18 Februari 2009

Merancang Mabar

Bagaimana Bappeda sebagai badan perencana merancang bangun sebuah daerah di Flores bagian barat.
Oleh FRANS OBON

PEKAN terakhir November, hujan lebat melanda Flores. Bagaikan kita sedang menumpahkan air dari baskom. Awan pekat. Gelap. Saya mulai cemas. Karena Sabtu, 29 November 2008, Flores Pos akan menggelar diskusi dengan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Manggarai Barat, Rafael Arhat. Dua hari sebelumnya saya mendapatkan konfirmasi dari Kepala Bappeda bahwa dia akan menggunakan pesawat terbang dari Labuan Bajo ke Ende. Dia bilang sudah membeli tiket pesawat. “Terima kasih. Kami menunggu,” timpal saya. Saya juga bilang padanya bahwa kesempatan ini akan juga digunakan para mahasiswa Manggarai di Ende untuk menggelar diskusi bersama. Termasuk melibatkan tokoh-tokoh Manggarai di Ende yang tergabung dalam Ikatan Keluarga Manggarai (IKM) di Ende.

Sehari sesudahnya, saya mendapat kabar bahwa dia datang ke Ende menggunakan kendaraan. Penerbangan ke Ende batal. Saya lagi-lagi cemas. Manggarai rawan longsor. Dua pekan sebelumnya di Rongket, Manggarai di sebuah ruas jalan Ruteng-Ende tertutup longsoran. Ruas itu sedang diperlebar. Alat berat menggaruk tebing tinggi yang tanahnya liat. Hujan mengguyur melonggarkan ikatan tanah. Berton-ton tanah dan batu menutup badan jalan. Mujur saja ruas jalan itu sudah bisa dilewati kendaraan. Tidak ada longsoran susulan. Dia tiba malam di Ende. Sebuah perjalanan yang melelahkan.

Ini diskusi pertama Flores Pos yang membahas pembangunan di sebuah daerah dari perspektif badan perencana. Kita begitu yakin bahwa perencanaan yang baik adalah awal dari keberhasilan. Kalau perencanaannya tidak beres, sudah dapat dipastikan hasilnya akan buruk. Peter L Berger dalam Pyramide of Sacrifices mengatakan, rasionalitas pembangunan dapat dilihat dari korban yang ditimbulkan. Jika korban menumpuk, maka sudah dapat dipastikan bahwa rasionalitas dari program pembangunan itu rendah. Sebaliknya jika korban yang ditimbulkan sedikit atau tidak ada, maka rasionalitas program pembangunan itu tinggi.
Asumsi itulah yang mendorong Flores Pos untuk mendiskusikan topik perencanaan pembangunan ini. Karena itu dalam diskusi ini sebagian besar peserta yang diundang adalah dari kalangan perguruan tinggi, praktisi pembangunan dan lembaga swadaya masyarakat yang konsisten melakukan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. Pius Pampe, dosen Universitas Flores kita pilih sebagai moderator.
Manggarai Barat kita jadikan contoh untuk melihat bagaimana perencanaan pembangunan sebuah daerah di Flores dibuat. Hadirnya para dosen, aktivis, dan praktisi pembangunan dalam diskusi ini diandaikan pembicaraan jadi tajam, terfokus, dan lebih menukik. Sebab orang-orang ini punya kompetensi akademik.
“Saya datang dan bicara dalam perspektif manajemen perencanaan, bukan perspektif politik.,” begitu Rafael membuka presentasinya. “Kita harus samakan dulu persepsi”.
Sebelum bicara mengenai kerangka konseptual pembangunan di Mabar, Rafael lebih dulu bicara mengenai pembangunan pariwisata di Manggarai Barat dan pariwisata dalam konteks Flores secara keseluruhan. Manggarai Barat sedang berupaya membangun potensi pariwisatanya. Jualannya tidak saja binatang purba komodo, tetapi juga objek wisata lainnya. Mabar menjual “West Flores: Komodo and so Much More” Dia bilang, jika kita lihat pariwisata Bali, konsep pembangunannya adalah kawasan. Semua kabupaten di Bali masuk dalam sebuah perencanaan besar pembangunan wisata Bali.
Ideal seperti ini diharapkan juga muncul dalam pengelolaan pariwisata Flores. Sudah ada usaha ke arah situ dengan digelarnya berbagai pertemuan. Agar wisata Flores tidak hanya menunggu sisa dari perjalanan wisata di Bali, melainkan Flores menjadi daerah tujuan wisata. Objek wisata Flores yang kaya baik segi alam maupun kulturnya menjadi tempat digelontorkannya uang wisatawan sehingga pembangunan pariwisata Flores memberikan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya.
Karena itu Rafael mengingatkan agar pariwisata Flores dan Lembata itu sebagai satu kesatuan. Bagaimana perburuan ikan paus bukan hanya milik orang Lembata. Bagaimana komodo bukan saja milik orang Manggarai Barat. Bagaimana Kelimutu tidak hanya milik orang Ende. Melainkan mesti dibangun satu komitmen dan persepsi bersama bahwa semua objek wisata baik alam maupun kultur adalah milik orang Flores dan Lembata sehingga keuntungan dari pengelolaan pariwisata tersebut diperoleh oleh seluruh masyarakat Flores dan Lembata.
Negara-negara Eropa dan Asia lainnya telah mendorong komitmen pemerintah daerah di Flores – hal itu disampaikan ke pihak Forum Pariwisata Manggarai Barat – agar dibentuk forum pariwisata Flores dan Lembata.
Rafael menggunakan analogi sapu lidi untuk menggambarkan perlunya usaha dan komitmen bersama membangun objek wisata di Flores dan Lembata.
“Harapan kita semua bahwa objek wisata di Flores dan Lembata dikelola bersama. Kita gunakan konsep sapu lidi. Kita tidak akan kuat kalau kita berdiri sendiri. Coba kita bayangkan kalau ada 8 bupati dan 8 ketua DPRD bersama-sama bertemu pemerintah pusat, pasti hasilnya lain sama sekali bila tiap bupati dan ketua DPRD dari masing-masing kabupaten bertemu pemerintah pusat,” katanya.
Kecenderungan parsial dalam mengelola pariwisata itu tercermin pula pada perencanaan di Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Menurut dia, mesti tiap SKPD bertanya apa yang mesti dibuat untuk menunjang pariwisata. Namun semuanya dilakukan secara parsial. “Mestinya seluruh perencanaan SKPD dilihat dalam kerangka sistemik,” katanya.
Pariwisata yang dibicarakan pada bagian awal dari diskusi ini dilihat sebagai pintu masuk untuk melihat realitas pembangunan di Manggarai Barat. Secara detail Rafael memperlihatkan komposisi demografis Manggarai Barat. Menurut dia, struktur demografis Manggarai Barat tidak ideal karena dependensi rasionya tinggi. Data 2006 jumlah penduduk Manggarai Barat 200.203 jiwa dengan kepadatan 67,93 jiwa per km2.
Dari segi pendidikan, Manggarai Barat dalam Angka (2005) menunjukkan rata-rata angka partisipasi murni (APM) tingkat sekolah dasar terdiri dari Kecamatan Lembor 116,24; Kuwus 114,82, Macang Pacar 91,56; Komodo 119,97, Sano Nggoang 73,44 dan rata-rata kabupaten 103,21. Sementara itu angka partisipasi kasar tingkat sekolah dasar menurut gender pada tahun yang sama, laki-laki rata-rata 128,90, perempuan 114,06 dan rerata 121,08.

Di bidang pendidikan ada persoalan bahwa sekitar 3 persen anak masuk sekolah di atas 7 tahun. Itu menunjukkan mereka berasal dari kelompok ekonomi rendah dan aksesibilitas anak ke sekolah cukup jauh. Bahkan jarak antara kampung dan sekolah sekitar 4-5 kilometer sehingga orang tua baru mendaftarkan anaknya ke sekolah ketika mereka sudah berusia dewasa.
Problem lain adalah sebagian besar anak tamat sekolah dasar ini tidak melanjutkan pendidikan mereka ke jenjang lebih tinggi, sehingga mereka langsung ke pasar kerja. Lapangan kerja yang tersedia adalah pertanian dan kalau tidak merantau. “Kita bisa lihat semakin tinggi lembaga pendidikan, semakin menurun angka partisipasi murni karena mereka langsung ke pasar kerja,” katanya.
Sektor yang paling mudah didapat tentu saja pertanian. Jika lahan pertanian sempit atau tidak mau bertani, maka mereka umumnya merantau. Tingkat pendidikan yang rendah semacam ini tentu saja mempengaruhi sumber daya manusia. Dampak negatifnya bisa dilihat angka kemiskinan di Manggarai Barat.
Sumber Badan Pusat Statistik 2006, tahun 2003 angka kemiskinannya 52,8 persen, naik menjadi 53,1 persen tahun 2004, dan 2005 naik menjadi 71, 6 persen. Menurut indeks IPM (2006), Kecamatan Komodo dengan indeks harapan hidup 74,13, indeks pendidikan 79,61, indeks daya beli 66,41, IPM 73,38 (rangking 1); Kecamatan Sano Nggoang indeks harapan hidup 68,58, indeks pendidikan 75,88, indeks daya beli 32,20, IPM 58,89 (rangking 4); Kecamatan Lembor 76,92, indeks pendidikan 78,83, indeks daya beli 53,08, IPM 69,71 (rangking 2); Kecamatan Kuwus indeks harapan hidup 62,58, indeks pendidikan 77,15, indeks daya beli 43,38, IPM 61,04 (rangking 3); Kecamatan Macang Pacar indeks harapan hidup 65,58, indeks pendidikan 73,46, indeks daya beli 27,91, IPM 55,65 (rangking 6); Kecamatan Welak indeks harapan hidup 62,57, indeks pendidikan 72,88, indeks daya beli 27,20, IPM 54,22 (rangking 7); Kecamatan Boleng indeks 70,42, indeks pendidikan 74,52, indeks daya beli 25,19, IPM 56,71 (rangking 5). Tingkat Kabupaten Manggarai Barat indeks harapan hidup 71,48, indeks pendidikan 77,98, indeks daya beli 44,11, IPM 64,52.
Di bidang ekonomi, pertanian masih mendominasi. Dengan harga konstan tahun 2000, pertanian menyumbankan bagi PDRB 67,30 persen (2003), 65,01 persen (2004) dan 64,96 persen (2005). Pada periode ini pertumbuhan ekonomi 2,87 persen (2004), 3,98 persen (2005), dan pendapatan perkapita 1.667.444 (2004) dan 1.731.674 (2005).
Sementara posisi kedua ditempati sektor perdagangan 11,23 (2003), 11,66 (2004) dan 11,68 (2005), sektor bangunan pada posisi ketiga sektor bangunan 8,93 (2003), 8,25 (2004), dan 8,29 (2005). Keempat ditempati sektor jasa 6,07 (2003), 6,04 (2004), dan 6,03 (2005).
Di bidang kesehatan, penyakit yang paling banyak diderita warga adalah Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), malaria, dan penyakit lainnya.
Dari sekian banyak masalah yang dikemukakan sebagaimana ditunjukkan dalam data-data objektif pemerintah, menurut Rafael, salah satu kunci utama membongkar semua persoalan adalah diperlukannya struktur sistem dinamik penataan kelembagaan dan pembangunan. Sistem sistemik ini mengandaikan adanya nilai-nilai dan kemimpinan yang kuat di seluruh sektor.
Sistem sistemik tidak lain adalah kapasitas kepemipinan di level pengambil kebijakan baik di level birokrasi maupun pada tataran masyarakat dalam konteks yang lebih luas. Visi terwujudnyaManggarai Barat yang maju, mandiri, adil, dan makmur serta berdaya saing akan mudah tercapai mengandaikan adanya nilai (value) dan peran kepemimpinan daerah dan peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Dalam konteks birokrasi, peranan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) amat menentukan. Visi, misi, dan program kerja bupati dan wakil bupati akan terimplementasi dengan baik dan realisasi, serta mudah dioperasionalisasikan dalam praktiknya tergantung pada nilai (core value) dan kapasitas kepemimpinan di level SKPD. Kebijakan daerah yang mengena, pemerintahan yang bersih, transparan, dan akuntabel, pengendalian jumlah penduduk, penataan ruang yang berawasan lingkungan, pembangunan infrastruktur, dan muncul kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi serta adanya partisipasi masyarakat semuanya tergantung pada SKPD.
Fokus pembangunan Manggarai Barat baik jangka pendek maupun jangka panjang adalah pertumbuhan sektor pertanian dengan mengembangkan pertanian organik, agrobisnis, dan agroindustri, agrowisata, peternakan, perikanan, keluatan, dan bioetanol.
Sedangkan potensi berdasarkan aset-aset stretegis yakni pengembangan pariwisata seperti pengembangan ekowisata dan wisata budaya. “Saat ini pariwisata Manggarai Barat tidak hanya andalkan komodo, tapi juga ekowisata,” katanya. Potensi berdasarkan posisi strategis yakni mendorong pertumbuhan perdagangan dengan fokus pada pengembangan pusat transportasi dan distribusi regional (jejaring bandara dan pelabuhan dan transportasi).
Dia juga menyebutkan pentahapan pembangunan. Periode 2005-2010 fokus pada penguatan sumber daya manusia dan kapasitas kelembagaan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan pendapatan asli melalui peningkatan produksi, pengadaan sarana dan prasarana yang berbasis masyarakat dan berwawasan lingkungan.
Pada periode 2010-2015 fokus pada peningkatan pertumbuhan ekonomi melalui pengembangan pariwisata dan budaya, penciptaan lapangan kerja dan pendapatan, mobilisasi investasi dan kerja sama antardaerah. Pembangunan pariwisata menggunakan pendekatan sistem yang utuh dan terpadu serta bersifat partisipatoris untuk meningkatkan daya tarik objek wisata; meningkatkan ragam dan kualitas produk wisata serta promosi dan pemasaran baik dalam maupun luar negeri dengan memanfaatkan kerja sama kepariwisataan regional, nasional, dan internasional; serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia di bidang kepariwisataan untuk mendukung program Sapta Pesona (aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah tamah, dan kenangan.
Periode 2015-2020 diarahkan pada peningkatan kapasitas dan kinerja sarana-prasarana umum khususnya untuk menunjang pertumbuhan pariwisata, pendidikan, kesehatan, dan pengolahan hasol-hasil komoditas Manggarai Barat. Pada periode 2020-2025 fokus pada pengelolaan pertumbuhan ekonomi, dunia pariwisata, penciptaan lapangan kerja dan pendapatan, mobilisasi investasi, dan kerja sama antardaerah.
Pemerintah juga, katanya, berusaha memberdayakan masyarakat. Pemberdayaan itu menyangkut penyadaran, pengkapasitasan, dan pendayaan. Menurut dia, tokoh-tokoh agama ikut mengambil bagian di dalam proses penyadaran ini.
“Sejarah Gereja Katolik di Flores telah memberikan kita sebuah gambaran yang cukup jelas mengenai usaha penyadaran ini. Dalam pertemuan dengan para pastor, saya sering mengatakan bahwa Gereja berperan penting dan akan terus mengambil bagian dalam usaha penyadaran masyarakat mengenai hak-hak mereka dan kewajiban mereka,” katanya.
