23 Februari 2009

Ruang Publik Demokrasi

Komisi Hubungan Antara Agama dan Kepercayaan Kevikepan Ende menyelenggarakan panel diskusi pemilu damai.

Oleh FRANS OBON

KOMENTAR moderator Romo Felix Djawa Pr mencairkan suasana diskusi panel mengenai pemilu damai di aula Wisma Santo Fransiskus Detusoko, Rabu 11 Februari lalu. Empat panelis dalam pertemuan yang digelar Tim Pastoral Kevikepan Ende, Keuskupan Agung Ende dari Komisi Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan bekerja sama dengan Departemen Agama Kabupaten Ende mewakili pandangan agama masing-masing. Dosen Sekolah Tinggi Filsasat Katolik Ledalero Pastor Paulus Budi Kleden SVD (Katolik), Anom B Triyadnya dari Parisada Hindu, Pendeta Yohanes Leymani (Protestan) dan Basirun Samlawi dari Pengadilan Agama Ende (Islam).

“Orientasi Penyuluh Lintas Agama se-Kabupaten Ende tentang Pemilu Damai,” begitu tema pertemuan ini, menurut Vikaris Episkopus (Vikep) Ende Romo Ambros Nanga Pr dimaksudkan untuk membangun dan memantapkan hubungan harmonis antaragama-agama. Pemilihan umum (Pemilu) yang digelar lima tahun sekali dengan beragam kepentingan partai dan para calon harus dilihat dalam konteks pluralisme pilihan politik. Karenanya proses demokrasi menjelang Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden tidak boleh menjadi sumber konflik. Atas nama apun.


Komitmen dan persamaan persepsi ini mesti mulai dibangun dari para pemimpin agama. Pemilu yang damai sebenarnya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi agama-agama ikut ambil bagian di dalam tanggung jawab ini. Partisipasi ini dimaksudkan untuk menyukseskan cita-cita bersama yakni pemilu menjadi medium untuk mencapai kebaikan bersama.

Pertemuan ini, kata Vikep, lebih dilihat sebagai lilin pertama yang coba dinyalakan para pemimpin berbagai agama untuk diestafetkan pada lilil-lilin pencerahan berikutnya. Makin banyak lilin pencerahan yang dinyalakan, makin baik bagi proses kematangan berdemokrasi. Kevikepan Ende sendiri akan memasukkan bahan-bahan hasil diskusi panel ini ke dalam bahan katekese politik yang lagi disusun oleh tim pastoral Kevikepan.

Kebersamaan dalam pertemuan ini, begitu Basirun Samlawi, perlu dibina agar menjadi satu kekuatan untuk kemajuan demokrasi dan kesejahteraan bersama. Demokrasi yang merupakan sebuah mekanisme melahirkan kepemimpinan dalam masyarakat erat berkaitan dengan dinamika sosial. Dinamika sosial bertali temali dengan mekanisme politik demokrasi sehingga tidak jarang terjadi konflik. Konflik itu dibungkus oleh kepentingan politik, kepentingan suku dan agama. Ideal kiranya jika terjadi konflik kepentingan dalam proses berdemokrasi itu diselesaikan secara santun, sehingga proses demokrasi dapat dipertanggungjawabkan, dan ukuran-ukuran berdemokrasi bisa menjamin keberlanjutan proses melahirkan pemimpin dalam masyarakat.

“Jika terjadi perdebatan, sampaikanlah secara santun. Hargailah hak-hak dan pendapat orang lain. Jangan mencederai demokrasi dan hindarilah demokrasi dari kekerasan, anarkisme, dan ekstrimisme. Mesti ada kesantunan dalam berdemokrasi dan proses demokrasi dipertanggungjawabkan,” katanya.

Menurut dia, pencederaan demokrasi dengan cara atas nama rakyat dan atas nama demokrasi itu justru akan melemahkan proses demokrasi tersebut. “Pemaksaan kehendak baik bersumber dari kekuatan mayoritas maupun minoritas akan menciptakan tirani mayoritas maupun tirani minoritas”. Jika mekanisme demokrasi tidak diatur oleh sebuah regulasi maka berpotensi untuk terjadinya konflik atau anarkisme. Demokrasi memungkinkan berkembangnya rasionalitas dan mekarnya harmonisasi sosial.

Pemilu, karenanya, tidak saja mencerminkan elektabilitas kepemimpinan, melainkan mencerminkan berkembang atau tidaknya pendidikan politik itu sendiri. Basirun ingin menegaskan bahwa proses Pemilu seperti sekarang ini mestinya juga mencerminkan pendidikan politik untuk mengembangkan demokrasi. Jika Pemilu menjadi media pendidikan demokrasi, mestinya juga seluruh aktivitas politik menjelang dan sesudah pemilu mencerminkan nilai kesantunan, moralitas, dan kearifan-kearifan berpolitik.
“Etika adalah bagian tak terpisahkan dari politik dan pendidikan politik akan memberikan harapan-harapan bagi lahirnya pilihan cerdas dari rakyat pemilih,” katanya.

Dia bilang basis utama dari demokrasi adalah nilai dan moralitas. Proses demokrasi itu menilmbulkan konflik baik konflik psikologis maupun sosial jika proses berdemokrasi itu meninggalkan nilai dan moralitasnya. Konflik dalam berdemokrasi itu bisa terjadi jika politik memanipulasi agama. Karenanya perlu proses pencerahan berkomunikasi. “Entah mekanisme demokrasi itu bentuknya apapun, terpenting tujuannya baik, tidak membawa suku dan agama dan berlangsung dalam suasana santun,” katanya.

Demokrasi Indonesia saat ini berada dalam proses transisi sehingga proses-proses demokrasi sebagaimana terungkap dalam pemilu mesti pula dijaga serta tidak menimbulkan kepenatan dalam diri kita.

Pemilu damai, begitu Pendeta Yan Leymani, panelis kedua mengatakan, pemilu berpotensi konflik bila tidak dibingkai oleh tanggung jawab baik oleh penyelenggara pemilu maupun masyarakat luas. Karena partai politik dengan syarat kepentingan akan bersaing dengan partai politik lainnya. Interaksi mereka perlu diatur dalam bingkai aturan dan tanggung jawab bersama agar pelaksanaan pemilu berlangsung damai dan aman. “Seluruh elemen masyarakat bertanggung jawab atas pelaksanaan pemilu damai,” ujarnya.

Kalau perbedaan kepentingan partai yang begitu banyak “mengeksploitasi sentimen-sentiman primordial dan memanipulasi solidaritas komunal”, maka konflik akan timbul.
Dia menyinggung politik uang (money politics) dalam pemilu di Indonesia. “Yang menerima senang, yang memberi merasa didukung”. Masalah primoridialisme dalam memilih juga terjadi, sedangkan kemampuan calon seakan diabaikan.
Bagi orang Kristen, “Proses pemilihan seorang pemimpin itu dilatarbelakangi oleh kebutuhan umat dengan tujuan pembebasan. Bebas dari belenggu yang membatasi manusia untuk melakukan sesuatu demi perkembangan dan pertumbuhan hidupnya, demi kedamaian dan kesejahteraan”.

Menurut dia, kepemimpinan Yesus jauh dari politik uang. Karena Dia datang dan hidup bersama masyarakat. “Banyak para pemimpin kita tidak datang dan hidup bersama masyarakat, karena mereka mengandalkan kekuatan lain”. Pemilu damai adalah sebuah gerakan moral. Kita semua berusaha agar suasana damai tercipta dan dinikmati oleh semua orang.

Sedangkan Anom Triyadnya dari Parisada Hindu menyebut pertemuan ini sebagai syering bersama untuk memendorong sebuah aksi damai dalam pelaksanaan pemilu. “Semua agama bicara soal damai”. Dia bilang dalam pelaksanaan hak dan kewajiban, seperti ruas dan buku dalam bambu. Dua unsur konstitutif tersebut perlu dilaksanakan secara seimbang.
Pada bagian pertama dari presentasinya, Pater Paulus Budi Kleden bicara pandangan Gereja Katolik mengenai pemilu dan demokrasi. Menurut dia, Konsili Vatikan II menegaskan bahwa demokrasi merupakan sistem yang layak dipuji. “Gereja mendorong perjuangan ke arah demokrasi, namun serentak mengingatkan bahwa penerapan sistem ini mesti disesuaikan dengan kondisi berbeda masing-masing wilayah,” katanya.

Gereja Katolik, katanya, menyadari sepenuhnya arti penting politik bagi dirinya, bagi perwujudan ideal sebuah masyarakat yang sejahtera dan manusia yang bebas. Gereja melihat keterlibatan dalam politik sebagai “panggilan” yang “berat namun mulia”. Orang-orang yang terlibat di dalam aktivitas politik adalah “orang-orang yang memiliki integritas moral dan kebijaksanaan, dan karenanya orang-orang ini berani menentang setiap bentuk ketidakadilan dan penindasan, melawan kesewenang-wenangan dan intoleransi terhadpa orang dan kelompok lain”.

Bagi orang Katolik, aktivitas politik harus bersumber pada iman sebagai sumber visi, motivator kegiatan politik dan instansi moral. “Politisi Katolik harus merasa yakin bahwa berpolitik adalah sebuah panggilan”.

Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere ini menegaskan bahwa Gereja Katolik menghargai pluralisme politik. Namun serentak Gereja tidak mengidentikan dirinya dengan salah satu partai politik dan mengarahkan umatnya dengan satu partai politik.

“Gereja sama sekali tidak bertendensi untuk mengidentikan diri dengan satu partai politik atau mengarahkan umatnya untuk hanya terlibat dalam satu partai politik, atau pemilu hanya memilih satu partai politik,” tegasnya.

Berbagai dokumen Gereja Katolik yang berbicara mengenai politik, terutama dokumen Ajaran Sosial Gereja menegaskan bahwa demokrasi memungkinkan partisipasi warga negara dalam kebijakan publik pemerintahan, peluang bagi rakyat memilih pemimpinnya, dan meminta pertanggungjawaban dari mereka. Karenanya menurut Budi Kleden, pemilu menjadi media kontrol dari rakyat untuk para pemimpin mereka. Sehingga pemilu tidak saja memberikan legitimasi bagi para pemimpin, melainkan juga sebuah mekanisme kontrol.

Dalam dokumen Centisimus Anus dari Paus Yohanes Paulus II, artikel 46, disebutkan: “Gereja menghargai sistem demokrasi karena membuka wewenang yang lebih luas bagi warga negara untuk berperan serta dalam penentuan kebijakan-kebijakan politik, lagipula memberi peluang bagi rakyat bawahan untuk memilih para pemimpin, tetapi juga meminta pertanggungjawaban dari mereka dan – bila itu memang sudah selayaknya – menggantikan mereka melalui cara-cara damai”.

Dengan demikian Pemilu bagi Gereja Katolik, katanya, merupakan mekanisme yang memungkinkan rakyat memilih pemimpin, meminta pertanggungjawaban dan menurunkan mereka. Karenanya juga setiap peristiwa politik harus pula diarahkan pada kontribusi bagi perdamaian. Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) juga telah berulang kali menegaskan pentingnya demokrasi dan menumbuhkan sikap demokratis sebagai wujud pertanggungjawaban iman. Nota Pastoral KWI tahun 2003 berjudul “Keadilan Bagi Semua Orang” menegaskan pentingnya memperhatikan etika politik demi kesejahteraan bersama.
Ada beberapa prinsip etika politik. Pertama, hormat terhadap martabat manusia. Martabat manusia tidak boleh diperalat untuk tujuan apapun, termasuk untuk tujuan politik. Kedua, kebebasan. Yakni “Bebas dari segala bentuk ketidakadilan dan bebas untuk mengembangkan diri secara penuh”.

Ketiga, keadilan, kesejahteraan, dan kepastian hukum; keempat, solidaritas. “Di mana orang mengalami perlakuan dan keadaan tidak adil, solider berarti berdiri pada pihak korban ketidakadilan termasuk ketidakadilan struktural”. Kelima, subsidiaritas, yakni “menghargai kemampuan setiap manusia baik pribadi maupun kelompok untuk mengutamakan usahanya sendiri, sementara pihak yang lebih kuat siap membantu.
Keenam, fairness. Politik yang demokratis adalah politik yang fair, di mana “dihormatinya pribadi dan nama baik lawan politik, dihargainya perbedaan wilayah privat dari wilayah publik,; disadari dan dilaksanakannya kewajiban sebagai pemenang suatu kontes politik untuk memperjuangkan kepentingan dan kesejahteraan seluruh rakyat”.

Ketujuh, demokrasi sebagai “sistem yang tidak hanya menyangkut hidup kenegaraan, melainkan juga hidup ekonomi, sosial, dan kultural”. Kedelapan, tanggung jawab. “Kita tidak bisa melemparkan tanggung jawab terhadpa kehidupan kita kepada pemerintah atau lembaga mananpun”.

Setelah bicara pandangan Gereja soal politik dan demokrasi, Pater Paul bicara soal pemilu damai. Bagi dia, pemilu damai tidak saja diukur pada saat penyelenggaraannya, melainkan kontribusi pemerintahan hasil pemilu itu bagi perdamaian. “Kualitas penyelenggaraan kekuasaan diukur berdasarkan kontribusinya bagi kesejahteraan. Basis dari kesejahteraan bersama itu adalah keluhuran martabat manusia”. Salah satu unsur dari kesejahteraan itu adalah kedamaian. Karenanya setiap momentum politik turut diukur berdasarkan suasana damai yang diciptakannya.
Ada empat komponen pemilu damai.
Pertama, regulasi. Regulasi dalam pemilu harus memberikan kepastian, tidak menimbulkan kebingungan dan multitafsir. Regulasi juga harus adil yakni memberikan jaminan kepada semua warga negara untuk menggunakan hak hak pilihnya baik hak pilih aktif maupun pasif. Transparansi adalah unsur penting lainnya baik dalam proses maupun dalam menentukan hasil pemilu.
Kedua, penyelenggara pemilu. Penyelenggara pemilu harus taat asas, adil, jujur, dan melakukan sosialisasi aturan dan mekanisme pemilu. “Seringkali keonaran dalam pemilu terjadi karena kurang atau tidak adanya pengetahuan mengenai mekanisme dan aturan dalam keseluruhan proses pemilu”.
Ketiga, peserta pemilu. Setiap calon tidak menggunakan segala macam cara untuk mendapatkan kemenangan. “Pemilu yang damai turut dijamin oleh peserta pemilu yang memiliki harga diri dan bermartabat. Peserta seperti ini berlapang dada untuk menerima kekalahan dan merayakan kemenangan sebagai penerimaan tanggung jawab”.
Keempat, warga (masyarakat). Warga memberikan kontribusi bagi pemilu damai bila dia menggunakan haknya sesuai dengan pertimbangan suara hati sendiri. Sikap kedua adalah menghargai keputusan pribadi sesama warga. “Kedamaian dalam politik dijamin apabila masing-masing warga menghargai apa yang menjadi pilihan politis sesamanya. Karena demokrasi dilandaskan pada kesediaan berbeda pendapat. Karena itu setiap bentuk paksaan kepada penyeragaman sebenarnya mengkhianati demokrasi dan merendahkan martabat orang lain”. Pemilu damai juga tercipta jika warga tidak membiarkan dirinya diprovokasi oleh kekuatan lain.
Pada bagian ketiga presentasinya, Pater Paul menegaskan, empat komponen pemilu damai ini dapat dipakai untuk menilai Pemilu 2009. Menurut dia, Pemilu 2009 ditandai ketidakstabilan regulasi. Soal parlementary threshold, partai-partai kecil masih menggugat ke Mahmakah Konstitusi. Selain itu masih ada problem cara mencontreng dan penetapan kursi untuk perempuan.
Dia menyoroti khusus soal jadwal pemilu yang bertepatan dengan hari keagamaan sekelompok warga yang dinilainya bisa membatasi penggunaan hak pilih warga. “Warga bisa saja dihadapkan pada pilihan melaksanakan tugas keagamaan atau mengikuti pemilu”.
Soal penyelenggara, sampai sekarang rasanya masih kurang sosialisasi terutama soal pencontrengan dan keabsahan surat suara. Peserta pemilu masih menggunakan kampanye negatif untuk merebut suara terbanyak setelah adanya ketetapan penetapan kursi berdasarkan suara terbanyak.
Mengenai sikap warga, dia menilai sudah ada proses pendewasaan dalam berdemokrasi. Namun yang masih diwaspadai adalah “sikap acuh tak acuh”. Hal ini disebabkan karena “kekecewaan terhadap para politisi dan perubahan kondisi kehidupan yang tidak sesuai dengan harapan, sehingga pemilu bisa jadi cukup sepi”.
Menurut dia, saat sekarang penting mendorong warga untuk menjadi pemilih cerdas, yang mendasarkan pilihannya pada pertimbangan kepentingan seluruh masyarakat. “Bagi orang Katolik, tidak menggunakan hak pilih pun merupakan satu keputusan yang harus dihormati, apabila hal itu sungguh beralasan. Karena itu kendati ada prediksi yang meyakinkan bahwa angka golput akan meningkat dalam Pemilu 2009, Gereja Katolik hendaknya tidak perlu mengeluarkan larangan untuk pilihan sikap ini”.
Menyitir pernyataan Paus Johanes Paulus II pada Hari Perdamaian Sedunia 1991, “Jika Anda inginkan perdamaian, hormatilah suara hati setiap pribadi” dia mengatakan, “Jika Anda menginginkan pemilu damai, hormatilah suara hati setiap warga”.

Tanya jawab hanya dua sesi. Masalah yang dominan dibahas secara lebih luas soal menggunakan hak pilih, kapabilitas, moralitas dalam politik, dan dampingan terhadap para politisi. Abdurahman, seorang peserta menanyakan kepada panelis soal penggunaan hak pilih. Menyikapi adanya masyarakat yang tidak mau menggunakan hak pilihnya, Abdurahman menegaskan perlunya menggunakan hak pilih dalam pemilu. Menurut dia, di tengah keraguan mengenai kemampuan para calon dan moralitas politik mereka yang mencemaskan, orang bisa memilih orang yang kebaikannya lebih banyak daripada yang kebaikannya sedikit. Konsep ini di dalam etika lebih dikenal dengan konsep minus malum, yakni memilih orang “yang keburukannya lebih kecil”. Kalau semua orang buruk, maka pilihlah orang yang keburukannya paling sedikit (kecil).

Partisipasi dalam pemilu dengan menggunakan hak pilih, kata Basiran Samlawi, seorang panelis akan memberikan justifikasi pada pemimpin yang dipilih melalui Pemilu. Karena itu logikannya sedikitnya warga yang berpartisipasi atau memberikan suara dalam Pemilu akan mempengaruhi legitimasi atas kepempinan yang terpilih. Bagi dia apatisme (kemasabodohan) ini akan dapat merugikan proses demokratisasi, terutama dalam proses transisi demokrasi yang lagi terjadi di Indonesia.

“Dalam konteks Islam memilih jadi wajib jika pemilu itu memang diperlukan dan sebagai sesuatu yang wajib atau menggunakan hak pilih itu jika memang ada keharusan untuk menyempurnakan yang wajib itu,” katanya. Meski dia mengakui bahwa ada varian di dalam sikap boleh tidak menggunakan hak pilih ini. Karena itu dia menegaskan perlunya kecerdasan dan proses penyadaran bagi para pemilih.

Anom Triyandnya dari Parisada Hindu menegaskan pentingnya warga menggunakan hak pilihnya. Meski demikian dia juga mengatakan bahwa manusia juga punya hati nurani. Namun hak dan kewajiban di dalam konteks pemilu seperti ruas dan buku pada bambu.

Sedangkan Pendeta Yan Leymani dari GMIT Ende mengatakan, tidak menggunakan hak pilih itu adalah juga bagian dari pemilu damai. Menurut dia, jika ada kewajiban memilih, maka di sana ada paksaan untuk menggunakan hak pilih. Hal ini tentu akan menimbulkan konflik dalam batin. “Tidak boleh ada paksaan dan biarkan orang bergerak menurut hati nurani dan pilihan politiknya”.

Menurut dia, kecenderungan untuk tidak menggunakan hak pilih adalah ekspresi dari apatisme politik di kalangan warga. “Harapan kita adalah tidak ada warga yang memilih golput (golongan putih) namun jika ada yang tidak menggunakan hak pilihnya adalah juga merupakan hak yang patut dihormati”.

Sedangkan Pater Budi Kleden menegaskan, menggunakan hak dalam pemilu adalah hak warga negara yang harus dihormati. Dalam demokrasi menghargai hak orang lain itu sesuatu yang penting. “Kalau saya merasa ada hal yang membuat saya tidak bisa menggunakan hak pilih saya, maka saya tidak bisa menggunakan hak saya”.

Dengan ini, katanya, dia tidak sedang menganjurkan orang untuk tidak menggunakan hak pilihnya (golput). Namun, dia ingin menegaskan bahwa menghormati hak orang lain itu sesuatu yang penting bagi demokrasi. Namun dia menegaskan lagi bahwa kalau seseorang tidak menggunakan hak pilihnya, pilihan itu tidak didasarkan pada apatisme politik, karena malas, melainkan didasarkan pada pertimbangan tertentu yang mendasar. “Jika orang tidak menggunakan hak pilihnya, ini kita harus hormati”. Konferensi Wali Gereja Indonesia pada Pemilu 1997 mengatakan bahwa tidak menggunakan hak pilih bukanlah dosa.

Prinsip dasar dari pemilu damai dan prinsip dasar demokrasi adalah menghargai hati nurani. Meski kita tahu bahwa pemilu adalah medium terbaik untuk memilih pemimpin. “Orang tidak bisa dipaksa untuk menggunakan haknya. Kalau ada paksaan berarti melanggar martabat orang”.

Menurut dia, tugas pemimpin adalah melindungi hak warga negara, sehingga negara tidak boleh memaksa warga negaranya untuk menggunakan hak pilihnya. “Ini kita ingatkan agar jangan ada polisi dari rumah ke rumah untuk mengecek orang pilih atau tidak. Sebab kalau negara memaksakan hal itu, maka akan ada petugas yang mengecek penggunaan hak pilih warga negara. Karena dalam negara demokrasi hanya negaralah yang satu-satunya diizinkan menggunakan kekerasan,” katanya.

Namun, “Saya ingatkan agar tidak menggunakan hak pilih karena sikap malas tapi berdasarkan pertimbangan yang bertanggung jawab”.

Romo Stef Wolo Itu Pr, Ketua Komisi Kerasulan Awam (Kerawam) Katolik Keuskupan Agung Ende dalam sesi kedua minta panelis untuk tidak saja melihat masalah ini dari perspektif agama masing-masing, melainkan ada sikap inklusif, namun permintaan itu tidak dijawab secara eksplisit. Namun secara implisit ada satu keinginan untuk menghargai hak pemilih dan hati nurani orang dalam pemilu mendatang.

Mengenai kapabilitas calon saat ini dan pembinaan etika sebagaimana diangkat Philipus Hami, Pater Budi mengatakan, bagi Gereja sendiri politik adalah medan karya yang ditahbiskan sehingga keterlibatan para politisi Katolik di dalam politik adalah suatu panggilan. Di tingkat Konferensi Wali Gereja Indonesia, ada usaha untuk mengumpulkan calon legislatif dari Katolik agar mereka memperhatikan etika dalam berpolitik. Namun usaha ini bukan soal mudah karena seleksi calon dilakukan oleh partai politik. Karena itu dianjurkan agar induk partai yang melakukannya. Calon yang disodorkan kepada masyarakat luas mencerminkan atau menunjukkan kualitas partai politik yang mencalonkannya. Sehingga kita perlu kerja sama dengan ketua-ketua partai. Menurut dia, ada dua kemungkinan bisa terjadi dengan calon kita yakni terjadi perubahan watak saat menjadi calon dan saat setelah jadi calon.

Sedangkan Pendeta Yan berkelakar, “Kalau caleg tidak paham politik, repot. Kalau terlalu paham repot. Dia harus menempatkannya dalam moral politik yang sehat”. Namun dia lihat amat mengkhawatirkan kapabilitas calon, sejauh dia tahu.

Basirun mengatakan, untuk melihat kapabilitas calon, “Saya kira bisa diukur”.


Flores Pos Feature Pemilu
21-23 Februari 2009

Tidak ada komentar: