Oleh FRANS OBON
Belakangan ini kita saksikan melalui media cetak dan elektronik banyak mantan pejabat dan pejabat pemerintahan di tingkat lokal tersandung kasus hukum terutama terkait dengan dugaan korupsi. Tindakan pidana korupsi itu bukan saja soal mereka terlibat menilep uang negara, tetapi juga disebabkan penyalahgunaan wewenang yang menguntungkan orang lain.
Jauh sebelum itu semua, banyak anggota DPRD yang masuk penjara karena korupsi. Anggota DPRD yang tidak terlatih dengan baik dan tidak melalui rekruitmen partai politik yang teratur dan tersistematisasi terjebak oleh perilaku politik mereka sendiri. Oleh karena tidak menguasai aturan-aturan dan oleh semangat pragmatisme alias bersikap mumpung, banyak anggota DPRD kita terjebak dan tersandung kasus hukum.
Maka lengkaplah sudah bahwa lembaga legislatif dan eksekutif terjebak di dalam pusaran kasus hukum penyelahgunaan keuangan negara dan penyalahgunaan wewenang yang menguntungkan orang lain.
"Perampingan struktur itu di satu sisi menimbulkan konflik di dalam tubuh birokrasi karena harus ada yang kehilangan jabatan plus fasilitas, tapi juga menghemat anggaran"
Selama 10 tahun reformasi politik di Indonesia sejak kejatuhan Soeharto pada Mei 1998, tidak ada perubahan signifikan dalam pelaksanaan pemerintahan. Optimisme bahwa otonomi daerah akan menjadi momentum penguatan demokrasi dan pemerintahan yang bersih dan berwibawa sama sekali tidak tercapai. Pada awal-awal reformasi fenomena munculnya raja-raja kecil begitu kentara. Fenomena raja kecil itu adalah penyebutan mengenai praktik penggunaan kekuasaan oleh elite kekuasaan eksekutif, elite legislatif dan partai-partai politik. Tujuan otonomi daerah untuk memendekkan rentang kendali, perubahan praktik penggunaan kekuasaan, bertumbuh dan menguatnya demokrasi di tingkat lokal sama sekali jauh panggang dari api. Pelaksanaan pemerintahan jauh dari kesan adanya perubahan yang berarti.
Kemandekan reformasi di tubuh pemerintahan lokal akhirnya telah juga menjadi tema kampanye pada pemilihan umum kepala daerah (Pemilu Kada). Ada banyak janji untuk melakukan reformasi di tubuh birokrasi. Reformasi birokrasi yang disebutkan itu hanyalah sebatas perampingan struktur-struktur organisasi pemerintahan. Perampingan struktur itu di satu sisi menimbulkan konflik di dalam tubuh birokrasi karena harus ada yang kehilangan jabatan plus fasilitas, tetapi di sisi lain memang menghemat anggaran.
Namun aspek-aspek lain dari reformasi birokrasi itu tidak tersentuh. Akuntabilitas dan transparansi yang merupakan dimensi esensial dari ciri tata kelola pemerintahan yang baik sama sekali tidak tampak. Kewenangan yang begitu besar pada birokrasi tidak disertai dengan pertanggungjawaban kepada rakyat. Dalam situasi di mana kontrol media dan masyarakat terhadap praktik kekuasaan lemah maka makin memperbesar lemahnya akuntabilitas dan transparansi pengelolaan pemerintahan di tubuh birokrasi.
Pemahaman yang begitu simpel soal reformasi birokrasi dan tidak tersedianya kerangka kerja reformasi birokrasi yang dihasilkan oleh para pemimpin kita membuat reformasi birokrasi berjalan tanpa arah. Terjunnya intelektual kampus ke dalam kancah politik baik di eksekutif maupun legislatif juga tidak membantu menentukan arah reformasi birokrasi ini. Akibatnya reformasi birokrasi lokal berjalan setengah hati. Kata yang lebih halus untuk menyebutkan reformasi birokrasi hanya sebatas slogan.
Bentara, edisi 19 April 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar