraan bagi masyarakat yang miskin secara ekonomis. Tentu. Meskipun fakta amat jelas bahwa di masyarakat yang miskin secara ekonomis, politik diselewengkan untuk kepentingan ekonomis. Justru karena itu agama mesti memberikan kontribusi korektif pada praktik politik. Di negara-negara maju juga, agama tetap saja menjadi salah satu faktor determinan dalam praktik dan perilaku politik. Amerika Serikat, betapapun sekulernya, tetap saja perilaku politik pemilih (rakyat) dipengaruhi agama yang dianut.
Pertanyaannya memang apakah agama menutup mata terhadap penyelewengan politik kekuasaan? Pertanyaan lain, apakah agama juga hanya sekadar urusan pribadi dengan Tuhan, tak ada kaitannya dengan kehidupan sosial? Dengan kata lain, dapatkah kita menyingkirkan agama di sudut kehidupan privat belaka dan hanya sebatas ritual untuk keselamatan diri dan tak ada urusannya dalam kehidupan publik, sehingga agama hanya soal kesalehan pribadi?
Jika agama punya peran korektif pada praktik politik atau agama memiliki kekuatan moral politik, bukankah itu sumbangan agama terhadap praktik dan perilaku politik? Politik tentu saja didasarkan pada nilai dan kepercayaan. Seberapa besar nilai dan kepercayaan ini berperan dalam politik, sangat ditentukan oleh pemegang kekuasaan politik. Sebab politik bagaimanapun adalah sebuah ruang dengan berbagai kemungkinan.
Kalau di Flores dan Lembata sekarang, orang bilang korupsi merajalela dan praktik kekuasaan diselewengkan, atau seperti dikatakan Romo Sipri Sadipun, “Uang telah menyelewengkan politik”, dapatkah agama berdiam diri?
Diskusi agama dan politik yang digelar Dian/Flores Pos itu, memang dimaksudkan untuk mencari sebuah format, mungkin terlalu ideal untuk dikatakan format yang tepat, mengenai hubungan agama dan politik dalam membangun Flores dan Lembata ke depan. Karena kasat mata kita lihat, pulau ini terkenal kental religiusitasnya tetapi kental pula penyelewengan praktik politik kekuasaannya.
Soalnya adalah jika agama memiliki fungsi korektif terhadap politik, bagaimana membangun sinergi antara dua segi kehidupan yang mengklaim dirinya masing-masing otonom. Diskusi ini ingin membicarakan hal ini yakni membangun sinergi yang tepat dan mencari format baru mengelola hubungan agama dan politik. Agar anggur baru kehidupan ditempatkan dalam kerbat baru yang lebih kuat, sebuah kerbat yang menyimpan demokrasi sebagai cara hidup baru (habitus baru).

DARI perspektif agama, kekuasaan politik bersumber dari Allah. Presentasi ketiga narasumber, Romo Sipri Sadipun, Pdt. Y A Reiwutty Tarully, dan Ibnu Alkhatab menegaskan klaim ini.
Dalam visi Katolik, kata Romo Sipri, aktivitas politik mesti meningkatkan martabat kemanusiaan sebagai citra dan gambar Allah. Demikian pula sistem hukum harus pula menjamin kebenaran dan keadilan.
Namun, terdapat ketegangan antara visi dan praktiknya. Menurut Romo Sipri, dalam praktiknya politik kekuasaan telah menjauhkan politik yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan penghargaan terhadap martabat manusia dari kehendak Tuhan. Mesin-mesin kekuasaan negara menjauhkan politik dari visi sebagai pemberian Tuhan. Potensi penyelewengan menjadi lebih besar, sebab kuasa dan hukum dijadikan komoditas. Para tiran mengumpulkan uang dan kekuasaan untuk dirinya.
Bagaimana respon kita. Menurut dia, kita harus menyadarkan pemegang kekuasaan bahwa kuasa dan otoritas negara berasal dari Tuhan. Kita antar kembali mereka kepada Tuhan karena mereka sudah jauh dari asalnya. Istilah Romo Sipri, ada gejala gerhana Tuhan dan agama bertugas mengembalikan kekuasaan itu ke sumbernya, meletakkannya kembali pada dasar dan basisnya yang tepat.
Tapi usaha pertobatan ini susah-susah gampang karena sebagian besar dari kita mendukung kekuasaan yang tiran, karena kepentingan (interese) pribadi dan karena takut. Orang tinggal diam, bahkan berkolusi dan mengambil bagian dalam ketidaktaatan terhadap kehendak Tuhan. “Paling sedih kalau Gereja, misalnya, tinggal diam dan tidak ambil bagian untuk mengoreksi aktivitas politik yang menyimpang ini”.
Praktik kekuasaan yang menyeleweng itu sebagian disebabkan oleh penolakan bahwa Allah ada di balik kekuasaan faktual. Karena itu orang mendapatkan kekuasaan itu melalui jalan kejahatan. Korupsi dan kolusi itu berakar di dalam dosa.
Pendeta Tarully mengaku, hampir sama visi Katolik dan Protestan karena memang beriman pada Kristus yang satu dan sama. Iman dan politik adalah dua sisi yang berbeda, namun tidak bisa dipisahkan. Dua garis spiral, yang punya titik pisah dan juga titik singgungnya. Meski begitu, keduanya punya otonominya masing-masing, yakni tulus versus cerdik, vertikal versus horisontal, sehingga tidak saling subordinasi. Namun keduanya terarah pada pelayanan yang sama. Karena ada titik singgung, maka ada pula kemungkinan untuk membangun kerja sama. Meski berada di dua panggung, gereja memberikan kritik bila politik menyimpang dari moralitas. Gereja dengan fungsinya sebagai imam dan nabi harus memberikan kritik terus menerus pada aktivitas politik.
Tidak saja sebatas itu, agama selain sebagai agen perubahan dan pembangunan, juga menjadi perantara, menjalankan fungsi mediasi bila terjadi konflik baik internal maupun eksternal. Ini berarti pula Gereja berusaha memberikan solusi. Pendekatan yang diambil adalah bertemu dan bertatap muka, lalu berdialog. Di sini akan ada ruang bertemu dan berdialog untuk mencari solusi. Dialog ini mesti berlangsung dalam suasana kemitraan. Dialog menuntut pula jangan ada dusta di antara kita, berlangsung jujur tanpa kepentingan. Sebab dunia porakporanda karena kepentingan. Tugas kita, katanya, adalah mencari sahabat, bukan mencari musuh. Musuh kita bersama adalah ketidakadilan dan ketidakbenaran. “Dunia kita adalah dunia malu hati, karena kita tidak berani menegur bila sesama kita berbuat salah. Agama tidak boleh menjadi nabi untuk istana, tapi nabi untuk umat,” katanya.
Menurut dia, gereja memberikan masukan yang dianggap oleh gereja baik untuk dilakukan. Kalau gereja memberikan kritikan dengan tulus, mestinya juga pemerintah menerimanya dengan tulus.
Dalam konsepsi Islam, begitu kata Ibnu Alkhatab, politik atau negara mutlak dibutuhkan untuk mendukung terlaksananya ajaran Islam. Memang benar, katanya, dalam al-Quran dan hadis Nabi tidak dijumpai perintah secara jelas agar umat Islam mendirikan negara tetapi dapat diperoleh ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis Nabi yang secara implisit dapat dipahami bahwa adanya negara bagi umat Islam untuk dapat melaksanakan ajaran Islam merupakan tuntutan syariat yang mutlak adanya.
Ibnu bilang, di masa lampau terutama pada awal kemerdekaan dan pada dekade pertama kekuasaan Orde Baru, relasi Islam dan negara telah menimbulkan ketegangan. Sejarah Islam kontemporer ditandai dengan kemandekan politik dalam hubungannya dengan negara karena Islam dianggap bisa menjadi pesaing kekuasaan dan karenanya dapat mengusik basis kebangsaan negara.
Memang ada kelompok yang ingin menjadi Islam menjadi ideologi negara. Namun, keinginan tersebut telah ditelan oleh sejarah bangsa ini yang justru mayoritas beragama Islam. Tidak semua umat setuju dengan gagasan menjadikan Islam sebagai agama negara. Juga tidak semua umat mendukung partai-partai politik yang berideologi Islam.
“Apa yang ingin saya katakan dengan gambaran ini adalah, adanya arus besar bangsa ini yaitu mayoritas umat Islam lebih menghendaki Islam sebagai nilai-nilai sosial daripada kekuasaan politik formal. Arus besar umat Islam tampaknya lebih memilih untuk menerima posisi sejajar dalam konteks keindonesiaan dengan pemeluk-pemeluk agama lain daripada menjadi kekuatan politik formal yang membuat pemeluk agama lain tidak kerasan hidup di negeri ini,” katanya.
Dalam konteks ini, begitu katanya, kalau kita masih percaya pada moral politik, maka agenda utama kita sesungguhnya bukan terletak pada sejauhmana pemikiran atau ajaran agama compatible dengan politik, tetapi sejauh mana agama tidak mengubah dirinya menjadi kekuatan politik dan sejauh mana kelompok-kelompok dominan menjadikan politik sebagai salah satu alat untuk memakmurkan masyarakat.
Menulis agama dan politik memang ibarat menulis garis. Karena agama harus menarik garis pisah yang jelas dari politik agar tidak terkooptasi dan disubordinasi. Karena ketika dikooptasi politik negara, agama hanya akan menjadi alat di tangan kekuasaan negara untuk mendapatkan legitimasi. Agamapun akan membisu ketika ketidakadilan dan ketidakbenaran merajalela. Namun di sisi lain agama sebagai sebuah institusi dalam masyarakat harus pula mengoreksi politik agar hakikat sejati politik tetap terpelihara. Garis itu bengkok, saling tindih, atau apapun hasilnya, amat tergantung pada kecermatan kita untuk selalu mencari format baru dan tepat dalam membangun hubungan agama dan politik.

Flores Pos Feature Agama dan Politik 19 Desember 2007

Tidak ada komentar: