26 Juni 2009

Tambang

Oleh Frans Obon

BEBERAPA tahun belakangan ini, orang-orang Flores dan Lembata berteriak: tolak investasi tambang di Flores-Lembata. Investasi tambang akan merugikan petani. Tambang tidak memberi nilai tambah pada petani. Tambang merusak lingkungan dan menghancurkan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) seperti dicanangkan pemerintah. Tanah adalah aset petani. Kerusakan yang diakibatkan tambang tidak akan dengan mudah dipulihkan. Mereka melihat tambang di Sumbawa, mereka saksikan di Buyat dan mereka tercengang melihat Papua.

Orang-orang yang mengerti tentang tambang berkat pengetahuan yang mereka miliki dan berdasarkan pengalaman di tempat lain di belahan dunia yang mereka pelajari berdiri merapat di sisi petani Flores-Lembata yang minim pengetahuannya. Mereka berdiri di sisi masyarakat yang mudah dibohongi dan mudah ditipu oleh jargon pembangunan. Dibohongi oleh investor yang didukung oleh kongsi mereka di pemerintahan yang tidak lain adalah bupati dan wakil bupati yang mereka pilih.

Di sisi lain kita mendengar banyak sekali jargon pemerintah untuk meyakinkan masyarakat mengenai rencana investasi tambang. Mulai dari ancaman penggabungan kembali daerah mekaran baru dengan kabupaten induknya hingga perlunya menggunakan pendekatan budaya dalam penyelesaian konflik tambang serta mempertanyakan keterlibatan Gereja Katolik di dalam ranah kebijakan publik pemerintah.

Di daerah pemekaran baru, pemerintah bicara mengenai pendapatan asli daerah. Kalau pendapatan asli daerah tidak naik-naik, maka daerah mekaran baru itu akan digabungkan lagi dengan kabupaten induk. Mereka menebarkan ketakutan seolah-olah rakyatlah yang paling menikmati keuntungan dari daerah mekaran itu. Padahal justru sebaliknya merekalah yang menikmati keuntungan finansial dari daerah pemekaran baru. Para pejabat birokrasi membagi-bagi jatah jabatan. Membagi-bagi jabatan sama dengan membagi-bagi kue pembangunan di daerah mekaran baru itu. Mereka membentuk jaringan kekuasaan lewat rekrutmen birokrasi yang nepotisme dan menikmati proyek-proyek pemerintah yang mereka bagi-bagikan kepada kongsi politik mereka. Mereka mengkampanyekan jalan raya, proyek sarana fisik, dan proyek sarana kesehatan, tetapi kita semua tahu mereka menikmati kue pembangunan itu bersama pemilik modal dari kongsi politik mereka.

Anehnya, mereka hanya bicara mengenai pendapatan asli daerah tetapi mereka tidak bicara mengenai korupsi yang melipat-lipat di daerah mekaran baru itu. Padahal daerah mekaran baru itu dibajak oleh elite birokrasi dan sehabat kental mereka sang pemilik modal. Pemilik modal bekerja sama lebih erat dengan pemerintahan tersebut dan membentuk sebuah negara bayangan (shadow state). Pemerintah didikte oleh pemilik modal, yang mencukongi mereka pada waktu pilkada.

Elite pemerintahan berbicara mengenai kearifan budaya tetapi ajakan itu bukan sungguh lahir dari keinginan untuk menggunakan budaya sebagai medium memahami diri masyarakat dan komunitasnya, melainkan hanyalah alat di tangan penguasa iuntuk menguasai masyarakat. Dalam banyak hal, kita memanipulasi isu-isu budaya untuk mendukung kepentingan elite, bukan untuk pengembangan masyarakat. Kita memiliki banyak sekali kasanah tempat di mana kita bercermin dalam membangun masyarakat atau komunitas masyarakat setempat. Tapi yang terjadi budaya dimanipulasi elite birokrasi untuk mendukung kepentingan politik mereka bukan untuk memberdayakan masyarakat.

Di Manggarai, misalnya, pemberdayaan rumah gendang sama sekali tidak dimaksudkan untuk merevitalisasi peranan-peranan pemimpin adat di dalam masyarakat kita untuk memediasi dan menyelesaikan konflik-konflik di tingkat kampung atau mendorong perubahan sosial di kampung-kampung mereka, tetapi rumah adat (rumah gendang) didorong untuk menjadi sebuah pusat baru mobilisasi politik elite perkotaan yang ingin merebut kekuasaan. Politik rumah gendang ini berupa pemberian bantuan untuk pembangunan rumah adat bukan pertama-tama mau merevitalisasi peranan kultur masyarakat setempat demi memperkaya komunitas mereka, melainkan cara baru memobilisasi dukungan bagi kepentingan politik. Ketika konflik tambang terjadi, elite birokrasi kita mengajak masyarakat menggunakan medium kultur setempat untuk menyelesaikan konflik antara masyarakat lokal dan pemerintah. Namun sesungguhnya di balik itu, mereka mau memanipulasi budaya agar tidak ada suara yang lebih keras lagi mengkritik kebijakan mereka yang merugikan rakyat banyak.

Ajakan menggunakan pendekatan budaya memang amat cocok menjelang pergantian kepemimpinan di daerah (pilkada). Karena dengan budaya itu, diharapkan suara menentang makin menurun. Kesempatan itu digunakan untuk membangun kembali citra pemerintahan dan citra diri elite politik. Hal ini memudahkan kita mengerti fenomena bahwa di saat kita sedang gencar mengadvokasi masyarakat mengenai bahaya tambang, justru dari lokasi tambang tiba-tiba muncul surat dukungan politik untuk figur-figur tertentu. Menjadi jelas bagi kita bahwa masyarakat dalam ketidaktahuan mereka dimanipulasi untuk kepentingan elite politik.

Karena di sisi lain, sudah jamak kita tahu bahwa elite birokrasi kita menggunakan pola memacahkan masyarakat dalam dua kelompok untuk melemahkan kekuatan mereka dalam menilai kebijakan pemerintah. Masyarakat terbelah dalam dua kepentingan: membela kepentingan pemerintah yang dibaptis sebagai kepentingan banyak orang dan membela kepentingan komunitas mereka.

Lembaga yang membela kepentingan komunitas masyarakat lokal makin tipis sekarang karena politik kooptasi pemerintah telah menggurita ke dalam masyarakat. Masyarakat kita oleh kemiskinan seringkali menggadaikan persatuan dan kepentingan komunitas mereka dengan uang sirih pinang. Mereka tidak pernah memikirkan generasi masa depan mereka sendiri. Tidak banyak lembaga sekarang ini membela komunitas lokal karena telah terkooptasi oleh politik pemerintahan terutama politisasi proyek-proyek pemerintah untuk kepentingan politik kekuasaan. Barangkali dalam konteks itulah, ketika negara bersatu dengan pemodal, masyarakat menjadi lemah.

Dari Kedang dan kawasan Leragere, dari Riung hingga Labuan Bajo, masyarakat kita berteriak dan menjerit mengenai kemungkinan-kemungkinan yang terburuk dari investasi tambang. Kita semua ibarat kodok rebus yang airnya tengah mendidih. Kita semua terperangkap oleh operasi pemerintahan yang tertutup dan tidak transparan. Pemerintah kita menjual apa yang mereka sebut potensi kemakmuran bagi rakyat kepada investor. Mereka dibawa ke hotel-hotel mewah di Jakarta, ke tempat-tempat wisata, ke negara-negara asal investor. Mereka menikmati pelayanan prima dari pemilik modal. Mereka memberikan ijin kuasa pertambangan, tetapi masyarakat kita tidak tahu sama sekali bahwa tanah ulayat mereka, kampung mereka, dan lahan mereka telah diberikan kepada investor oleh pemerintah yang mereka pilih. Pemerintah yang sama ketika Pilkada bicara tentang kepentingan rakyat. Mereka menampilkan wajah ganda: mereka bicara kepentingan rakyat dan serentak menyembunyikan kepentingan mereka di balik kepentingan rakyat. Tambang memang menampilkan banyak wajah.

Flores Pos | Asal Omong | Tambang
| 27 Juni 2009 |

1 komentar:

AGUSTINUS GIUS GALA mengatakan...

Pemimpin dan Kepemimpinan Daerah

Sejak dimulainya otonomi daerah pada tahun 2004 hingga saat ini terjadi begitu banyak perubahan di daerah-daerah di Indonesia baik dalam hal kebijakan yang mengatur pemerintahan daerah itu sendiri maupun tentang perubahan dalam berbagai sektor sosial dan ekonomi masyarakat, khususnya di NTT. Salah satu hal yang ditekankan pada otonomi daerah adalah pemberian kewenangan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur daerahnya sendiri secara mandiri.

Desentralisasi "kekuasaan" pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam hal mengantur daerahnya bukanlah merupakan hal yang mudah dalam implementasinya karena yang terjadi adalah perubahan-perubahan yang mendasar yang mana tidak semua pemerintah atau "pemimpin" daerah siap untuk menghadapinya.

Pada kasus-kasus yang terjadi di NTT saat ini, yang sangat dibutuhkan adalah pemerintah yang diisi oleh para pemimpin, dan pemimpin yang dibutuhkan adalah yang mampu mengelola daerahnya baik masyarakat maupun seluruh potensi yang ada. Sekarang dapat kita lihat apakah pemimpin daerah yang ada NTT saat ini baik Gubernur, Bupati, dan sampai level yang terendah sudah memiliki kriteria itu?

Kalau kita berkaca pada kasus-kasus yang lebih hangat saat ini adalah di mana daratan pulau Flores (Lembata, Manggarai, Mabar,dll)ingin dijadikan "pusat tambang" dengan tanpa didahului dengan kajian yang lebih mendalam dalam berbagai aspek. Kalau seorang pemimpin yang mampu mengelola daerahnya pasti melakukannya, tetapi bagi seorang penguasa itu tidak perlu dipikirkan apalagi dilakukan.

Hal ini harus dicermati dan dipahami oleh seluruh masyarakat NTT karena toh yang menjadi korban adalah kita sebagai masyarakat bawah yang dibuat tidak memiliki power (powerless)oleh sistem dan kebijakan pemerintah yang represif.

Almh.Peter F. Druker seorang bapak manajemen moderen dunia mengatakan tidak ada negara atau daerah yang miskin, yang ada adalah negara atau daerah yang tidak terkelola dengan baik. Jadi berbagai maasalah pertambangan yang terjadi saat ini di NTT khususnya di beberapa kabupaten di Flores adalah sebagai bukti bagaimana pemerintahan itu tidak memiliki figur pemimpin yang benar-benar mau dan dapat mengelola pemerintahan yang adil, transparan, dan bertanggungjawab demi kesejahteraan masyarakat bukan pribadi maupun kelompoknya.