Oleh FRANS OBON
MENGAPA masalah gizi buruk dan busung lapar tidak pernah tuntas kita selesaikan? Mengapa kejadian rawan pangan, yang sering kita plesetkan rawan daya beli, busung lapar dan gizi buruk selalu menjadi peristiwa tahunan?
Itulah pertanyaan kita semua ketika kita membaca berita dari Maumere bahwa tiga orang bayi menderita gizi buruk (Flores Pos edisi 21 April 2010). Sudah banyak dana digelontorkan untuk memperbaiki pengelolaan sektor pertanian, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi rakyat, namun semua usaha itu ternyata tidak bisa menghapus masalah kemiskinan yang memang menjadi akar dari busung lapar dan gizi buruk tersebut.
Masalah kemiskinan memang tidak pernah tuntas karena ukurannya bisa berbeda-beda. Tetapi fenomena busung lapar dan gizi buruk bisa kita atasi. Persoalan ini hampir sebagian besar disebabkan oleh salah kelola anggaran yang ada serta pilihan prioritas dan kebijakan yang diambil oleh para pemimpin kita di Flores. Sudah amat sering media ini menyampaikan bahwa para elite kita Flores tidak memiliki grand strategy untuk membenahi pertanian kita. Padahal hampir 80 persen masyarakat kita hidup dari pertanian. Yang terjadi adalah kita melompat dari satu prioritas ke prioritas lainnya tanpa membangun berdasarkan konteks masyarakat kita.
Kita misalnya dengan amat mudah mengalihkan prioritas kita dari pertanian ke pertambangan, padahal justru sektor pertanianlah yang menyerap sebagian besar tenaga kerja kita. Akibat dari kebijakan lompat-lompat dan tawar lari seperti ini, kita tidak membawa petani kita pada fokus yang lebih tepat dan kena sasar. Dampaknya kemiskinan bertambat akut.
Jika kita perhatikan dan cermati, hampir pada setiap Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dibuat dalam kerangka mencapai Millenium Development Goals (MDGs). Delapan MDGs itu yang harus dicapai pada tahun 2015 adalah mengentas kemiskinan dan kelaparan, pendidikan dasar bagi semua, mengusahakan kesetaraan gender dan memberdayakan kaum perempuan, menurunkan angka kematian bayi, memperbaiki pelayanan kesehatan ibu, memerangi HIV/AIDS, malaria dan berbagai penyakit lainnya, menjamin pembangunan yang berkeberlanjutan, dan mengembangkan kerja sama global untuk pembangunan.
Sulit rasanya kita akan mencapai target-target MDGs ini. Sebenarnya MDGs ini lebih merupakan sebuah tuntutan dasar bagi kesejahteraan masyarakat. Namun, beban masyarakat Flores untuk mencapai MDGs ini makin berat. Belum tuntas masalah kemiskinan dan kelaparan, kini tambah lagi dengan masalah HIV/AIDS yang makin meluas dan meningkat. Angka kematian ibu dan bayi masih tinggi. Belum lagi pembangunan yang tidak memperhatikan aspek keberlanjutan.
Barangkali masyarakat kita melihat MDGs sebagai sesuatu yang datang dari luar karena ditetapkan oleh bangsa-bangsa. Namun dari delapan MDGs itu, rasanya semua itu adalah masalah-masalah konkret yang memang menjadi medan perjuangan harian kita. Masalah yang menjadi pergumulan kita tiap hari. Itulah yang selalu kita hadapi. Kelemahannya adalah karena kita seringkali tidak tahu harus mulai dari mana. Hal itu terlihat dari prioritas pembangunan kita. Semua ini berawal dari seleksi pemimpin di Flores.
Busung lapar dan gizi buruk berakar dalam kemiskinan. Jangan kita lupa bahwa kebijakan dan tata kelola anggaran ikut di dalamnya mengapa kemiskinan tidak pernah tuntas di daerah ini.
Bentara, edisi | 23 April 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar