27 September 2007

Musik di Tengah Malam

Di sebuah kampung, orang menaiki kendaraan pkl. 03.00 dinihari menuju ibu kota kabupaten, yang jaraknya hanya 30 kilometer. Agar tidak terlambat, orang harus sudah bangun pkl. 02.00 dinihari.


Oleh: FRANS OBON

UDARA dingin Poco Kuwus menusuk ulu hati. Angin menghanyutkan embun menyapu ubun-ubun. Warga Kampung Lasang, Kecamatan Kuwus, Manggarai Barat terlelap dalam tidur. Musik dan lagu Manggarai yang diputar keras-keras dari Bus Kembang Indah memecah keheningan Minggu (23/9) malam lalu. Klakson Colt Diesel itu memberi isyarat bahwa penumpang yang hendak ke Ruteng di tengah malam itu segera bergegas menaiki kendaraan.

Malam pkl. 03.00, Feri, Fince bersama anak lelaki mereka yang lagi lucu dan lincah Alfin, Gun, Fensi, Moni, dan saya meneteng tas menuju kendaraan. Barang bawaan lainnya seperti beras sudah ditaruh di dekat sebuah kios. Ayah dan ibu mereka, Mikael dan Regina dengan amat setia mengantar di tengah kegelapan malam itu.

Di wilayah ini, jika keesokannya Anda hendak ke Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai, Anda harus berjaga-jaga pada pukul 02.00 dinihari. Kalau Anda tidur terlambat, risikonya Anda harus bangun dengan rasa kantuk yang berat. Lewat dari jam itu, Anda akan ketinggalan kendaraan. Orang-orang di daerah ini sudah terbiasa. Bahkan lebih ngeri lagi, orang-orang dari kampung Ndieng, Kondok harus sudah bergegas lebih awal jika tidak ingin ketinggalan kendaraan. Padahal bus Harapan Bersama ada tiga. Ditambah Kembang Indah. Semua ini tidak mengubah kebiasaan berangkat di tengah malam gelap. Ketika saya tanya ke beberapa orang, mereka hanya bilang, kebiasaannya begitu.

“Ini untuk menghindari antrean panjang mengisi bahan bakar di Ruteng,” kata Mikael.

Kendaraan meninggalkan Lasang. Musik dan lagu-lagu Manggarai diputar dengan keras sebagai isyarat ke kampung lainnya bahwa kendaraan menuju Ruteng lagi menunggu mereka. Di Dadar beberapa penumpang naik. Di pertigaan ke Teno, di Tebang, di Suka, penumpang terus membludak. Sebagian akan berangkat ke Ruteng, sebagian lagi turun di Golowelu, ibu kota Kecamatan Kuwus.

Kendaraan terus menari-nari di atas jalan yang sebagian besar sudah diaspal dan beberapa ruas belang bonteng penuh bebatuan. Pantat terasa sakit karena duduk di atas papan kayu. Sandarannya juga dari kayu. Ketika kendaraan terus melaju dengan kencang, angin terasa menusuk dengan keras menembus relung hati. Kita menggigil kedinginan. Udara dingin di sepanjang kaki Poco Kuwus yang telah menjadi hutan lindung itu tak dapat mengusir kantuk penumpang.

Musik dangdut lagu Manggarai berdentum di tengah kelolakan mendaki Wae Gelong. Tidak ada rasa gentar di hati penumpang. Padahal tanjakan dan tikungan tajam terus menanti di depan mata. Beruntung di ruas jalan mendaki Wae Gelong sudah diaspal.

Di ujung tanjakan-tanjakan itu, kita menari-nari lagi di atas bebatuan sampai di Golowelu. Di pertigaan ini, sebagian besar penumpang turun. Menunggu kendaraan lain menuju tujuan masing-masing.

Kendaraan berhenti sekitar 10 menit. Dari Golowelu hingga Goloworok, jalan penuh bebatuan. Matahari mulai menyingsing. Runing kaka ngkiong, ngkiong le poco menandakan bahwa fajar merekah, matahari akan keluar dari peraduannya menerangi kembali hidup para penghuni lembah-lembah Poco Kuwus.

Dari Cancar, kendaraan melaju dengan kencang. Jalan beraspal mulus. Sebelum masuk terminal Mena, kendaraan berhenti. Konjak menagih uang tarif kendaraan. Ada yang langka di sini. Penumpang yang minta diantar bus Kembang Indah perlu menyiapkan uang dua ribu rupiah untuk membayar angkutan kota. Di Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai, terdapat kebiasaan bahwa penumpang dari luar kota yang hendak menggunakan kendaraan yang sama menuju tempat tujuan harus membayar tarif angkutan kota dua ribu rupiah, meski kita tidak menggunakan angkutan kota tersebut. Hari itu sopir angkutan kota menaiki kendaraan memungut uang.

“Potiwolo,” kata saya dalam hati. “Enak-enak dia terima uang dua ribu dari tiap penumpang, tanpa buang bensin. Tidak kerja dapat duit. Yang begini cuma di Manggarai”.

KOTA Ruteng, Rabu (19/9) lagi sibuk. Para pedagang kaki lima yang memasang tenda-tenda jualan di depan pertokoan membuat pusat perdagangan di kompleks pertokoan jauh dari kesan indah. Orang-orang berdatangan dari kampung-kampung memadati setiap pusat perbelanjaan dan perdagangan. Apalagi sekarang lagi musim cengkeh. Aktivitas di toko Nugi Indah yang menjadi pusat pembelian komoditas perdagangan terus meningkat tiap hari.

Saya bergegas ke terminal Mena menggunakan ojek, yang tarif resminya dua ribu rupiah. Saya melihat bus Harapan Bersama, yang dikemudi Johny dari Dereisa Boawae, Kabupaten Nagekeo. Saya berhenti. Kuberi uang lima ribu rupiah kepada ojek. Dia senang.

Rupanya kendaraan ini berada di tempat yang salah. Dua polisi lalulintas datang. “Mana sopir?”. Sopir bus dengan trayek Mbay kena. Surat Izin Mengemudi (SIM) sang sopir diambil. Nasib sial juga menimpa Johny. SIM-nya diambil. Hari itu di ruas jalan yang sama Bupati Manggarai Christian Rotok mau membuka kegiatan Bimtek. Petugas Satpol PP mengatur lalulintas. Seorang petugas Dinas Perhubungan marah-marah. “Kalau main tilang terus begini, kapan sopir bisa cari makan?”. “Mungkin cari uang rokok,” kata warga di situ yang ikut menyaksikan. Saya tidak tahu urusan selanjutnya.

Bus Harapan Bersama menuju terminal Mena. Saya melihat Johny setengah putus asa karena penumpang lagi sepi. Dia hanya punya satu konjak yang terbilang pengalaman, sedangkan satunya “anak baru”. Belum lagi SIM-nya ditahan polisi. Dia berpikir tentang denda dan dari mana lagi uang dia peroleh untuk membayarnya di tengah penumpang lagi sepi.

Kendaraan menuju Ranggu sebagai titik akhir bus Harapan Bersama biasanya keluar pkl. 10.00 pagi. Jika Anda terlambat, Anda harus menunggu keesokannya lagi. Karena semua kendaraan menuju tujuan ini berangkat pada jam hampir bersamaan.

Keluar dari belanga Wae Garit, yang menggerakkan turbin listrik tenaga air yang pernah menjadi kebanggaan Manggarai, yang dibangun jaman Bupati Frans Sales Lega, di dataran Cumbi, Anda langsung merasakan sejuknya udara pegunungan. Hamparan hijau padi sawah di Cancar dalam bentuk lodok (kebun komunal Manggarai) memberikan pemandangan yang indah. Jalan berkelok-kelok di antara kopi, cengkeh, dan kebun-kebun yang baru dibuka. Rumah-rumah penduduk makin banyak di sepanjang jalan. Mulai dari Golowelu hingga Lasang, warga seakan berlomba-lomba membuat rumah batu dengan pengecatan yang indah. Di Manggarai kemajuan ekonomi bisa terlihat dari rumah-rumah warga. Sebelas tahun lalu, Juni 1996, saya datang ke wilayah ini, rumah-rumah di sepanjang ruas jalan Golowelu hingga Lasang sedikit jarang. Sekarang rumah-rumah bagus berderet di sepanjang jalan.

Pemandangan pedesaan yang indah dan sejuk, air jernih yang mengalir dari Poco Kuwus yang mengairi sawah-sawah penduduk, dan padi-padi yang lagi sebulan dipanen bersama dentuman musik dan lagu Manggarai membawa kita kepada angan-angan bahwa betapa Tuhan menciptakan Manggarai dalam keadaan terjaga penuh dengan segala dahsyat kuasanya yang mengagumkan.

SEORANG anak dengan luka pada pipi kanan duduk dekat ibunya di sebuah rumah, di Kampung Suka yang bagian depannya dijadikan kios. Rumah ini sering menjadi tempat orang-orang di kampung itu menunggu kendaraan menuju Ruteng. Ibunya dengan kulit yang keras menggambarkan dia seorang pekerja keras menangis. Banyak orang berkerumun. Rabu (19/9) Kampung Suka tidak lagi bersukacita. Anak ini digigit anjing. Semua khawatir ini gigitan anjing rabies.

Bus Harapan Bersama berhenti. Warga menceritakan, mereka lagi menunggu kendaraan ke Ruteng untuk membawa anak ini agar mendapatkan suntikan Vaksin Anti Rabies. Namun pada jam-jam seperti itu (sekitar pkl.12.30) kendaraan menuju Ruteng sudah tidak ada lagi. Karena semua kendaraan dari wilayah ini menuju Ruteng hanya pada pagi buta sekali dan jam 10.00 mereka keluar dari Ruteng. Satu-satunya harapan adalah menggunakan ojek, yang lagi menjamur. Saya tidak tahu lagi selanjutnya karena bus terus melaju menuju Ranggu.

Saya diam membayangkan bagaimana kegalauan hati sang ibu. Karena dia tahu bahwa Kecamatan Kuwus termasuk daerah rabies. Telah banyak anak seusia anaknya menjadi korban keganasan rabies. Apakah anak kesayangannya akan menambah deretan korban rabies? Itulah yang membuatnya menangis.

Bus Harapan Bersama terus melaju diiringi musik dan lagu-lagu berbahasa Inggris. Bus berhenti di Lasang. Saya turun.

Di Labuan Bajo, ibu kota Manggarai Barat stok baru VAR kosong. Pemerintah masih menunggu VAR dari Provinsi. “Stok VAR masih ada, sisa dari pemakaian tahun lalu. Namun itu stok lama. Kita inginkan VAR baru. Jika sudah tersedia, pemerintah akan melakukan vaksinasi massal,” kata Kepala Dinas Peternakan Manggarai Barat Mateus Janing, Sabtu (22/9).

Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat masih menunggu 5.000 VAR yang dialokasikan pemerintah Provinsi NTT, yang hingga sekarang belum didrop ke daerah itu. Sementara di Kupang, pemerintah sedang melakukan tender pengadaan VAR itu.

Betapa jauh Suka dan Kupang. Betapa Kupang dan Labuan Bajo sering tidak merasakan duka dan kecemasan seorang ibu di sebuah kampung di Kuwus, yang anaknya lagi digigit anjing (yang diduga rabies). Birokrasi sering mengambil dan memperlebar jarak dari denyut kehidupan orang-orang sederhana. Ibu itu membisu dalam kepasrahan.

*Flores Pos/Feature/ 27 September 2007

1 komentar:

Ewaldus Wera mengatakan...

Tulisan ini luar biasa. mengingatkan saya pada kasus rabies pertama kali di Larantuka. saya punya film tentang penderitaan seorang anak di africa yang menderita rabies.

Kraeng tua teruslah berkarya, memihak pada kaum lemah. siapa lagi kalaupun kita.


regards,
Ewaldus Wera/ Massey University-Palmerston North- New Zealand