31 Juli 2009

Dari Sumur Kami Sendiri

Oleh Frans Obon

DI MAUMERE para uskup Nusa Tenggara (Keuskupan Denpasar, Keuskupan Atambua, Keuskupan Agung Kupang, Keuskupan Sumba, Keuskupan Ruteng, Keuskupan Larantuka dan Keuskupan Agung Ende) membahas bersama para petani dan nelayan tentang kedaulatan pangan. Para petani dan nelayan menyeringkan pengalaman mereka mengenai kesulitan, kepahitan, keprihatinan, dan kegembiraan serta harapan mereka. Dari rekomendasi pertemuan kita tahu bahwa ada banyak kesulitan yang mengadang petani, tetapi juga ada harapan.

Suasana pertemuan mencair. Seorang uskup bisa bincang-bincang tanpa jarak dengan para petani dan nelayan. Para petani dan nelayan juga tanpa sungkan. Suasana ini sengaja diciptakan karena memang para uskup mau mendengar langsung keluhan para petani dan nelayan. Suka duka petani dan nelayan adalah suka duka Gereja. Keprihatinan petani-nelayan adalah keprihatinan Gereja. Konteks pelayanan Gereja lalu menjadi nyata dan konkret. Karena sebagian besar umat di Nusra adalah petani-nelayan miskin.

Kemiskinan, gizi buruk, dan busung lapar telah juga menjadi perhatian dan kegelisahan Gereja. Sebuah keteledoran besar jika Gereja berpangku tangan tanpa intervensi apapun dalam mengatasi masalah ini. Karena kemiskinan, gizi buruk dan busung lapar adalah sebuah proses degradasi terhadap mutu sumber daya manusia. Jika mutu sumber daya manusia kita terus tertinggal, maka kemerosotan akan menyusup ke setiap sendi kehidupan kita.

Interaksi pemimpin Gereja dan petani-nelayan adalah sejarah tanpa henti dari reksa pastoral Gereja sejak awal di kawasan ini. Tentu ini lahir dari pemahaman yang utuh-komprehensif mengenai ekonomi keselamatan. Keselamatan tidak semata-mata soal keselamatan jiwa, tetapi keselamatan utuh menyeluruh. Bahwa Allah tidak memprasyaratkan kemiskinan agar orang bisa masuk Surga. Tetapi manusia harus mengembangkan talentanya agar menghasilkan buah yang berlimpah. Bahkan dia menghukum orang yang menyembunyikan talentanya di bawah bantal. Karena itu refleksi biblis-teologis mengenai pertanian dan ekonomi bersama petani-nelayan menjadi penting.

Sudah banyak usaha dilakukan untuk melihat bahwa agama memberikan kontribusi pada kemajuan ekonomi masyarakat. Pandangan agama mengenai pembangunan, mengenai ekonomi dan politik ikut memberi kontribusi pada kemajuan ekonomi. Studi Max Weber misalnya telah menginspirasi banyak studi untuk meneliti pengaruh agama pada bangsa-bangsa yang maju dan bangsa-bangsa yang tidak berkembang secara ekonomis. Produk refleksi biblis-teologis ikut berkontribusi pada kemajuan sebuah bangsa.

Dengan demikian sebenarnya pertemuan pastoral para Uskup Nusa Tenggara bersama para petani-nelayan tersebut yang mengambil tema kedaulatan pangan menjadi sendi dan sebuah batu penjuru baru untuk merefleksikan bersama kesulitan dan kepahitan hidup bersama kita. Busung lapar, gizi buruk dan kemiskinan adalah produk dari pengabaian kita terhadap pengelolaan sumber daya yang kita miliki. Kita punya sumber daya yang cukup tetapi kita tidak cukup cakap mengelolanya. Bisa oleh faktor mentalitas, bisa oleh produk kebijakan, dan bisa oleh lemahnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kedaulatan pangan adalah bicara soal kebijakan pengelolaan sumber daya yang kita miliki. Apa yang kita miliki dan apa yang bisa kita lakukan atas apa yang kita miliki itu. Kita miliki lahan pertanian yang luas. Kita miliki laut yang kaya. Kita punya potensi wisata, kita punya kultur yang beragam dan eksotik. Kita punya sesuatu.

Kedaulatan pangan didefinisikan sebagai hak rakyat, hak setiap komunitas untuk menentukan sendiri produksi pertaniannya, produk perikanan, produk pangan dan tanah serta kebijakan-kebijakan ekologi, ekonomi dan budaya menurut kondisi setempat. Di sini ada kebebasan. Komunitas masyarakat lokal menentukan produksinya, menentukan distribusinya, dan mengatur sendiri cara mengamankan pangan mereka. Dalam konsep ini masyarakat setempat melawan segala bentuk penguasaan oleh kekuatan-kekuatan modal, investasi dan kebijakan lainnya yang mengakibatkan masyarakat setempat tidak bebas dan tidak punya hak lagi untuk menentukan pemanfaatan aset pertanian, laut dan tanah mereka.

Sederhananya tidak ada orang lain yang bisa menentukan atau mendikte apa yang mesti ditanam di atas kebun-kebun para petani di ujung barat Flores hingga ujung timurnya. Petani sendiri yang menentukan. Mereka mengatur distribusi pertanian mereka. Menyimpannya. Mereka bebas dan punya hak untuk memiliki pangan secara teratur. Karena itu konsep kedaulatan pangan melebihi konsep keamanan pangan (food security). Kita aman punya pangan. Produksi dan jumlahnya cukup. Tapi apalah artinya jika kita tidak bebas memproduksi, tidak bebas menentukan apa yang mesti kita tanam menurut kebutuhan kita. Kita mungkin punya cukup pangan tapi semuanya lepas dari kendali kita. Kita cukup pangan tapi semuanya diimpor.

Konsep kedaulatan pangan dalam pengertian ini mengandung tiga elemen dasar. Pertama, kita tidak menjual hak pengelolaan atas sumber daya yang kita miliki pada kekuatan lain. Kita tidak bisa membiarkan orang lain menentukan apa yang mesti kita tanam. Apa yang akan kita petik dari kebun-kebun kita. Di banyak tempat kita konversikan lahan pertanian kita untuk perkebunan. Lalu, kita “makan gaji” dari perkebunan. Gaji sebagai buruh tani tidak cukup untuk membeli kebutuhan. Kita jatuh miskin di atas kelimpahan sumber daya kita. Kita diajarkan tanam ubi aldira melalui proyek, misalnya, tapi sawah-sawah kita tidak diolah dengan cara yang lebih baik.

Kedua, kebijakan. Kekalahan kita dan kekalahan petani juga disebabkan oleh kebijakan para pemimpin kita. Petani punya konsep sendiri mengenai tanah dan bagaimana memelihara kesuburannya. Tapi pemimpin kita yang lahir dari rahim tanah ini menganggap tanah yang luas yang belum digarap sebagai lahan kosong tak bertuan. Atas nama kesejahteraan rakyat dia menjualnya ke pemilik modal. Demi investasi dan mungkin demi kepentingannya sendiri. Ini melucuti petani dari hak atas kedaulatan pangan.

Ketiga, solidaritas petani. Para petani harus bersatu membangun kekuatan bersama untuk melawan segala bentuk tindakan yang merampas kedaulatan mereka atas pangan. Termasuk melawan segala kebijakan yang menyingkirkan petani dari lahan kehidupan mereka. Tidak ada kedaulatan pangan tanpa tanah. Kehilangan tanah berarti kehilangan kedaulatan pangan.

Pertemuan para petani dan para pemimpin Gereja di Maumere itu adalah sebuah bentuk solidaritas dan reksa pastoral tepat sasar. Para pemimpin Gereja oleh tanggung jawabnya dan desakan Injil bahu membahu bersama petani untuk mempertahankan kedaulatan komunitas petani atas pangan. Bukankah Yesus seperti dikisahkan dalam Injil menggandakan dua ketul roti dan lima ekor ikan untuk lima ribu orang. Roti dan ikan diambil dari orang-orang yang hadir di situ. Dia menggandakan apa yang mereka miliki. Gereja mesti membawa para petani kepada seruan yang sama dengan perempuan Samaria itu: “ ... Bapa Kami Yakub yang memberikan sumur ini kepada kami dan yang telah minum dari dalamnya, ia serta anak-anaknya dan ternaknya”.

Kita pun demikian. Kita di Flores harus minum dari “sumur kita sendiri” yang kita terima dari generasi-generasi sebelumnya dan akan kita wariskan ke generasi-generasi berikutnya. Biarlah dari generasi ke generasi, orang Flores akan selalu berkata: “Kami tidak akan pernah makan dan minum dari yang bukan dihasilkan dari tanah kami sendiri”.

Edisi 1 Agustus 2009 | asal omong

1 komentar:

Ahmad Yunus mengatakan...

Salam,

Sebuah tulisan yang mencerahkan. Terima kasih. Ahmad Yunus.