Oleh Frans Obon
TIAP tahun selalu ada pesta sambut baru. Kita selalu datang dengan semangat yang sama: merayakannya dengan penuh iman dan kemeriahan. Momen ini dijadikan semacam ”daerah tangkapan air”, kesempatan orang tua mengaku dosa-dosa mereka.
Sejauh yang saya lihat pada pesta sambut baru (komuni pertama), 8 November 2009 lalu di Paroki Onekore, Keuskupan Agung Ende ada banyak orang tua yang datang dan berkesempatan mengaku dosa. Meskipun masih ada yang sengaja menghindarinya. Belum lagi pihak sekolah menyediakan daftar hadir untuk bisa melihat bagaimana tanggung jawab orangtua membimbing anak dalam iman.
Persiapan yang terlihat cukup bagus dan partisipasi umat di lingkungan dan gabungan terutama pada perayaan triduum mencerminkan adanya tanggung jawab sosial dalam memekarkan dan menanamkan iman pada diri anak. Kehadiran umat pada perayaan triduum memang mencerminkan buah dari pola kepemimpinan suportif yang dikembangkan Gereja Katolik Flores, sebab bagaimanapun kepemimpinan kelompok umat basis cukup menentukan model kehidupan menggereja di tingkat akar rumput. Ketua gabungan dan lingkungan yang “mati angin” atau pemimpin yang bersikap taken for granted dalam menggerakkan umat basis bisa terlihat dari partisipasi umat di dalam aktivitas kehidupan menggereja. Hal itu tentu berdampak pula pada menguat atau melemahnya fungsi komunitas basis sebagai lokus dan fokus dari strategi pastoral Gereja Katolik Flores.
Partisipasi di dalam kehidupan gereja tentu saja tidak sebatas menggerakkan semakin banyak orang untuk menghadiri perayaan ekaristi atau kegiatan gerejawi lainnya, tetapi menggerakkan dan mendorong kehidupan komunitas basis agar menjadi ragi, garam, dan lilin yang ditaruh di atas kaki dian. Keterlibatan sosial kelompok umat basis mencakup partisipasi dalam politik yang berpegang pada landasan etika, mendorong pemerintahan yang transparan dan akuntabel, serta terlibat penuh dalam mencari solusi dari masalah-masalah kemanusiaan. Jika hal ini menjadi api dari gerakan komunitas basis, maka sudah tercapai tujuan dan cita-cita kehidupan umat basis di Flores yakni menjadi fokus dan lokus kehidupan Gereja Katolik.
Tetapi sejauh yang saya lihat dari beberapa kegiatan di beberapa Gereja, tampaknya birokratisasi sudah mulai masuk dalam perayaan ekaristi. Di Paroki Onekore, misalnya setelah perayaan ekaristi, ada sambutan-sambutan: dari panitia, wakil orang tua, wakil anak-anak, dan dari pastor paroki. Kalau Anda mengikuti acara-acara yang digelar di pemerintahan seperti pertemuan, seminar, dan lain-lain, struktur acaranya sama. Saya lalu berpikir, birokratisasi sudah mulai masuk dalam perayaan ekaristi. Beragam reaksi. Ketika acaranya bertele-tele, birokratisasi semacam ini amat mengganggu.
Apa yang ingin saya sampaikan adalah jika kita hanya terpaku pada gerakan keagamaan yang sifanya massal terutama pada soal kultus, maka tidaklah heran kita memang terjebak dalam rutinisasi dari kehidupan keagamaan kita. Perayaan kita meriah tetapi sepi dari praktik-praktik sosialnya. Akan menambah rutinisasi praktik keagamaan jika birokratisasi yang lazim di pemerintahan masuk di dalam praktik-praktik keagamaan kita. Dengan demikian birokratisasi akan menambah deretan panjang ritualisme agama.
Di samping hal-hal ini saya juga melihat bahwa ada perubahan yang cukup besar bahwa peristiwa komuni pertama sebagai sesuatu yang penting dalam tahapan kehidupan iman umat Katolikdidesain untuk makin meningkatkan komitmen sosial pada diri anak. Pesta-pesta yang meriah makin berkurang.
Kita percaya bahwa ekaristi adalah pusat kehidupan orang Katolik, tempat di mana seseorang berjumpa dengan Tuhan dan merayakan iman mereka dalam kebersamaan. Dimensi ini tetap dianggap esensial dan penting dari praktik keagamaan kita. Ekaristi adalah pusat dan kekuatan dalam kehidupan iman umat Katolik. Namun perayaan ekaristi mesti memiliki relevansi sosialnya dalam kehidupan konkret, sebab kata-kata “kita diutus” pada akhir perayaan adalah sebuah janji untuk mengamalkan inti iman itu di dalam kehidupan konkret di komunitas basis.
Katekese singkat selama perayaan triduum komuni pertama seperti di Paroki Onekore itu merupakan langkah tepat untuk menanamkan kesadaran sosial di dalam diri anak agar kelak mereka menjadi orang yang peka terhadap masalah-masalah sosial. Refleksi mengenai manna, misalnya dalam katekese tersebut membangkitkan kesadaran di dalam diri anak bahwa keamanan semu dalam kelimpahan materi di “tanah Mesir” bukanlah ideal utama orang-orang beriman, sebab hidup kelimpahan materi tetapi terjadi penindasan rohani dan jasmani adalah sesuatu yang hampa. “Allah mengenyangkan mereka dengan manna dan burung puyuh, suatu makanan suci karena turun dari surga. Di padang gurun tidak hanya ada keletihan tetapi juga kekuatan karena mereka dikenyangkan tanpa ada penindasan”, begitu bunyi katekese triduum hari pertama.
Pada hari kedua, temanya: “Kamu harus memberi mereka makan”. Peristiwa memberi makan lima ribu orang dengan cara menggandakan roti dan ikan dari seorang anak. Disebutkan bahwa langkah pertama melahirkan komitmen sosial adalah adanya rasa prihatin, kedua rela memberi dari kekuarangan. Kita hidup dalam kekurangan, tetapi kita rela memberi dari kekurangan itu. Ketiga, memberi adalah bagian dari perwujudan iman. Hari ketiga, “Inilah TubuhKu – Inilah DarahKu”. Disebutkan “ekaristi yang oleh Gereja dianggap sakramen luhur, Sakramen Mahakudus, harus merupakan satu kenangan akan Yesus sebagai pembebas”.
Yang menarik dari sini adalah bagaimana komuni pertama didesain untuk menbangkitkan kesadaran dan komitmen sosial. Tentu dengan katekese sederhana dan singkat semacam ini tidak dengan serta merta akan muncul komitmen sosial yang lebih besar secara serentak pula. Tidak! Tetapi seperti pepatah bilang, guta cavat lapidem (air setitik [yang menetes secara terus menerus] akan dapat melubangkan batu besar). Ini membutuhkan usaha tanpa henti untuk mengubah sebuah cara keagamaan yang mempedulikan keprihatinan orang lain. Iman yang tidak menutup mata terhadap masalah sekitar. Iman yang menjadi ragi bagi kehidupan sosial.
Saya begitu yakin bahwa apa yang kita petik sekarang tentu saja buah dari reksa pastoral di masa lalu dengan berbagai perspektif teologisnya, plus aliran filsafat di belakangnya. Sekaranglah giliran kita untuk memikirkan model penghayatan keagamaan dari generasi sekarang untuk kehidupan puluhan tahun kemudian. Desain pastoral sekarang akan menentukan pola dan model bagi penghayatan keagamaan kita puluhan tahun berikutnya.
Desain pastoral yang peduli dengan masalah sosial dan perlunya iman menjadi nyata dalam kehidupan tentu sebuah urgensi yang tidak dapat ditunda lagi. Tetapi menanamkan iman dan bertumbuhnya akar iman yang dalam bukanlah perkara mudah. Lingkungan sosial tempat di mana anak-anak kita bertumbuh bukanlah sebuah keterberian yang mudah. Dengan kata lain anak-anak kita tumbuh di dalam situasi masyarakat yang terfragmentaris, lingkungan sosial yang konsumeristis, dan lingkungan sosial yang segala sesuatunya diukur dengan uang dan asas manfaat (utilitarianisme dan pragmatisme).
Meskipun demikian, situasi tidak membuat kita patah arang. Sebaliknya kita mengambil langkah berani untuk menyiapkan generasi Flores 50 tahun ke depan, sebuah generasi yang solidaritas sosialnya tinggi, masyarakat yang mencintai kebenaran dan keadilan. Kerentanan situasi tersebut tidak membuat kita pesimistis tetapi sebaliknya memberikan kita kekuatan. Seperti Santo Paulus bilang, “Harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat, supaya nyata bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah bukan dari diri kami” ( 2 Kor 4:7).
Kita pun dapat berkata bahwa anak-anak kita adalah tunas di dalam bejana, yang perlu dirawat dan disiram imannya. Seperti dikatakan oleh teolog Henri de Lubac, “Hanya sesuatu yang berakar bisa hidup dan bertumbuh”. Kita punya obsesi agar iman berakar dan berkembang di sini agar iman itu bisa memberikan kita hidup.
Flores Pos | Asal Omong | 5 Desember 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar