28 Juni 2008

Petarung

Bagaimana partai politik di tingkat lokal -- Partai Penegak Demokrasi Indonesia -- merekrut bakal calon bupati dan wakil bupati melalui sebuah debat publik.

Oleh FRANS OBON


DI RUANG pertemuan hotel Sasandi Ketua Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI) Kabupaten Nagekeo Paul Nuwa Veto memimpin pertemuan “pemantapan”.
PPDI yang punya 4 kursi di DPRD Nagekeo, kabupaten baru yang dibentuk setahun lalu melalui Undang-Undang No. 2/2007 tentang Pembentukan Kabupaten Nagekeo, berhak mengajukan calon bupati dan wakil bupati dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) Agustus mendatang.
PPDI menggelar debat publik, Kamis (19/6) di aula Pondok SVD yang terletak di tengah-tengah Kota Mbay, satu-satunya tempat pertemuan yang cukup representatif. Gedung itu bisa menampung seribuan orang dan punya halaman luas untuk parkir kendaraan di bagian depan dan samping kiri masuk.
Empat kandidat bupati dan wakil bupati akan hadir dalam debat publik itu: pasangan Johanes Samping Aoh-Paulus Kadju, Aloysius Dengi Dando-Firmus Madhu Dhengi, Elias Djo-Herman Jos Dema Goa, Josef Juwa Dobe Ngole-Adrianus Satu.
Setiap pasangan sudah pasti punya pengikutnya yang akan hadir dalam debat publik itu. Lagipula, debat publik harus lebih diarahkan untuk menguji kompetensi para bakal calon.
Paul Nuwa Veto dan rekan-rekan separtainya Berno Nuwa, Marianus Waja, Isidorus Goa tidak mau “kecolongan”. Rapat pemantapan itu dimaksudkan untuk menyingkirkan berbagai kemungkinan terburuk dari debat publik semacan ini. Karena PPDI juga tidak mau debat publik ini jadi ajang saling melukai antara bakal calon. Mereka ingin debat ini serasional mungkin. Karena hasilnya akan dijadikan salah satu alat bagi partai untuk mengukur kompetensi calon sehingga membantu partai menentukan calon mereka untuk maju dalam pilkada.
Berno Nuwa menyodorkan kertas skor untuk para bakal calon kepada empat panelis, Pater Paul Budi Kleden SVD, Pater Philipus Tule SVD, Romo Bene Daghi Pr, dan Romo Aster Lado Pr.
Para pastor ini dianggap punya kompetensi untuk menguji kemampuan calon dan integritas mereka tidak diragukan. Jauh lebih penting adalah mereka adalah orang-orang yang bisa menarik garis batas yang jelas dari berbagai kepentingan politik yang tengah terjadi di Nagekeo. Pater Philipus Tule dan Pater Paul Budi Kleden adalah dosen di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero. Romo Bene Daghi sekarang tinggal di Seminari Menengah Johanes Berchmans Mataloko dan dosen Islamologi di STFK Ledalero, dan Romo Aster Lado adalah Kepala Perwakilan Yayasan Persekolahan Umat Katolik Ngada (Yasukda) di Mbay.
“Debat publik ini dibuat untuk mendapatkan calon yang akan diusung PPDI. Motivasi dasar kami adalah kami punya tanggung jawab untuk sukseskan Pilkada dan pelaksanaannya berkualitas. Debat ini bukan satu-satunya, tetapi masih ada proses lain yang akan dilakukan partai,” kata Paul Nuwa Veto.
Ketua DPRD Nagekeo ini bilang, isu primordialisme, suku, dan wilayah sudah bertebaran ke mana-mana. PPDI ingin mengeliminir isu-isu semacam ini melalui pendidikan politik yang lebih rasional. Debat publik tersebut dalam pandangan mereka merupakan bentuk pendidikan politik rakyat agar para pemilih lebih cerdas.
Proses ini kemudian meski digelar oleh satu partai, Paul dan kawan-kawannya menganggapnya sebagai sumbangan partai bagi pendidikan politik rakyat. Karenanya debat publik ini disiarkan secara langsung melalui stasiun radio setempat.
Untuk itu panelis diminta menggali lebih dalam visi, misi, dan program bakal calon. Tidak sekadar referensi, tapi harus menyentuh substansi dasar menyangkut strategi, komitmen, dan konsistensi para calon, kata Isidorus Goa.
“Membantu para bakal calon tahu peta masalah Nagekeo dan debat ini membantu mereka membaca peta masalah,” kata Romo Bene Daghi.
Moderator Frans Obon dari Harian Flores Pos akan mengatur lalulintas debat di dalam rambu-rambu tidak ada peluang untuk saling melukai dan menyingkirkan semua hal yang membuat diskusi tidak berjalan secara rasional dalam bingkai etika politik yang benar.
Tiap panelis diberi kesempatan presentasi visi, misi, dan program mereka selama 25 menit. Hitungannya, 25 menit ini akan dimanfaatkan oleh bakal calon bupati dan wakil bupati. Ini berarti waktu yang diberikan kepada para bakal calon 100 menit. Sekitar 100 menit berikutnya digunakan oleh panelis untuk menguji kompetensi calon melalui dialog dan tanya jawab.

SEBELUM Pkl. 15.00, orang-orang sudah ada di sekitar aula pertemuan. Di dalam ruang pertemuan, dua bakal calon Yohanes S Aoh dan Aloysius Dando telah duduk berdampingan. Saya menyalami keduanya. Klik, saya mengambil beberapa gambar.
Sedangkan dua bakal calon lainnya Yos Juwa Dobe Ngole dan Elias Djo belum datang. “Kita tunggu sedikit karena Pak Penjabat (Elias Djo) dan Pak Yos belum datang,” kata Paul kepada saya.
Lama menunggu. Orang-orang makin banyak. Panitia mengundang 300 orang. Di luar perkiraan, sekitar 500-an lebih orang menghadiri debat ini. Tidak lama kemudian Yos Juwa Dobe Ngole muncul. Sedangkan Elias Djo, melalui Short Message System (SMS) menyampaikan bahwa dia tidak bisa menghadiri pertemuan itu. Paul yang duduk bersebelahan dengan saya mengaktifkan handphonenya dan menelepon Elias. “Pak Penjabat tidak bisa hadir,” katanya kepada saya. Acara dimulai.
Marianus Waja yang membacakan laporan panitia menegaskan kembali bahwa PPDI punya komitmen untuk mendidik rakyat agar cerdas memilih, mendorong terciptanya politik bersih, dan beretika. Debat publik itu merupakan ruang yang disediakan bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam Pilkada Nagekeo. “Nagekeo untuk semua,” katanya.
Dalam sambutan pembukaan, Paul juga bilang bahwa ruang politik adalah wilayah publik dan kewajiban dan tanggung jawab partai untuk mendidik rakyat agar cerdas dalam menentukan pilihan. Dia minta debat publik bukanlah ajang saling cedera, tetapi pilihan komunikasi politik.
Debat ini menunjukkan pentingnya rekrutmen politik yang berkualitas dan mendorong partisipasi politik dari rakyat untuk menjawab kebutuhan Nagekeo. “Debat ini akan jadi medium yang efektif dalam merekrut calon secara terbuka, sehingga rakyat tahu visi, misi, dan program calon. Ini salah satu cara membawa Nagekeo menuju perubahan,” katanya.
Acara break. Minum. Kotak-kotak kue dibagikan. Hari makin sore. Orang-orang terus berdatangan. Ruang telah penuh. Orang-orang tertib. Diam. Tak ada hura-hura. Di luar aula utama, orang berdiri. Orang-orang berdiri dekat jendela, menonton ke dalam. Moderator mempersilakan bakal calon naik ke panggung, mengambil tempat. Empat panelis mengambil tempat: dua sisi kiri (Romo Bene Daghi dan Pater Philipus Tule ) dan dua di sisi kanan (Pater Paul Budi Kleden dan Romo Aster Lado).
Nani Aoh – sapaan akrab mantan bupati Ngada (1994-1999) yang duduk di sebelah kanan saya -- diberi kesempatan pertama. Nani tanpa kehadiran calon wakilnya Paulus Kadju menekankan pentingnya pemimpin Nagekeo menguasai data, kemudian data itu dikonstantir, lalu menyusun visi dan misi untuk memecahkan masalah.
Nagekeo seluas 1.416,96 Km² dengan jumlah penduduk 120.331 yang tersebar di tujuh kecamatan (Aesesa, Boawae, Nangaroro, Mauponggo, Wolowae, Keo Tengah, dan Aesesa Selatan) dengan kepadatan rata-rata 83 jiwa/Km² mau dirajut dalam kebersamaan.
Kabupaten baru ini menghadapi masalah pembangunan di sektor ekonomi yang dicirikan pendapatan domestik regional bruto (PDRB) masih kecil, masalah tenaga kerja, masalah ketimpangan antardesa dan kecamatan, ketimpangan pendapatan dan penguasaan aset, masalah penanaman modal, masalah pertanian yang produktivitasnya masih rendah dan lemahnya pelembagaan petani, masalah perkebunan, peternakan, perindustrian dan perdagangan, masalah transmigrasi dan urbanisasi, masalah sumber daya manusia, masalah kesehatan, dan masalah di tubuh pemerintahan sendiri.
Data Nani Aoh diambil dari data Badan Pusat Statistik (BPS) 2005 dikonstatir dengan deretan masalah tersebut untuk memproduksi visi, misi dan program-program konkret. Dia bilang dalam mengatasi masalah ini, perlu membangun solidaritas di kalangan rakyat Nagekeo. “Kita bangun dalam kebersamaan, tidak ada lagi kau-ngao. Kitalah yang bangun bersama,” katanya menjelaskan visinya, “Terwujudnya masyarakat Nagekeo yang sejahtera berdasarkan rasa kebersamaan dan solidaritas yang tinggi berkeadilan dan berkelanjutan”.
Dia berjanji akan membawa rakyat dalam kebersamaan. Rakyat tidak hanya pandai mengkritik, tetapi pandai pula membangun dirinya. Di bidang pemerintahan, dia akan melakukan pembenahan dengan cara the right man on the right place (menempatkan orang yang tepat pada tempat yang tepat). Pemerintahan akan dibenah dan diubah orientasinya menjadi pemerintah yang pro-rakyat. Selain itu, dia akan menekankan performance pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Jika performansnya tidak betul, “I am sorry, good bye”.
Aloysius Dando, yang berada di sebelah kiri saya bersama wakilnya Firmus Madhu Dhengi, menekankan pentingnya keterlibatan multistakeholder dalam membangun Nagekeo. Dia mengatakan akan memprioritaskan bidang-bidang infrastruktur karena menyentuh langsung pada kepentingan rakyat. Namun, pasangan ini tidak berani menjanjikan pendidikan gratis karena masalah pendidikan begitu kompleks.
Jika nanti terpilih, dia akan menjadikan Nagekeo kabupaten koperasi sebagai langkah memudahkan masyarakat mengakses dana-dana untuk membiayai usaha mereka. Peran koperasi itu penting karena seluruh kewenangan dan kedaulatan ada di tangan anggota.

ABG
Ini bukan singkatan anak baru gede, melainkan academic, business player, and government (akademisi, pelaku bisnis, dan pemerintah). Menurut Alo Dando, pasangan mereka akan memberi peran kepada kelompok akademisi dan kelompok dunia usaha. Sedangkan pemerintah hanya memfasilitasi. “Kita beri peran kepada rakyat,”.
Yosef Juwa Dobe Ngole, tampil sendirian tanpa calon wakilnya mengatakan, visi, misi para calon sama, hanya bahasanya saja yang berbeda. Undang-undang, kata dia, sudah mengatur secara detil. Karenanya, bagi dia, tinggal melaksanakan saja perintah undang-undang itu secara konsekuen, maka rakyat pasti sejahtera.
Keterlibatannya selama 17 tahun sebagai banker telah memberinya pengalaman bahwa uang (modal) bukanlah masalah. Bank-bank saat ini over likuiditas, tapi tidak ada orang yang pinjam.
Masalahnya terletak pada kepemimpinan (leadership). Seorang pemimpin akan jadi teladan kalau kata dan perbuatannya sama. Nagekeo yang akan dibangun, katanya, tidak saja sejahtera tapi bermartabat. Dia mencontohkan, seseorang punya mobil, tapi karena dibeli dengan uang korupsi, maka dia tidak bermartabat.
Membangun Nagakeo, “sederhana saja” mulai dari apa yang dimiliki rakyat. Rakyat punya apa? “Dekatkan mereka dengan pasar”. Dalam hal produksi, sawah misalnya perlu ada modal dan koperasi dan bank bisa membantu membiayainya. Untuk menjamin kehadiran investor, perlu stabilitas. “Kalau ini tidak beres, orang takut”.
Membangun Nagekeo membutuhkan aparat yang andal. Dia berjanji akan merampingkan struktur birokrasi, tidak terlalu banyak. Pegawai yang lainnya outsourching. Untuk menghemat anggaran, para pejabat tidak perlu membeli mobil dinas, melainkan sewa pakai. Dana sewa pakai itu dipinjam dari bank.
Agar jati diri masyarakat Nagekeo tidak hilang, maka dia mau membangun ekonomi rakyat berbasis budaya. “Semua yang kita lakukan akan sia-sia jika jati diri masyarakat tidak kuat. Bangsa yang kuat, juga secara budaya kuat”.

TEPUK TANGAN muncul dari para peserta. Para calon sudah tuntas sampaikan visi dan misinya. Gagasan, program dan strategi membawa rakyat Nagekeo ke hidup yang lebih sejahtera tertera di dalam buku-buku yang mereka telah siapkan.
Kini giliran panelis. Saya persilakan Romo Bene dan Pater Philipus untuk mengajukan pertanyaan atau pendapat.
“Luar biasa,” begitu kata Romo Bene membuka sesi ini. “Visi dan misi para calon memperkaya kita. Mereka mau jadi pemimpin Nagekeo karena merasa mampu. Mampu merasakan apa yang dirasakan masyarakat Nagekeo”.
Terkait sumber daya, kita mulai dari mana? Pertanyaan ini ditujukan kepada Nani Aoh. “Mulai dari diri sendiri,” jawab Nani Aoh.
Romo Bene beralih ke pasangan Alo Dando-Firmus Madhu. Soal penegakan hukum, hukum sudah tegak, lurus, lalu apanya yang bengkok sehingga perlu ditegakkan?
“Memperlakukan orang sama di depan hukum. Kalau salah, ya salah, kalau benar, ya benar. Jangan yang curi ayam dipenjara, koruptor tidak”.
Lalu, pertanyaan ke Yos Dobe Ngole. Ide aparat harus andal, the right man on the right place. Ini bukan hal gampang untuk dilakukan. Menemukan masyarakat Nagekeo yang jujur dan bersih tidak gampang. “Saya mau tanya, bagaimana aparat jadi andal?”
“Harus mulai dari diri sendiri. Diri sendiri harus jujur. Saya ingat pepatah latin, verba movent, exemplar trahunt”. Ada dua tipe kepemimpinan, lanjutnya, strong leader dan smart leader. “Yang kita atur itu manusia yang punya perasaan”.
“Pak Yos merasa mampu?” tanya Romo Bene.
“Ya, kita bisa lakukan,” jawabnya.
Mike dioper ke Pater Philipus. Dia mengangkat masalah tanah. “Bagaimana merancang bangun Nagekeo ke depan kalau konflik tanah terus meningkat. Kiat apa?”
“Mesti dibedakan dalam dua kelompok: tanah pemerintah dan tanah persekutuan adat,” jawab Alo Dando. Kalau tanah pemerintah, lihat kembali riwayat penyerahan tanah, aturan hukum yang berlaku, dan semua pihak harus tahu posisi dan aturan main. Kalau itu porsi pemerintah, maka pemerintah yang selesaikan. Kalau itu porsi tokoh adat, serahkan ke tokoh adat.
“Tanah memang masalah krusial,” kata Nani Aoh. Kita selesaikan masalah tanah itu berdasarkan kearifan lokal dan budaya. Kita perlu membedakan apakah ini masalah pidana atau perdata.
“Ke depan, perlu ada penelitian atau studi yang dilakukan oleh perguruan tinggi. Hasilnya akan jadi masukan bagi pemerintah untuk membuat kerangka kebijakan. Penelitian ini akan membantu atasi konflik tanah dengan lebih baik”.
“Tanah punya nilai ekonomis. Penyelesaian konflik tanah dikembalikan ke akar budaya”. Hukum nasional tidak memberikan penyelesaian yang adil. Penyelesaian adat memberikan rasa keadilan. Masalahnya, banyak masyarakat adat sudah tidak ada. Kembalikan penyelesaian masalah tanah itu kepada masyarakat. Dia setuju perlunya penelitian akademis mengenai masalah tanah.
Pater Philipus kembali mempertanyakan prinsip kebersamaan di dalam koperasi. Alo Dando percaya bahwa koperasi sebagai lembaga keuangan dengan prinsip kebersamaan menjadi institusi keuangan yang mampu membiayai usaha kecil mikro. Dia percaya lapangan kerja dapat tercipta lewat koperasi.
Yose Dobe Ngole mengatakan, bank dan koperasi saling melengkapi. Bank bisa menyalurkan kredit melalui koperasi. Karena koperasi dari segi jaringan sangat kuat. “Kita padukan modal dan jaringan sehingga koperasi jadi penyalur kredit perbankan. UKM paling bertahan terhadap gejolak ekonomi” katanya.
Satu pertanyaan lagi dari Pater Philipus. Saya rasa menukik. Dia bertanya mengenai kaderisasi ke Nani Aoh. Usia Nani Aoh, 63 tahun sekarang (lahir 14 Februari 1945).
Nani Aoh bilang, di jajaran birokrasi perlu peningkatan kualitas pejabat melalui pendidikan dan mereka disiapkan dengan baik untuk menerima tongkat estafet. Di luar birokrasipun, di partai, ada kader yang bagus. Parpol harus dilihat sebagai sarana latih untuk jadi pemimpin. Di sini perlu ada forum dialog antara pemimpin dan kaum muda. “Siapkan mereka untuk terima estafet.
Saya persilakan Pater Paul Budi Kleden dan Romo Aster Lado. Pater Budi bilang, transparansi penting baik di dalam pengelolaan keuangan maupun di dalam rekruitmen pemimpin. Dalam pemaknaan demokrasi kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, tetapi sering bukan untuk rakyat.
“Apa motivasi masing-masing bakal calon jadi pemimpin Nagekeo,” begitu dia bertanya.
Yos Dobe Ngole terhenti sejenak. Dia minum air. “Maaf.” Lalu berkata, “ Sejak kecil saya berkecimpung dengan masyarakat adat. Macam-macam masalah. Saya mencintai dan mengasihi kabupaten ini”.
“Pengalaman saya, mulai dari camat, sebagian besar waktu saya untuk rakyat. Dalam perjalanan, ada sukses dan gagal. Jika dikehendaki, saya kembangkan talenta itu, mengapa saya sembunyikan di bawah bantal. Sisa hidup ini saya abdikan untuk rakyat”.
“Saya merasa terpanggil untuk menggunakan kemampuan yang saya miliki, mengapa saya tidak bisa bangun daerah saya. Masih banyak yang butuhkan sentuhan-sentuhan pembangunan, butuh jalan yang lebih baik, listrik. Demi kepentingan rakyat saya datang,” kata Alo Dando.
Tiba-tiba listrik mati pkl. 19.30. Sekitar 10 menit hidup lagi.
“Ini (listrik mati) jadi motivasi saya untuk jadi bupati. Ada banyak dana,” lanjut Alo Dando.
“Duduk di sini saja, satu providentia Dei (rahmat Tuhan). Saya ingin hidup dengan masyarakat, ingin mendengar mereka,” kata Firmus Madhu.
Pater Budi tanya ke Nani Aoh. “Tadi dalam visi dan misi, Pak Nani gunakan kata saya, bukan kami. Bagimana komitmen dengan wakil bupati, jangan sampai hubungan dua orang ini (bupati dan wakil bupati) jadi macet”.
Karena saat presentasi tidak ada wakil, maka saya gunakan “kata saya”. Ke depan ada pembagian tugas yang jelas antara bupati dan wakil bupati. Jangan karena ego masing-masing, rakyat rugi. Kami akan bicarakan bersama-sama untuk memberikan terbaik kepada rakyat. “Saya tidak mau rakyat tertawakan dua pemimpin yang goblok itu”.
Yos Juwa Dobe Ngole bicara soal perampingan birokrasi. “Apakah itu mudah, padahal ada regulasi yang mengatur birokrasi,” kata Pater Budi.
Kendalanya memang regulasi yang rigid. “Masa satu masalah mesti lewat lima meja”. Kita butuhkan pemimpin yang kuat (strong leader). Undang-undang baik, masalahnya dalam pelaksanaan. “Mesti ada keberanian. Apalagi sekarang pemimpin dipilih rakyat”.
Romo Aster Lado bicara perlunya inovasi dan cara yang lebih cerdas menyejahterakan rakyat Nagekeo. Dia minta kandidat menjelaskan posisi mereka dalam menyelesaikan masalah tanah. “Kita tidak hanya duduk bersama, tapi duduk untuk selesaikan masalah dengan jelas”. Kedua, adalah pemimpin harus penuhi kebutuhan minimum warga.
Romo Aster bertanya soal pendidikan gratis ke Alo Dando. “Saya tidak berani menjanjikan pendidikan gratis. Masa seragam juga gratis. Jika terpilih saya akan melihat kemudahan-kemudahan apa yang bisa diberikan kepada murid dan guru”.
Masih ada waktu. Saya berikan kepada empat panelis satu pertanyaan lagi.
“Ingat ikan busuk mulai dari kepala. Saya sering kelakar, para pejabat mati karena serangan jantung karena kelebihan gizi, sedangkan rakyat mati karena kekurangan gizi,” kata Romo Bene.
“Bagaimana membangun pendidikan Nagekeo?” tanya Pater Budi.
“Kita semua bertanggung jawab untuk pendidikan anak-anak. Yang terpenting adalah anak bisa membaca, menulis, dan berhitung,” kata Yos Dobe Ngole.
Masalah kelulusan siswa harus menjadi atensi semua orang yang terlibat, kata Nani Aoh. Membangun pendidikan bukan membangun tembok yang indah. “Ini pekerjaan berat untuk kita. Komite sekolah harus berfungsi secara benar agar dana itu benar-benar dimanfaatkan untuk anak sekolah. Kadang-kadang tidak proporsional,” katanya.
Tidak mudah meningkatkan pendidikan. Kompetensi guru terbatas. Bagaimana bicara mutu guru kalau perutnya lapar. Harga buku juga sangat mahal. Bagaimana belajar, listrik tidak ada. Kebijakan pemerintah juga jadi awal kebangkrutan mutu pendidikan karena guru dididik secara instan. “Siswa kita bekali dengan life skill,” kata Firmus Madhu.
Malam makin larut. Saya persilakan para calon untuk masing-masing menggunakan satu menit terakhir memberi komentar terhadap debat publik ini. Kemudian debat ditutup. Di akhir debat, panitia menyodorkan kertas untuk ditandatangani para bakal calon. Isinya: mereka tidak akan mempersoalkan keputusan partai mengenai hasil akhir dari proses rekrutmen partai.
Para petarung ini kemudian berjabatan tangan.*

Flores Pos Feature Politik 28-30 Juni 2007

Email: franscoid@yahoo.com


1 komentar:

kreditukm.blogspot.com mengatakan...

Informasi yang menarik update terus pak untuk memberikan info yang terbaik bagi pembaca.

Lintang
http://kreditukm.blogspot.com