Menurut dia, kita harus bisa menyadarkan masyarakat kita bahwa mereka memiliki “sesuatu” yang perlu diberdayakan. Proses itu mesti mulai dari diri sendiri, diri masyarakat itu sendiri. Proses penyadaran ini mesti pula disertai dengan proses capacity building, menyangkut kapasitas manusia, kapasitas organisasi dan sistem nilai. Selain itu kita perlu menyiapkan masyarakat kita agar bisa bersaing dalam konteks percaturan antar daerah, nasional, regional, dan internasional. Indikator untuk mengukur daya saing itu adalah adanya akses, partisipasi, kontrol, dan keseteraan.
Menurut Rafael, kemiskinan masih tinggi persentasenya menunjukkan adanya salah urus. Demikian pula IPM menunjukkan adanya kesenjangan pembangunan di wilayah kecamatan. Konsekuensi dari ini adalah alokasi anggaran juga perlu diubah. Salah satu usaha agar ekonomi masyarakat bergerak, pemerintah membangun pasar-pasar. Jika IPM kita rendah, bagaimana kita bisa bicara soal daya saing. “Kita akan kalah bersaing dengan daerah lain. Sering orang ejek bahwa sepertinya tidak ada usaha perbaikan,” katanya.
Di lihat dari persentase kunjungan wisatawan dan jumlah uang yang mereka belanjakan selama ada di Manggarai Barat, maka ke depan pariwisata memberikan prospek yang menarik. Saat ini sedang dibangun hotel bintang lima di Labuan Bajo. Ini berarti ada investasi yang cukup besar. Tugas pemerintah adalah memberina insentif bagi investor yang mau menanamkan modalnya. Langkah konkret lainnya adalah pengembangan objek wisata di Manggarai Barat tidak hanya komodo yang selama ini terkenal, melainkan juga dikembangkan eko wisata. Pengembangan ekowisata dan budaya telah dilakukan dan kecenderungannya meningkat ke depan.
Bagaimana mengembangkan ekowisata yang partisipatif melibatkan masyarakat lokal mesti juga dilakukan. “Kita khawatir jangan sampai terjadi cultural shock. Investasi tinggi tapi masyarakatnya tidak siap,” katanya.
Daya saing antar daerah juga mesti diperhitungkan dalam rancang bangun Manggarai Barat. Daya saing itu tidak saja terjadi di sektor swasta tapi juga pada tingkat pemerintah daerah. Dia bilang kalau suatu daerah punya infrastruktur yang bagus, investor bisa lari ke daerah tersebut sehingga mobilitas investasinya akan bergerak lebih cepat dan terjadi perpindahan. Karena itu pula pemerintah daerah harus pula memperhitungkan daya saing antar daerah melalui penciptaaan kebijakan publik yang berorientasi pada pelayanan masyarakat. “Kita masih membutuhkan pelayanan satu atap, one stop service”.
Di bidang pariwisata, misalnya, pemerintah daerah mesti memberikan kemudahan seperti tax holiday, misalnya. Investasi di bidang pariwisata seperti pembangunan hotel itu investasi jangka panjang. Sehingga pemerintah harus membuat kebijakan yang bisa merangsang investasi.
Dalam mendorong investasi itu, pemerintah mesti memperhitungkan juga kepentingan masyarakat lokal. Yang mesti dilakukan di sini adalah pentingnya rancangan tata ruang (RTUK) yang memperhatikan land use and land right. “Minimal ada keseimbangan antara land right dan land use. Karenanya dalam rancangan konsep pembangunan tidak bisa dilakukan secara parsial melainkan dilakukan dalam kerangka sistemik. “Masalahnya kita selalu berpikir parsial. Penyakit paling banyak itu adalah berpikir parsial. Mestinya kita berpikir sistemik,” katanya.
Dalam kerangka berpikir sistemik, mesti ada leverage atau ada “linggis” yang bisa mengungkit sehingga batu besar kemiskinan itu bisa terguling. Dalam konteks pemikiran sistemik, nilai dan faktor leadership memainkan peran penting. Seorang pemimpin harus pula memiliki keterampilan berkomunikasi yang manusiawi. “Toe hawi haol,” katanya dalam bahasa Manggarai, yang artinya komunikasi rumpu rampe tak jelas arah.
“Semua orang di level kepemimpinan harus berpikir sistemik. Kita bersatu seperti sapu lidi. Kalau tidak gampang dipatahkan. Pendekatan parsial membuat perencanaan pembangunan kita tidak terarah. Akhirnya kita seperti tikus yang mati di atas beras. Artinya kita tidak mampu mengelola sumber daya yang kita miliki,” katanya.

DISKUSI berlanjut. Moderator Pius Pampe memetik beberapa saripati presentasi untuk mengatar diskusi. Lima orang penanya pertama bicara soal pentingnya memperhatikan kepentingan masyarakat lokal dalam pengembangan pariwisata dan menjamin ketersediaan pangan (food security) bagi masyarakat setempat.
Paulus Lengor, salah seorang sesepuh di Ende mengatakan, pembangunan hotel bintang lima dalam konteks pengembangan pariwisata tidak saja pemerintah memperhitungkan sumbangannya bagi pendapatan asli daerah, tapi memperhitungkan keuntungan bagi masyarakat setempat. “Jangan sampai ada pengemis di negeri sendiri. Keuntungannya diambil pengusaha besar sedangkan masyarakat tidak mendapatkan apa-apa. Bagaimana kita bisa ciptakan keseimbangan di sini,” katanya.
Mikhael Bebok bicara soal kemiskinan. Dari data yang disajikan, angka kemiskinan Manggarai Barat cukup tinggi. Meski angka kemiskinan yang tinggi ini dipicu juga oleh banyaknya masyarakat penerima raskin. Mikhael merasa heran karena tanah yang masih begitu luas tidak bisa memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Dia mencontohkan Thailand, yang begitu cepat pulih dari krisis ekonomi. Dia usulkan agar pemerintah daerah fokus pada pembangunan ketahanan pangan di tingkat masyarakat dengan mendorong gerakan menanam. “Kalau tanaman perdagangan sekarang lagi jeblok, karena ekspor menurun, maka yang perlu diperhatikan adalah membangun ketahanan pangan masyarakat,” katanya.
Dia juga bilang potensi pariwisata Manggarai Barat berkelas dunia. “Kita bisa prioritaskan pariwisata, membangun hotel dan fasilitas wisata lainnya. Tapi tolong prioritaskan pertanian”.
“Kita sadar Manggarai itu punya potensi. Sragen dan Jembrana dulu biasa-biasa saja. Tapi karena seluruhnya punya komitmen membangun masyarakat, perubahan begitu pesat. Memang butuh komitmen pemerintah. Kita bisa lakukan. Potensi ada,” tegasnya.
Thomas Ire, mantan guru pada SMA Negeri I Ende juga mengingatkan dalam sesi diskusi ini agar pemerintah sungguh memperhatikan kepentingan masyarakat lokal dalam konteks pembangunan wisata. Termasuk mengatur kepentingan masyarakat lokal di pulau-pulau di Manggarai Barat. “Jangan sampai sayur, telur, ayam dari Bima dan Surabaya, sedangkan masyarakat setempat hanya menonton”.
Menurut dia, pemerintah perlu menata penggunaan tanah karena masyarakat lokal juga punya hak. “Yang diperhatikan pertama bukanlah uang melainkan manusia dengan hak-haknya,” ujarnya.
Dia lebih menginginkan pemerintah memperhatikan ketahanan pangan masyarakat dengan memberdayakan persawahan Lembor, misalnya. “Saya heran pemerintah lebih mengutamakan investasi ubi aldira daripada mengembangkan pertanian di Lembor. “Kita bukan makan uang. Daripada kita kembangkan ubi aldira lebih baik jagung,” ujarnya.
Mengenai kepentingan masyarakat lokal dalam pembangunan pariwisata, kata Rafael, pemerintah memperhatikannya. Investasi hotel yang lagi dibangun di Labuan Bajo tidak secara otomatis masyarakat lokal akan tersingkir.
“Kita kan tidak bisa ubah persepsi dulu baru bangun hotel. Namun serentak dengan pembangunan sarana dan prasarana wisata tersebut, kita memberdayakan masyarakat, menggerakkan mereka untuk membaca peluang. Proses menyadarkan dan menggerakkan masyarakat ke arah menangkap peluang pengembangan wisata sudah dilakukan. Mungkin hasilnya belum optimal,” katanya.
Sekarang kita sedang bicarakan agrowisata. Karena saat ini hampir semua bahan makanan yang dibutuhkan wisatawan didatangkan dari Bima Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Makassar (Sulawesi Selatan). “Kita sudah sering bicarakan agar masyarakat lokal menyuplai kebutuhan wisata sehingga mereka mendapatkan keuntungan dari pengembangan wisata di Mabar,” katanya. Dia bilang AusAid juga mendukung rencana pemerintah mengembangkan agrowisata.
Soal pengembangan pertanian, Rafael menegaskan perlunya pengaturan pola tanam komoditas masyarakat berdasarkan hasil studi yang benar. Dia mencontohkan, dalam pemetaan penyebaran komoditas pertanian, ada yang keliru dalam penggunaan lahan oleh petani. Di wilayah Orong, di tanam komoditas jambu mete. Daerah itu berada 600 meter di atas permukaan laut (dpl). Para petani kita bangga dengan pohon jambu mete yang subur dan pohonnya besar. Namun komoditas itu tidak bisa berbuah.
Yang mesti diubah sekarang adalah proses perencanaan penyebaran bibit oleh dinas terkait kepada para petani. Kasih bibit ke Roe mestinya berbeda dengan bibit yang diberikan ke Lasang. Pemberian bibit harus disesuaikan dengan kondisi wilayah tertentu.
Pemerintah juga sudah mulai membangun pusat-pusat ekonomi pasar dengan membangun pasar-pasar di beberapa wilayah. Idealnya tiap wilayah punya pasarnya masing-masing. Meski diakui sampai sekarang pasar-pasar yang dibangun pemerintah itu belum berjalan optimal. Seorang peserta diskusi Avent Saur bilang, pasar-pasar itu tidak memberikan manfaat ekonomis kepada masyarakat karena “dia datang jual pisang, nanti kembali bawa pisang”. Bagaimanapun masyarakat kita mesti pula diajarkan untuk ikut aktif ambil bagian di dalam ekonomi pasar (lokal).
Memberdayakan masyarakat lokal dengan menyediakan dan menjamin akses mereka terhadap lembaga keuangan juga diangkat Pater Laurens Olanama SVD. Dia mengambil contoh gerakan Muhamad Yunus di Bangladesh yang menghimpun masyarakat pedesaan dalam sebuah wadah ekonomi lokal yang kuat, yang tahan terhadap krisis keuangan dan ekonomi global. Dia bilang pemberdayaan masyarakat lokal mutlak diperlukan terutama dari segi modal. Masyarakat lokal tak cukup modal untuk bergerak di dalam percaturan ekonomi. Bagaimana agar uang tidak hanya terpusat di Labuan Bajo, melainkan tersebar di desa-desa.
Rafael bilang, dari segi modal sudah banyak sekali bantuan pemerintah pusat dan daerah yang dikucurkan ke masyarakat. “Modal sudah ada dan sudah diberikan. Saya percaya pada perlunya penyadaran. Kita ubah dulu mindset masyarakat. Namun justru itu yang paling berat karena dia sangat halus. Tapi bagaimanapun kita akan tetap berpikir ke arah sana,” katanya.
Dosen Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat (STPM) Santa Ursula Ende, Aloysius Belawan Kelen memuji pertemuan atau forum diskusi ini karena kegiatan ini membuka cakrawala berpikir masyarakat. “Bingkai (kerangka sistemik) tadi memperkuat proses yang kami lakukan selama ini bahwa terjadinya ego sektoral, ego politik adalah buah dari perencanaan parsial. Kami selama ini mulai melakukan proses ke desa-desa untuk tidak lagi bersikap parsial dalam perenancaan pembangunan,” katanya.
Master sosiologi ini menegaskan, diskusi hari itu mesti diperluas sehingga kerangka sistemik yang dikemukakan Kepala Bappeda Mabar menjadi visi bersama. Dia mengusulkan agar pertemuan semacam ini bisa menghadirkan Bappeda dari berbagai kabupaten di Flores dan Lembata sehingga ada pembahasan bersama yang lebih komprehensif.
“Saya senang sekali Pak Rafael sudah mulai dengan forum ini. Pariwisata itu sangat strategis daripada tambang. Saya setuju pariwisata jadi produk unggulan di Flores. Kalau kita buat, luar biasa,” katanya.

Mengenai forum diskusi diperluas dengan menghadirkan Bappeda sedaratan Flores dan Lembata diserahkan kepada Flores Pos untuk memprakarsainya. Kemungkinan digelarnya diskusi perencanaan lanjutan akan dijadikan agenda di masa datang.
Rafel kemudian bicara mengenai daya saing. Menurut dia, daya saing tidak saja terjadi antarnegara, melainkan antardaerah. “Kalau kita tidak punya daya saing, bagaimana kita bisa bersaing dengan daerah lain. Kita harus siap. Pembangunan infrastruktur menjadi salah satu kunci di dalam persaingan itu. Omong kosong kita bicara daya saing dalam skala nasional, jika kita tidak menyiapkan diri untuk bersaing antardaerah. Persaingan terjadi juga di antara daerah,” katanya.
Menurut dia, dalam konteks daya saing perlu sekali memegang teguh prinsip taat asas, bukan pada pendekatan pribadi. “Kalau kita menggunakan pendekatan pribadi, ini tidak akan sehat”. Dia mencontohkan dalam proses tender proyek pemerintah. Meski telah ada Keppres No. 80/2003, tetap saja amburadul. Itu berarti ada yang main belakang, sistem manajemennya kurang bagus. Berarti proses tendernya tidak sesuai dengan aturan. “Dalam situasi begini rakyat kita suruh berdaya saing”.
Soal pengembangan pariwisata, Rafael bilang jika pariwisata jadi prioritas, maka pariwisata itu harus jadi payung. Kalau demikian, dalam perencanaan pembangunan kita akan berpikir fokus pada bidang tersebut dan tiap SKPD bicarakan bagaimana menjabarkannya. “Kalau tidak, omong pariwisata itu hanya lips service”.
Merancang Mabar adalah salah satu contoh bagaimana sebuah daerah dibangun mulai dari perencanaan. Ada banyak ide-ide segar muncul dalam diskusi ini. Intinya hanya satu, kita tidak bisa angkat taruh membangun sebuah daerah. Kita memerlukan perencanaan, konsistensi dan komitmen. Diskursus intelektual seperti ini memang diperlukan dalam sebuah perencanaan pembangunan daerah. Diskusi juga menjadi ajang partisipasi publik untuk menyampaikan gagasan bagaimana membangun daerahnya. Pemerintah menyediakan forum musyawarah perencanaan pembangunan mulai dari tingkat desa/kelurahan hingga kabupaten. Namun diskursus intelektual semacan ini amat diperlukan agar perencanaan makin tajam dan pembangunan menjadi terfokus.

Flores Pos Feature Mabar
14-19 Februari 2009

Tidak ada komentar: