
Masalah tambang karenanya bukan saja perkara ekologis, melainkan perkara iman dan tuntutan moral. Secara teologis, kita memuji Tuhan di atas tanah tempat kita berpijak. Kepedulian masyarakat akan tambang itu didasarkan pada keprihatinan iman kristiani. Karenanya masalah tambang adalah juga perkara kemanusiaan. Demi mengejar mitor kesejahteraan rakyat, pemerintah bersekutu dengan investor untuk membuka usaha tambang besar terbuka di Manggarai. Dalam proses penciptaan kesejahteraan ini, rakyat diabaikan. Rakyat tidak jadi subjek melainkan objek. Begitulah diskusi kelompok Tenang Tanage itu.
Yang paling menarik dari sini adalah munculnya kepedulian warga Manggarai rantauan terhadap masalah ekologi di Manggarai. Ada satu keprihatinan bersama bahwa katakan cukup terhadap bencana ekologis yang terjadi di Manggarai. Memang kita akui bahwa pada masalah tambang, warga rantauan berhadapan dengan pemerintah dan pemodal. Maka mudah mereka mengambil posisi berhadapan dengan pemerintah dan pemodal. Tetapi ketika bencana ekologis yang ditimbulkan oleh makin merusaknya hutan lindung di Manggarai, warga rantauan bersikap mendua. Karena mereka berhadapan dengan rakyat, berhadapan langsung dengan ayah dan ibu mereka, saudara dan saudari mereka. Maka amat sulit kelihatannya ketika berhadapan dengan masalah hutan, di mana penduduk setempat tidak mau peduli dengan masalah hutan. Mengubah hutan lindung yang ditetapkan pemerintah menjadi kebun. Mereka berada dalam posisi dilematis.
Yang ingin kita tegaskan di sini adalah hendaknya lawa Manggarai melakukan proses penyadaran di setiap komunitas basis untuk mengatakan tidak terhadap semua tindakan yang menimbulkan bencana ekologi. Ya hutan, ya tambang. Dengan mengaca pada bencana bebera waktu lalu, orang Manggarai hendaknya sama-sama satu kata: cukup untuk bencana. Cukup babat hutan. Tolak tambang.
Flores Pos / Bentara /Bencana / 21 November 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar