27 September 2007

Konflik Hutan dan Masyarakat Lokal

Oleh: FRANS OBON

Warga Desa Cireng Kecamatan Satarmese, Manggarai ditangkap polisi, Selasa lalu dalam sebuah operasi gabungan karena dituduh merambah atau melakukan aktivitas di dalam wilayah hutan lindung.

Kawasan itu masuk dalam wilayah hutan lindung Todo RTK 14 yang ditetapkan pemerintah tahun 1983/1984 dan berita acara tapal batas tanggal 2 Januari 1986, dikukuhkan menjadi kawasan hutan lindung melalui SK Menteri Kehutanan No. 239/Kpts-II/1987 tanggal 6 Agustus 1987 dengan jumlah pal batas 800 buah. Luas kawasan itu mencapai 10.098,20 hektare.

Di pihak lain, warga Desa Cireng menganggap sebagian dari kawasan hutan lindung itu adalah lingko Cireng (tanah komunal). Mereka beralasan bahwa masyarakat tidak tahu penetapannya dan belum pernah mereka tahu bahwa lingko Cireng masuk dalam kawasan hutan lindung.

Polisi membebaskan 31 warga Cireng yang ditahan selama semalam setelah mereka diberi ceramah dan menonton film bencana Gapong, Lambaleda, dan Reo.

Kasus Cireng adalah satu dari sekian konflik antara masyarakat lokal dan pemerintah daerah mengenai hutan lindung, terutama di Kabupaten Manggarai. Meningkatnya jumlah penduduk dan sektor pertanian masih dominan sebagai sektor penyerapan tenaga kerja, menjadikan masalah tanah makin meluas.

Petani sudah berada pada tingkat lapar akan lahan pertanian untuk mengatasi pengangguran di kalangan pedesaan. Satarmese, misalnya merupakan salah satu wilayah yang paling banyak orang yang bekerja di luar negeri sebagai TKI. Sempitnya lahan pertanian mendorong masyarakat merambah hutan. Muncul satu kesadaran baru bahwa penyerahan tanah lingko untuk menjadi hutan lindung di waktu lalu adalah sebuah kekeliruan.

Suasana yang ditimbulkan oleh reformasi pemerintahan pasca kejatuhan Soeharto ikut memberi peluang pada konflik hutan lindung ini. Penetapan kawasan hutan terakhir di Manggarai dilakukan pada masa Soeharto dan ketika itu tidak ada satu konflik terbuka dengan pemerintah daerah mengenai kawasan hutan lindung. Iklim demokrasi dan pemilihan langsung baik DPRD maupun bupati dan wakil bupati ikut menyumbangkan terjadinya konflik ini. Karena pemilihan langsung memberikan daya tawar yang cukup tinggi kepada masyarakat. Akibatnya politisi yang haus kursi bermain-main dengan isu lingkungan hidup ini.

Yang kita perlukan sekarang adalah pemerintah bersikap tegas terhadap penertiban kawasan hutan demi kepentingan yang lebih besar. Bencana tahun ini di seluruh Manggarai hendaknya menjadi pelajaran berharga bagi semua orang.

*Flores Pos/Bentara/Hutan/28 September 2007

1 komentar:

her-story .. mengatakan...

kalo saya amati, banyak skali konflik masy di bidang tanah pertanian dna hutan ya di flores ..?