27 Juli 2009

Masyarakat Lokal

Oleh Frans Obon

BANYAK dari kita berharap berlebihan dari kunjungan Menteri Kehutanan MS Kaban ke Batu Gosok, Manggarai Barat. Karenanya kita tunggu-tunggu apa kata menteri. Ternyata di luar harapan banyak orang, dia bicara secara normatif saja. Dia bicara dalam bingkai tugas dan wewenangnya. Dia bilang bahwa Batu Gosok di luar kawasan konservasi TNK. Kalau ada di dalam kawasan hutan lindung, maka langsung dipidana.


 Secara tidak langsung Menteri MS Kaban mengatakan hal yang sama ketika Ketua Gerakan Masyarakat Anti Tambang (Geram) Bernadus Barat Daya mengatakan bahwa ada delapan titik lokasi eksplorasi tambang dan ada yang berada di dalam kawasan hutan lindung. Menteri bertanya kepada Edward, Kepala Dinas Kehutanan Manggarai Barat mengenai lokasi tambang di Nggilat. Kadis mengatakan, lokasi tambang di Nggilat itu berada di luar kawasan hutan, sekitar 50 meter. Asumsinya sejauh di luar hutan lindung dan kawasan konservasi, maka Menteri Kehutanan tidak bisa ikut campur tangan dan tidak menyalahi aturan. Dia hanya menjaga dan menangani lokasi di dalam kawasan hutan lindung atau konservasi.

“Bukan soal dukung dan tidak dukung tambang. Tetapi yang jelas Batu Gosok ini di luar jalur kawasan hutan dan jauh di luar kawasan Taman Nasional Komodo,” kata MS Kaban di lokasi Batu Gosok, Jumat pekan lalu.

Dengan ini dia menegaskan bahwa kasus ini sudah ada di luar kewenangan Menteri Kehutanan. Dia tidak bisa mengambil tindakan karena tidak berada di dalam kawasan TNK dan di dalam kawasan hutan lindung. “Saya memang yakin bahwa tambang itu tidak berada di TNK. Pak Bupati tidak mungkin lakukan itu. Jarak TNK dengan Batu Gosok/Loh Mbongi sekitar 20 kilometer,” kata Menhut.

Sebaliknya Menteri MS Kaban mengkritik pengelolaan Taman Nasional Komodo, yang menurut dia tidak mampu menggenjot kunjungan wisatawan. Seharusnya jumlah kunjungan wisatawan delapan juta setahun. Dia bilang akan mengevaluasi kembali manajemen TNK. Konservasi TNK ke depan, kata Menhut, perlu melibatkan masyarakat. Masyarakat harus mendapatkan keuntungan dari keberadaan TNK. “Kita jangan hanya melarang masyarakat menangkap ikan dan lain-lainnya di kawasan itu tetapi harus melibatkan masyarakat dengan berbagai pemberdayaan agar mereka dapat keuntungan dari sana”.

Sebagai seorang tamu yang baik, Menhut MS Kaban telah melakukannya dengan baik. Dia tidak mau memberikan keputusan untuk sesuatu yang ada di luar kewenangannya secara normatif. Dia tidak mempersoalkan jarak lokasi tambang dari kawasan hutan lindung. Hal itu bisa tampak dari sikapnya ketika lokasi tambang di Nggilat yang jaraknya hanya 50 meter di luar kawasan hutan lindung.

Demikian juga soal kawasan Taman Nasional Komodo dengan lokasi tambang Batu Gosok. Bagi dia kalau ada di dalam kawasan TNK atau ada di dalam kawasan hutan lindung, langsung dipidana. Tapi dia tidak bicara daya dukung terhadap kawasan TNK terutama ekologi di sekitar kawasan konservasi tersebut. Batu Gosok memang jaraknya sekitar 20 kilometer dari kawasan konservasi Taman Nasional Komodo. Tapi 20 kilometer di luar kawasan konservasi sebenarnya bukanlah jarak yang luar biasa jauhnya. Karena taman konservasi punya daya turistik yang bagus, maka lokasi di sekitar kawasan itu seharusnya dipandang sebagai ekologi yang mendukung kekuatan turistik bagi Taman Nasional Komodo. Tempat dibangun hotel dan semua tempat yang coba mengais rejeki dari taman konservasi tersebut.

Selain masalah tambang, masyarakat juga memprotes Surat Keputusan Menteri Kehutanan bernomor SK.384/Menhut-2/2009 tanggal 13 Mei 2009 yang memberi izin penangkapan dan pemindahan sepuluh ekor komodo (lima jantan dan lima betina) untuk pemurnian genetik pada Taman Safari Indonesia. Disebutkan bahwa pada lokasi Wae Wuul, Desa Macangtanggar, Manggarai Barat komodo hanya dua belas ekor. Jika sepuluh diambil maka yang tersisa hanya dua.

Pemerintah provinsi sebagaimana disampaikan Wakil Gubernur Esthon Foenay berkeberatan dengan surat Menteri Kehutanan tersebut. Maskot pariwisata NTT adalah komodo. Jika komodo dipindahkan, maka masyarakat NTT akan kehilangan.

Ada satu pernyataan Menhut, yang bagi saya perlu dielaborasi lebih jauh. Soal masyarakat lokal. Baik soal Taman Nasional Komodo maupun soal tambang dia mengingatkan agar masyarakat lokal tidak dirugikan. Saya rasa inilah poin yang paling menarik dari kunjungan ini. Sebuah sinyal yang amat jelas bagi pemerintah daerah.

Di mana tempat kami (masyarakat lokal) dalam konteks pengelolaan kekayaan alam kami sendiri. Apakah kami harus tercabut dari tanah kami sendiri demi investasi? Apakah kami harus kehilangan tempat kami berpijak demi kekuatan uang dan modal? Mengapa dari kami dituntut terus menerus pengorbanan atas nama kesejahteraan, atas nama pembangunan, dan kemajuan? Itulah pertanyaan yang terus bergema di Leragere, di Kedang, di Riung, di delapan titik eksplorasi di Manggarai Barat, di Serise, di Satarpunda dan di banyak tempat lainnya.

Henning Borchers, seorang antropolog pembangunan pernah menulis di The Jakarta Post mengenai tempat masyarakat lokal di konteks pengelolaan Taman Nasional Komodo. Komodo Park: A Future Jurasic Tragedy (The Jakarta Post, 15 Agustus 2005). Dia menulis tentang penembakan seorang nelayan oleh petugas pada tahun 2002. Dia mengatakan: Local stakeholders have to be involved in decicions pertaining to park management, conservation and economic development, ascertaining their right to prior, free and informed consent. They have the right and capacity to make their own decisions about their livelihoods.

Tulisan ini ditanggapi oleh Lousia Tuhatu: The Role of Local People in Komodo National Park (The Jakarta Post, 19 Agustus 2005). Tuhatu mengatakan, dana yang dikucurkan untuk masyarakat lokal sebesar 25,5 persen yang digunakan untuk pendampingan masyarakat lokal, termasuk alternatif berganti mata pencaharian, pengembangan komunitas, dan pemberian mikro kredit. Dengan kata lain, masyarakat mendapat keuntungan dari pengelolaan TNK. Masyarakat punya tempat dalam pengelolaan TNK. Manajemen TNK sendiri sifatnya kolaboratif.

Masyarakat lokal di sini dimaksudkan terutama bagi para nelayan tradisional di sekitar kawasan TNK. Namun hanya sebatas itukah pengertian masyarakat lokal? Tidakkah kita bisa memperluas pengertian masyarakat lokal itu bukan hanya orang di sekitar lokasi konservasi, tetapi masyarakat Manggarai Barat keseluruhan? Sebab TNK adalah aset seluruh masyarakat Manggarai Barat. Mereka punya hak politik dan hak dasar untuk mendapatkan keuntungan dari keberadaaan taman nasional tersebut.

Inti dari sini adalah masyarakat lokal Manggarai Barat tidak boleh dikorbankan atau diabaikan hak-hak politiknya untuk menjaga kawasan tersebut. Karena itu merupakan aset mereka yang harus diwariskan turun temurun. Itulah mata air yang perlu mereka jaga agar dari generasi ke generasi mereka menimba keuntungan daripadanya. Saya kira itulah keprihatinan yang mendasar mengapa masyarakat Manggarai Barat bertahan mati-matian agar pengelolaan pariwisata Manggarai Barat dengan maskot TNK tidak berdampingan dengan eksplorasi dan eksploitasi tambang. Jarak 20 kilometer dari kawasan TNK adalah sebuah rentangan spasial yang pendek. Komitmen kita adalah menjaga ekologi di sekitar kawasan.

Pemindahan komodo dari Wae Wuul ke Bali atau keluar dari Flores, misalnya adalah juga sebuah bentuk penghilangan aset masyarakat lokal. Jadi, kontradiktif rasanya jika di satu sisi kita bicara kepentingan masyarakat lokal, tapi di pihak lain kita dalam berbagai rupa mengambil aset masyarakat lokal.

Edisi, 25 Juli 2009

Tidak ada komentar: