01 September 2009

Aktor Sosial

Oleh Frans Obon

KITA selalu terjebak dalam mentalitas ini: menunggu orang lain bertindak dan berbuat sesuatu untuk mengatasi masalah kita atau kita sendiri harus berjuang menemukan solusi atas masalah yang kita hadapi. Mentalitas ini tidak saja berlaku secara individual tetapi juga menyerang kita secara sosial. Kita temukan banyak masalah di dalam kehidupan bersama kita, tapi kita sering pula menunggu orang lain untuk memberikan solusinya. Sedemikian kuatnya mentalitas menunggu orang lain memberikan solusi atas masalah kita baik secara pribadi maupun sosial menyebabkan kita tidak bisa keluar dari lingkaran masalah. Masalah datang silih berganti seperti benang kusut. Kita terperangkap.


Mentalitas ini sudah menyerang kita secara individual dan sosial. Di tingkat negara pun hal ini bisa terjadi. Di dalam pemilihan umum, misalnya, kita punya hak untuk menaikkan dan menurunkan seorang pemimpin. Tetapi serentak kita menggunakan kesempatan yang sama untuk menuntut sedemikian dari para calon agar memberikan kita sedekah sebagai barter dengan suara kita. Barangkali inilah akar mengapa praktik politik uang tidak juga mati-mati di dalam budaya politik kita. Dengan demikian para pemimpin kita pun mendapatkan kekuasaan dengan cara membeli (power by purchasing). Hal ini berlaku untuk segala level seleksi pemimpin politik kita.

Hal ini disebut untuk menjelaskan bahwa mentalitas menunggu orang lain berbuat untuk kita memiliki dampak luas atau seperti yang sering kita dengar orang plesetkan NTT sebagai Nanti Tuhan Tolong. Ini melahirkan sikap apatis, sikap masa bodoh. Lebih celaka bila apatisme sosial menguat. Kita sering menjadi tidak peduli dengan masalah orang lain di sekitar kita. Kesetiakawanan sosial menghilang. Individualisme bertumbuh subur.

Ada banyak usaha yang dilakukan untuk menghilangkan mentalitas ini. Pemerintah melakukannya. Lembaga-lembaga sosial keagamaan melakukannya. Intinya usaha-usaha ini adalah mau memberdayakan masyarakat atau membangun kapasitas masyarakat untuk bisa mengatasi sendiri masalah mereka.

Untuk keperluan yang terbatas ini, saya hanya menyoroti usaha Gereja Katolik melalui strategi pengembangan komunitas umat basis. Sejak Muspas IV dan Muspas V Keuskupan Agung Ende, misalnya, telah memproklamasikan bahwa komunitas umat basis yang mau dikembangkan Gereja Katolik adalah komunitas umat basis sebagai wadah perjuangan dan pemberdayaan. Ini mengharuskan seluruh program kerja dan pelayanan pastoral bermatrakan pemberdayaan umat di komunitas umat basis, yang pada akhirnya akan mampu membebaskan mereka dari belenggu masalah. Sehingga komunitas basis ini akan menjadi wahana perjumpaan dengan Allah dan sesama dalam menyelesaikan masalah yang membelenggu dan melilit kehidupan konkret mereka. Dengan demikian komunitas basis menjadi wadah perjuangan di tingkat akar rumput menuju hidup yang lebih manusiawi, solider, adil dan inklusif.

Seluruh perjuangan dan pemberdayaan umat basis itu bersifat inklusif dalam pengertian orang-orang Katolik tidak hanya bergelut dengan dirinya sendiri ke dalam melainkan melihat keluar dan bergerak untuk menolong orang lain, menolong sesama tanpa memandang agama dan etnis. Dia harus membangun solidaritas lintas batas. Ini artinya komunitas basis yang didefinisikan sebagai sebuah kelompok kecil terdiri dari 10-20 keluarga itu akan bersama-sama dengan anggota kelompok lainnya di tempat mereka tinggal membahas bersama masalah-masalah konkret kehidupan dan berusaha mencari solusinya bersama. Masalah-masalah ini kemudian mereka refleksikan bersama dalam terang Kitab Suci. Jika ada masalah bersama dan peserta pertemuan datang dari berbagai agama, misalnya, maka pengalaman keagamaan mereka bisa memperkaya perspektif dalam menemukan solusi.

Dengan demikian hal yang paling menonjol di sini adalah anggota komunitas basis menjadi aktor-aktor sosial di lingkungan tempat tinggal mereka dan mereka bertindak sebagai agen perubahan sosial. Mereka adalah pelopor dan pembaru bagi kehidupan sosial mereka. Dampak positifnya adalah masyarakat punya masalah dan mereka sendiri yang menyelesaikan masalah mereka. Mereka tidak hidup dalam budaya menunggu orang lain untuk memberikan h mereka solusi.

Pada satu sisi strategi ini kemudian akan memperkuat demokratisasi di tingkat akar rumput. Masyarakat sudah terlatih untuk bernegosiasi, berembuk, bertukar gagasan dan memperdebatkan solusi yang ditawarkan. Masyarakat akan menjadi terbiasa dengan perbedaan pendapat, terbiasa dengan perbedaan pandangan, bersikap terbuka dan melahirkan rasa saling menghormati. Demokrasi akan berkembang. Masyarakat punya kapasitas untuk menyelesaikan masalahnya. Menghilangkan apatisme individual dan apatisme sosial.

Bagi Gereja Katolik sendiri seperti yang dikatakan Pastor John M Prior SVD (Doing Mission Theology in Asia, The Need for a Analitical-Critical Methodology, 1992), tidak ada model teologi yang siap jadi yang secara otomatis menjawab masalah konkret umat pada setiap kebudayaan dan suku bangsa. Dia bilang, misi dan panggilan gereja selalu konkret, terwujud dalam situasi konkret. Allah berbicara kepada Gereja dalam situasi konkret. Untuk mewujudkan panggilannya, Gereja membutuhkan teologi yang bisa menjawab masalah konkret umat. Sebab teologi adalah refleksi atas iman. Hal ini makin mudah diterima karena juga dorongan yang diberikan oleh Konsili Vatikan II. Konsili mengakui pluralisme budaya. Budaya tidak lagi dipandang dari sudut pandang filsafat tertentu tapi juga diterima adanya fakta empiris dan dari sudut pandang ilmu sosial. Inkarnasi iman itu dalam konteks lokal akan melahirkan pluralisme teologi entah itu lahir dari kebudayaan primal atau budaya yang lebih kompleks.

JB Banawiratma dan Tom Jacobs (Inculturing Theology, Indonesia, 1989) juga menegaskan refleksi teologis yang berangkat dari situasi konkret kehidupan. Refleksi teologis yang berangkat dari situasi konkret tentu saja membutuhkan pendekatan interdisipliner. Refleksi teologis membutuhkan disiplin ilmu antropologi, sosiologi, psikologi, sejarah, dan lain-lain. Semua disiplin ini akan memperkaya refleksi iman, yang disebut teologi itu. Teologi dalam konteks ini menjadi sesuatu yang praktis, bukan spekulatif.

Gereja Katolik Flores hampir selama dua puluh tahun telah mengembangkan komunitas basis sebagai strategi pengembangan dan pembangunan masyarakat. Gereja Katolik Keuskupan Agung Ende, misalnya hampir selama 22 tahun menyelenggarakan Musyawarah Pastoral (Muspas) sejak 1987. Tahun depan 2010 keuskupan akan mengelar Muspas VI dengan fokus dan lokus yang sama yakni pengembangan komunitas umat basis. Pencanangan Muspas telah dilakukan Uskup Agung Ende Mgr Vincent Sensi Potokota, Minggu lalu.

Tetapi harus diakui bahwa hasil dari proses panjang ini belum secara maksimal diperoleh. Hal itu dapat kita lihat dalam masalah tambang, lingkungan hidup, masalah pariwisata, masalah politik legislatif dan politik pilkada. Meski begitu, tidaklah berarti pengembangan komunitas basis sebagai wadah perjuangan dan pemberdayaan tidak efektif. Komunitas basis tetap menjadi wadah tepat untuk mengembangkan proses demokratisasi di tingkat akar rumput. Pada gilirannya kita akan menuai buahnya: lahirnya aktor-aktor perubahan di dalam masyarakat kita.


Flores Pos | Asal Omong | Perubahan
| 22 Agustus 2009 |

Tidak ada komentar: