06 Mei 2014

Perketat Seleksi Kepala Sekolah


Oleh Frans Obon

Dunia pendidikan dasar di Manggarai dan Manggarai Timur  sedang  dirundung masalah amoral yang didalamnya melibatkan kepala sekolah dan guru. Sudah lama sebenarnya lembaga-lembaga pendidikan di berbagai tingkatan dirundung masalah yang sama di mana di dalamnya, ada oknum-oknum guru yang adalah pembina dan pendidik utama generasi masa depan terjatuh dalam masalah yang sama.
Para siswa di Kota Ruteng, Flores
Sekadar contoh, di Sekolah Dasar Katolik (SDK) Wudi, Kecamatan Cibal, Kabupaten Manggarai, kepala sekolah dilaporkan oleh para murid dan orang tua murid ke polisi atas tuduhan melakukan pencabulan dan kepala sekolah sudah ditahan pihak kepolisian. Kasusnya terjadi di sekolah dan lingkungan sekolah (Flores Pos, 19 Februari 2014). 
Beberapa tahun sebelumnya, kasus yang hampir sama terjadi di Kecamatan Cibal, dengan pelaku adalah guru.  Sang guru telah dihukum penjara oleh pengadilan.  Tahun lalu, seorang siswa yang sekarang duduk di bangku sekolah menengah pertama di Manggarai Timur melaporkan seorang guru, yang menjabat kepala sekolah ke polisi dengan tuduhan pemerkosaan. Masih tahun lalu juga, seorang guru di Manggarai Timur dilaporkan ke polisi atas tuduhan pencabulan. Kasusnya sudah ditangani kepolisian.

Ketika kita berhadapan dengan masalah seperti ini, kesimpulan kita yang pertama adalah kita telah mengabaikan standar-standar yang patut dan layak bagi seseorang untuk diangkat dan ditunjuk menjadi kepala sekolah. Jika kita membolak-balik sejarah pendidikan kita di Flores dan Lembata, penunjukan dan pengangkatan seseorang menjadi kepala sekolah didasarkan pada kriteria dan standar yang patut dan layak. Kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, dan komitmen pada nilai-nilai moral dan etika menjadi kriteria standar bagi kepala sekolah. Oleh karena itu jarang sekali kita temukan kasus-kasus seperti ini terjadi di lingkungan pendidikan kita di masa lalu.
Hal ini ditunjang oleh besarnya perhatian Yayasan Persekolahan kita dalam melakukan pengontrolan dan pengawasan. Visitasi ke sekolah-sekolah dengan perayaan-perayaan ekaristi di lingkungan pendidikan diperhatikan dengan sungguh-sungguh dan dilakukan secara teratur. Secara teratur pelayanan sakramen dilakukan di sekolah-sekolah. Paroki bukanlah satu-satunya pusat aktivitas kerohanian. Sekolah adalah medan bakti dan medan pengolahan spiritual, sehingga lembaga pendidikan kita bertumbuh dengan sehat. Warisan kultural-religius yang menjiwai sekolah-sekolah kita di Flores dan Lembata seakan-akan terabaikan.
 Langkah lain yang perlu kita lakukan adalah  membebaskan lembaga pendidikan kita dari politik praktis. Peranan strategis para guru di kampung-kampung dan desa-desa adalah magnet  bagi para politisi dan para pemimpin lokal kita. Guru-guru menjadi mesin politik. Pada akhirnya memang terjadi praktik politik balas jasa dan saling menunjang kepentingan. Jabatan kepala sekolah termagnet dengan kepentingan politis praktis, yang akan selalu menggoda para guru.
Menegakkan kembali tiang moral di lembaga pendidikan kita hendaknya dimulai dari seleksi yang ketat terhadap pengangkatan kepala sekolah. Yayasan persekolah kita mesti terlibat aktif dan penuh dalam penunjukan dan pengangkatan kepala sekolah. Sinode III Sesi II  tanggal 28 April–1 Mei 2014 yang membahas  Pastoral Gereja di bidang sosial ekonomi dan pastoral pendidikan adalah kesempatan baik untuk membahas masalah-masalah ini. Mungkin dengan itu kita ingin mengembalikan sejarah emas peranan Gereja Katolik Manggarai dalam bidang pendidikan dasar, yang dimulai sejak 1911,  tahun di mana SDK di Reo didirikan, yang menjadi awal keterlibatan Gereja Katolik di bidang pendidikan di Manggarai.
Bentara, 8 Maret  2014

Tidak ada komentar: