Polisi menangkap suami istri yang merekrut dua remaja putri berusia 13 tahun dan 17 tahun untuk bekerja di sebuah perusahaan di Jakarta. Polisi mengkategorikan kasus ini sebagai perdagangan orang.
Oleh FRANS OBON
Kasus perekrutan tenaga kerja, terutama perempuan dan anak-anak di Flores, yang dikategorikan ke dalam perdagangan orang (human trafficking) sudah banyak terjadi. Meski demikian, masih sedikit lembaga yang memberikan perhatian pada persoalan perdagangan orang ini di Flores.
Kasus terakhir dua orang remaja di Desa Lenang, Kecamatan Poco Ranaka, Manggarai Timur mau dibawa ke pulau Jawa. Kedua perempuan berusia 13 tahun dan 17 tahun itu direkrut untuk bekerja pada salah satu perusahaan di Jakarta dengan janji akan mendapatkan gaji sekitar Rp600 ribu hingga Rp700 ribu. Berkat laporan dari masyarakat setempat polisi menggagalkan keberangkatan mereka dan memproses hukum perekrut (Flores Pos edisi 15 Juni 2011).
Menurut polisi, perekrutan dua remaja tersebut sudah masuk ke dalam kategori perdagangan manusia, sehingga pelaku diancam dengan Pasal 9 UU No.21/199 tentang Pemberantasan Perdagangan Manusia.
Ini bukan kasus pertama. Sudah sering terjadi perekrutan berujung penelantaran. Karena itu dugaan kita, kasus-kasus perdagangan manusia di Flores ke depannya akan makin meningkat. Kita memiliki alasan untuk memperkirakan seperti ini.
Pertama, Flores sudah masuk dalam ekonomi pasar di mana uang menjadi faktor utama. Dulu lahan pertanian kita memproduksi padi, jagung, dan ubi-ubian dan kacang-kacangan dan sayur-sayuran sebagai sumber pangan. Puluhan tahun terakhir ketika kebun-kebun dipenuhi komoditas perdagangan, maka para petani kita sudah masuk dalam ekonomi pasar. Beras dan jagung dibeli di pasar. Aktivitas ekonomi pasar meningkat. Perempuan yang dulu hanya bekerja pada sektor domestik didorong untuk terlibat dalam ekonomi pasar ini.
Kedua, komposisi penduduk kita, di mana perempuan melebihi laki-laki membawa konsekuensi bahwa jumlah tenaga kerja perempuan ke depan meningkat dan keterlibatan perempuan dalam sektor ekonomi juga akan meningkat. Dalam konteks ekonomi desa di Flores, tenaga kerja perempuan tidak terbiasa dan tertarik untuk menjadi tenaga kerja di sektor pertanian. Selain karena luas lahan yang makin sempit dan kultur pembagian warisan yang mengabaikan hak perempuan, perempuan lebih tertarik bekerja di sektor jasa dan perdagangan.
Protokol Trafficking yang diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa di Palermo Italia tahun 2000 merupakan konvensi internasional untuk mencegah organisasi kejahatan transnasional yang melakukan perdagangan manusia, terutama perempuan dan anak-anak.
Ketiga, proses perekrutan umumnya dilakukan setelah membaca konteks lokal. Konteks lokalnya adalah lapangan kerja terbatas. Gaji tidak memenuhi standar upah minimum provinsi. Gaji tenaga kerja di Flores umumnya tidak sesuai dengan standar UMP.
Ketika diiming-imingi dengan gaji yang besar, maka perempuan-perempuan kita tergiur.
Keempat, minim informasi dan pengetahuan. Ini sejalan dengan tidak banyaknya orang atau lembaga yang menaruh perhatian pada masalah perdagangan perempuan dan anak di Flores. Terutama di pedesaan, calon pekerja perempuan tidak mendapatkan informasi dan pengetahuan yang benar mengenai modus dan cara-cara yang biasa digunakan untuk merekrut tenaga kerja dengan tujuan perdagangan orang. Karena itu mereka gampang ditipu.
Pendek kata, tugas kita ke depan adalah meningkatkan usaha-usaha untuk mencegah terjadinya perdagangan orang di Flores. Masyarakat digerakkan sampai ke akar rumput untuk menggalang solidaritas.
Bentara, 16 Juni 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar