24 September 2007

KKN dalam CPNSD

Oleh: FRANS OBON

Pengumuman formasi calon pegawai negeri sipil daerah (CPNSD) Kabupaten Lembata diperkirakan atau diduga terjadi masalah. Disebutkan hampir 100 orang lebih terbilang bermasalah yakni tiba-tiba saja nama mereka tercantum di dalam pengumuman formasi. Bahkan ada yang masih kuliah di Kupang, masuk dalam daftar yang namanya lulus. Bupati Andreas Duli Manuk cepat-cepat menggelar konferensi pers bahwa kesalahan bukan terletak di Lembata, tetapi nama-nama itu dikirim dari BKN.

Kalangan DPRD mengkritik bahwa formasi CPNSD penuh dengan kolusi dan nepotisme. Dewan mendesak bupati menindak tegas pejabat terkait yang terlibat dalam manipulasi ini. Bentuk tindakan tegasnya belum dapat diketahui karena tergantung pada bupati. Karena pintu SK kontrak dan data base ke lembaga terkait yang lebih tinggi juga melalui pintu bupati. Maka persoalannya adalah apakah sungguh bupati berani memberantas KKN dalam pengangkatan pegawai kontrak.

Karena apa? Hampir terdapat di setiap kabupaten, tenaga kontrak yang ditetapkan melalui SK Bupati memiliki koneksi baik dengan pihak penguasa terutama dari segi keluarga (nepotisme). Hal ini bisa dimengerti dan diterima karena rekrutmen tenaga kontrak tidak pernah dilakukan secara transparan. Kesempatan pengangkatan tenaga kontrak dipakai seluas-luasnya oleh pejabat di berbagai instansi untuk mempekerjakan orang-orang yang memiliki koneksi pribadi dan keluarga dengan dirinya.

Dengan ini mau dikatakan bahwa tenaga kontrak yang diangkat menjadi pegawai negeri dapat dijadikan bahan kajian menarik untuk melihat koneksi pengangkatan mereka menjadi pegawai daerah atau pegawai kontrak.

Suburnya budaya balas jasa dan utang budi di dalam masyarakat sungguh cocok dengan kebijakan pemerintahan SBY-Kalla yang memprioritaskan pengangkatan tenaga kontrak menjadi pegawai negeri sipil. Kebijakan ini ibarat durian runtuh bagi pejabat-pejabat daerah untuk memasukkan sebanyak mungkin orang-orang baik dari kerabat dekatnya, anaknya, dan sanak familinya untuk memperebutkan peluang menjadi pegawai negeri melalui tenaga kontrak.

Menguatnya kultur balas budi (politik dan ekonomi serta koneksi kekerabatan) ibarat ruas dan buku dengan kebijakan presiden yang memprioritaskan pengangkatan tenaga kontrak menjadi pegawai negeri sipil. Karena itu usaha reformasi birokrasi yang lebih efisien dan efektif, menjadi slogan kosong. Karena rekrutmen pegawai kontrak ini tidak didasarkan pada kompetisi yang sehat, melainkan berdasarkan koneksi tertentu.

Amat sulit di dalam kultur yang mementingkan balas budi untuk menepikan nepotisme dan kolusi dalam pengangkatan pegawai negeri. Padahal kedudukan dan peran pegawai negeri sangat kuat dan penting dalam konteks Indonesia.

Dalam kasus Lembata, kita hanya menunggu keberanian bupati untuk membersihkan birokrasinya dari unsur-unsur KKN ini.

*Flores Pos/Bentara/CPNSD/18-09-2007/

Tidak ada komentar: