18 September 2009

Bersama Lawan Kemiskinan

Oleh Frans Obon

KRISTEN dan Muslim: Bersama memerangi kemiskinan (Christians and Muslims: Together in overcoming poverty). Inilah ajakan yang diserukan Gereja Katolik kepada saudaranya yang Muslim pada akhir bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah. Pesan ini disampaikan Dewan Kepausan untuk Dialog Antaragama-agama (Pontifical Council for Interreligious Dialogue) yang ditandatangani Presiden dan Sekretatis Dewan Kepausan untuk Dialog Antaragama-agama, Kardinal Jean-Louis Tauran dan Uskup Agung Pier Luigi Celata.
Seruan seperti ini jarang dipublikasikan di media-media umum. Padahal tiap tahun Dewan Kepausan untuk Dialog Antaragama-agama selalu menyampaikan kepada saudara-saudaranya yang Muslim sebuah pesan dengan penuh rasa hormat, kegembiraan dan ajakan bergandengan tangan untuk bekerja sama dalam hal-hal yang menyangkut kemanusiaan. Karena tidak ada alasan yang lebih mendasar untuk menolak dan mengingkari tanggung jawab bersama umat beragama untuk memerangi segala bentuk tindakan yang merendahkan martabat manusia. Karena Allah Mahacinta, Mahapengasih dan Mahapenyayang mencintai semua orang yang mencari Dia dalam kebenaran.

Pesan Ramadhan kali ini difokuskan pada masalah kemiskinan. Setelah menyampaikan ungkapan persahabatan yang mendalam dan kegembiraan hubungan antara kedua agama dan sikap semakin terbuka untuk berdialog, Dewan Kepausan mengajak untuk bergandengan tangan memerangi kemiskinan yang membelenggu manusia.

Dalam pandangan Gereja Katolik, kemiskinan adalah satu medan keprihatinan bersama tanpa sekat dan batas agama dan etnis. Kemiskinan tidak mengenal label agama dan etnis. Kemiskinan adalah masalah bersama, musuh bersama yang harus dilawan agar manusia terbebas dari hidup kemelaratan, hidup yang tidak manusiawi. Memerangi kemiskinan menjadi medan kerja sama yang tidak mengenal batas wilayah agama dan etnis.

Pesan ini mau mengajak umat Kristen dan Islam bergandengan tangan dan memberi perhatian pada masalah kemiskinan agar orang miskin mendapat tempat yang layak, terangkat harkat dan martabatnya dalam tatanan kehidupan masyarakat.

Mengapa kemiskinan? Karena kemiskinan adalah kekuatan yang bisa merendahkan martabat manusia, menyebabkan penderitaan yang tidak bisa ditolerir dan sering menjadi sumber keterasingan, kemarahan, bahkan kebencian dan sumber perlawanan. Kemiskinan dapat memproduksi tindakan permusuhan dengan mencari pembenaran di dalam pendasaran agama-agama, kemiskinan mengancam perdamaian dan keamanan.

Paus Benediktus XVI pada Hari Perdamaian Sedunia tahun 2009 nanti dalam pesannya sebagaimana juga disinggung dalam ensiklik Caritas in Veritate yakni Cinta Kasih dan Kebenaran menyebutkan ada dua bentuk kemiskinan: kemiskinan yang harus diperangi dan kemiskinan yang harus di-embrace. Kemiskinan yang harus diperangi adalah kelaparan, kekurangan air bersih, akses yang buruk dan terbatas pada pelayanan kesehatan dan perumahan yang tidak layak, pendidikan yang buruk dan sistem budaya, kebodohan, dan tidak lupa menyebutkan ”bentuk-bentuk kemiskinan baru” terutama dalam negara-negara maju seperti marjinalisasi, kemiskinan afektif, moral dan spiritual. Paus mengajak perlu dibangunnya prinsip persaudaraan universal dan tanggung jawab bersama.

“Orang miskin menantang kita dan di atas segalanya mengundang kita untuk bekerja bersama dalam hal ini: memerangi kemiskinan,” kata Dewan Kepausan mengakhiri pesannya.

Pesan ini relevan untuk kita di sini. Nusa Tenggara Timur termasuk dalam salah satu provinsi yang tingkat kemiskinannya masih tinggi. Akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan masih minim. Kita masih sering temukan kasus busung lapar, kurang gizi, tingkat pendidikan yang rendah, masalah lingkungan hidup, masalah etika (korupsi dan kolusi, misalnya). Di Flores dan Lembata juga bersama.

Banyak masalah yang bisa kita selesaikan bersama seandainya semua agama bersatu dan bergandengan tangan. Tidak ada alasan yang mendasar untuk mengingkari tanggung jawab bersama agama-agama untuk mengatasi masalah kemanusiaan. Malah keterlibatan agama-agama dalam memerangi masalah-masalah yang merendahkan martabat manusia merupakan satu keharusan. Karena agama pada hakikatnya menawarkan kebebasan lahir dari batin, mendorong tiap usaha untuk mensejahterakan masyarakat.

Sejarah dan politik sering mengaburkan komitmen agama-agama untuk memerangi masalah-masalah yang membelenggu kemanusiaan seperti kemiskinan. Kita seringkali tenggelam dalam sejarah masa lampau, sejarah yang merenggangkan hubungan antaragama-agama. Kita sering lupa memandang masa depan bersama dan mengusahakannya lebih baik. Kita terperangkap dengan sejarah masa lalu dan sering lupa belajar dari masa lalu untuk membangun kehidupan bersama yang lebib baik di masa depan.

Ini semua terjadi karena politik telah mempolitisasi agama. Agama dipakai hanya untuk melegitimasi kekuasaan dan jalan menuju kekuasaan. Agama yang terperangkap dalam politik mengakibatkan agama kehilangan roh pembebasannya. Agama tidak lagi berfungsi sebagai suara yang berseru-seru untuk selalu mengingatkan pemangku kekuasaan bahwa mereka harus selalu berada dalam semangat dan komitmen untuk memerangi kemiskinan.

Banyak sekali penelitian dibuat dan ditulis yang menunjukkan agama memiliki peran penting dalam mendorong perubahan sosial dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tetapi ketika agama terbelenggu oleh sejarah dan politik, agama menjadi salah satu alasan untuk menghindari kerja sama yang lebih erat untuk memerangi masalah kemanusiaan. Karena di sana akan ada kelompok kepentingan politik. Politik sering menciptakan jarak.

Banyak contoh di Flores dan Lembata di mana dalam masalah-masalah kemanusiaan, agama seringkali dipakai untuk membentengi kepentingan ekonomi-politik elite politik lokal kita. Dalam masalah tambang, misalnya, ada usaha dari elite ekonomi dan politik lokal dalam kerja sama mereka dengan pemodal untuk menciptakan kotak-kotak dengan label agama. Padahal agama sejatinya harus selalu memperjuangkan kepentingan orang-orang yang kalah dan menentang setiap usaha pembangunan yang merendahkan martabat manusia dan mengorbankan rakyat kecil-miskin yang tidak berdaya.

Kepentingan ekonomi-politik elite lokal makin memperlebar jarak dan merenggangkan hubungan antaragama-agama. Basis-basis politik dibangun dengan berbasis agama atas nama demi memperjuangkan kepentingan umat. Bukan kepentingan masyarakat luas. Dampak buruk dari ini adalah kita jarang temukan adanya inisiatif bersama agama-agama untuk memerangi kemiskinan. Pemimpin agama seringkali gagal mengajak umatnya bahwa agama bukanlah halangan bagi kerja sama untuk memerangi kemiskinan.

Dalam banyak hal energi sosial kita sering dihabiskan untuk mengurus pertikaian berbasis agama. Padahal agama hanya dipakai untuk melegitimasi kepentingan ekonomi-politik. Akarnya adalah kepentingan ekonomi dan politik. Karena itu kita membebaskan agama dari belenggu kepentingan ekonomi dan politik sekelompok elite tetapi mengembalikan perannya untuk membebaskan manusia dari belenggu-belenggu yang terpasang pada kuk kemanusiaan kita.

Flores dan Lembata adalah tempat kita bersama, rumah kita bersama, yang harus dijaga. Kalau demikian halnya, maka apapun masalah yang dihadapi masyarakat Flores dan Lembata adalah masalah kita bersama. Isu lingkungan hidup, isu pertanian, pengelolaan sumber daya alam, isu kemiskinan, isu politik dan budaya, atau isu apa saja haruslah dianggap keprihatinan kita bersama. Di situlah pentingnya masyarakat Flores dan Lembata membangun komitmen bersama untuk menjaga rumah yang disebut Flores dan Lembata itu.

Kemiskinan adalah salah satu masalah yang paling krusial di Flores dan Lembata. Maka sudah sepatutnya agama-agama di sini memperbanyak prakarsa untuk bersama-sama memerangi kemiskinan. Bahwa agama bukanlah halangan untuk kita bekerja sama. “Orang miskin menantang kita dan di atas segalanya mengundang kita untuk bekerja bersama dalam hal ini: memerangi kemiskinan”. Semoga kata ini selalu menggema di sudut-sudut Flores dan Lembata. Bahwa kita diundang untuk bekerja sama memerangi kemiskinan.

Edisi, 19 September 2009

Tidak ada komentar: