20 Juli 2009

Efek Getar

Oleh Frans Obon

DI BAWAH rezim Orde Baru, semua serba tunggal. Semuanya diarahkan untuk menopang kepentingan kekuasaan Orde Baru. Partai politik dikendalikan dan disederhanakan. Organisasi massa diarahkan. Tidak terkecuali lembaga ekonomi. Kalau pemerintah bicara koperasi, itu sama artinya pemerintah sedang bicara koperasi unit desa (KUD) – yang diplesetkan jadi ketua untung duluan. Di luar itu, dipandang remeh. Itulah yang dialami oleh gerakan koperasi kredit (credit union) di masa lalu.

Kita di Flores terbilang sedikit beruntung. Mungkin karena jauh dari pusat kekuasaan di Jakarta dan oleh rasa hormat pemerintah daerah terhadap Gereja Katolik, tidak ada hambatan berarti mengenai perkembangan gerakan koperasi kredit. Dicurigai, ya. Tapi dihambat tampaknya tidak.



Koperasi kredit, dulu dikenal dengan sebutan credit union, pertama diperkenalkan di Flores oleh Gereja Katolik pada tahun 1972. Ketua Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi atau waktu itu dikenal sebagai Delegatus Sosial, Keuskupan Agung Ende dijabat Pastor B J Baack SVD. Juni 1974, credit union Jayakarta bekerja sama dengan Delegatus Sosial Keuskupan dan CUCO menggelar kursus dasar mengenai credit union. Pesertanya datang dari seluruh Flores.

Saya ingat Yoseph Kama, guru agama saya di SMP Negeri Pagal, Manggarai saat itu menulis credit union untuk Majalah Busos tahun 1980-an. Satu-satunya majalah Mingguan waktu itu di Flores adalah Mingguan Dian milik imam-imam dari Serikat Sabda Allah yang didirikan Oktober 1973. Majalah ini menjadi medium untuk membentuk opini dan penggerak perubahan di Flores selama puluhan tahun sampai ditutup Februari 2007. Karena baru tumbuh maka pada awal gerakan koperasi kredit majalah ini tidak bisa mendorong penuh gerakan koperasi kredit sebagai alternatif bagi masyarakat untuk mendapatkan akses pada lembaga keuangan. Pada saat itu juga lembaga keuangan seperti bank belum bertumbuh di Flores.

Tetapi media massa seperti banyak pengalaman di banyak tempat, sering pula tidak menaruh minat pada masalah ekonomi. Isu-isu kemiskinan jarang menjadi berita utama pada surat kabar. Sampai sekarang pun isu-isu media lebih banyak berorientasi pada masalah kebijakan publik lembaga negara ketimbang masalah-masalah ekonomi kelompok miskin perkotaan dan pedesaan.

Karena koperasi kredit sudah dibentuk cukup banyak, maka dibentuklah Badan Pembina dan Pengembangan Credit Union (BPP CU) wilayah Nusa Tenggara Timur Bagian Barat dengan cakupan wilayah Kabupaten Ende, Kabupaten Ngada, Kabupaten Manggarai, Kabupaten Sumba Timur dan Sumba Barat. Pengurusnya Guido Lakapung, Frans Fernandez dan Agus Beu Mude.

Pada tahun 1978, badan ini berganti nama: Badan Pengembangan Daerah Koperasi Kredit NTT Barat dengan wilayah koordinasi yang sama. Tahun 1982 diubah lagi jadi Badan Koordinasi Koperasi Kredit Daerah (BK3D - NTT Barat). Februari 1995, dibentuklah pra-pusat koperasi kredit (Puskopdit) Sumba dan Manggarai.

Pada 22 Agustus 1998 koperasi kredit primer sepakat mengalihkan status BK3D NTT Barat menjadi Pusat Koperasi Kredit (Puskopdit) Bekatigade Ende-Ngada. Badan ini mendapat pengesahan dari pemerintah dengan nomor badan hukum: 03/BH/KWK.24/III/1999 tanggal 13 Maret 1999. Wilayah kerjanya Kabupaten Ende, Ngada, dan Nagekeo.

Dalam kurun 1974 hingga tahun 2000 koperasi kredit sebagai lembaga keuangan terseok-seok. Banyak yang macet. Sebab utamanya adalah kredit macet, pengelolaan yang tidak transparan, pembukuan seadanya. Ini semua mengakibatkan kepercayaan anggota menurun baik terhadap lembaga maupun terhadap inisiatif-inisiatif pembenahan. Pesimisme menyelimuti banyak orang.

Meski begitu masih ada sejumlah besar penggerak koperasi kredit yang coba membenahi dan membangun fondasi dasar yang kuat. Puskopdit sebagai lembaga intermediasi memainkan peran besar dalam membenahi lembaga koperasi kredit. Berbagai pelatihan dibuat. Mulai dari manajemen pengelolaan hingga penggunaan sistem komputerisasi keuangan. Mulai dari pengaturan yang ketat pemberian kredit hingga jaminan kredit.

Koperasi kredit tidak lagi menerima dana-dana dari luar untuk menjadi modalnya, lalu diberikan kepada anggota. Tetapi koperasi kredit memegang teguh pada prinsip dasarnya: keswadayaan, pendidikan, dan solidaritas. Saya ingat kata-kata Moses Mogo, mantan Ketua Badan Koordinasi Koperasi Kredit Daeah (BK3D) NTT Barat bahwa jika koperasi kredit menerima dana dari luar, lalu dana itu dipinjamkan kepada anggota, maka menjadi anggota koperasi sama seperti burung merpati. Ada jagung, merpati datang. Jagung habis, merpati pergi.

Mikhael Hongkoda Jawa, Manajer Puskopdit Bekatigade Ende, Ngada, dan Nagekeo (BENN) sekarang memegang teguh garis komitmen ini. ”Katakah tidak untuk modal dari luar koperasi”. Semua modal koperasi berasal dari simpanan anggota. Pinjaman diberikan kepada anggota. Dengan demikian jika sekarang kekayaan Koperasi Kredit Sangosay di Bajawa per Juli 2009 sebesar 70 miliar rupiah, itu adalah uang anggota koperasi kredit; beredar di antara anggota untuk membangun kesejahteraan anggota dan tidak bergerak keluar.

Tahun 2000 ke atas pembenahan terus dilakukan. Pengurus dan manajemen harian dipisahkan. Pelatihan keuangan dan pengelolaan kredit diberikan. Sistem komputerisasi. Pelayanan cepat. Semua hal dibenahi. Perlahan-lahan koperasi kredit bertumbuh sebagai lembaga keuangan profesional.

Sampai saat ini ada 61 koperasi kredit bernaung di bawah Puskopdit. Per Juni 2009 jumlah anggotanya 52 ribu lebih, simpanan saham 127 miliar rupiah, simpanan non saham 56 miliar lebih, pinjaman beredar 192 miliar dan kekayaannya 225 miliar lebih.

Di kaki Inirie di Kopdit Sinar Harapan di Malapedho tempat saya menginap semalam, di Kopdit Kenisah di Mauponggo, Sangosay di Bajawa dan masih banyak kopdit di Kota Bajawa, pada kelompok ibu-ibu di Mataloko, Kopdit di Soa, di Nangapanda, Kopdit Boawae di kaki gunung Ebulobo, saya melihat optimisme bertumbuh di kalangan anggota koperasi kredit. Saya melihat antusiasme masyarakat. Bagaimana ibu-ibu datang mengenakan sarong meneteng buku koperasi.

Di Boawae tahun lalu, lima ratus orang yang merupakan utusan dari lima ribu anggota datang menghadiri rapat anggota tahunan. Ada kemeriahan. Ada optimisme bahwa koperasi kredit akan tumbuh menjadi sebuah lembaga keuangan, tempat di mana orang-orang desa memiliki akses mendapatkan dana untuk menggerakkan ekonomi, membiayai pendidikan anak, dan kebutuhan lainnya. Koperasi kredit tidak bisa mengalahkan lembaga keuangan seperti bank. Memang bukan itu tujuannya. Koperasi kredit tumbuh di desa karena mendapat tempat di hati masyarakat sebagai sebuah alternatif.

Saya beruntung oleh tugas jurnalistik keliling mengunjungi koperasi kredit di Bajawa dan di Ende. Saya melihat dan dapat merasakan kuatnya optimisme yang tumbuh dari kegetiran hidup. Sejalan dengan pembenahan berlanjut institusi koperasi kredit dengan intermediasi Puskopdit, gerakan koperasi kredit telah menimbulkan sebuah efek getar (ripple’s effects) yang makin besar ke depan. Seperti batu yang dijatuhkan ke dalam air menimbulkan lingkaran getaran. Makin besar batu yang dijatuhkan, makin besar pula efek getarannya.

Edisi 17 Juli 2009 | asal omong

Tidak ada komentar: