29 April 2014

Pastoral Tata Dunia

Oleh FRANS OBON
Hampir menjadi keluhan umum di setiap keuskupan di Nusa Tenggara bahwa pastoral tata dunia kita terutama dalam urusan sosial politik masih suam-suam kuku. Kehadiran politisi-politisi Katolik yang mengemban tugas pastoral tata dunia di pemerintahan, di lembaga legislatif, dan lembaga negara lainnya masih belum mengimplementasikan moto 100 persen Katolik dan 100 persen warga negara Indonesia.
Tidak terkecuali dalam konteks kehidupan Gereja Katolik Manggarai (Kabupaten Manggarai, Manggarai Barat, dan Manggarai Timur), kita pun mengadapi masalah serupa. Survei yang dilakukan oleh tim Keuskupan Ruteng menunjukkan hal itu. Tingkat kepuasan umat Katolik Manggarai terhadap bidang reksa pastoral lingkungan hidup, sosio-politik, dan ekonomi hanyalah 31,1 persen, sementara tingkat kepuasan umat terhadap pelayanan sakramental sangat tinggi (Flores Pos, 17 Januari 2014).
Hal ini tentu saja mencerminkan bahwa ibadah liturgis kita yang meriah masih belum mampu mendorong keterlibatan aktif umat Katolik untuk membarui ruang publik masyarakat Manggarai. Padahal seharusnya liturgi kita mesti terkait erat dengan keterlibatan kita yang aktif dalam mengubah tata kehidupan sosial kita. Kata-kata yang diucapkan setelah perayaan ekaristi, “Pergilah, kamu diutus” adalah kata-kata penugasan untuk mewujudnyatakan iman dalam perbuatan.

Masukan yang diberikan Romo Franz Magnis Suseno SJ pada Sinode III Keuskupan Ruteng itu mengafirmasi kecemasan umum masyarakat luas mengenai praktik politik kita. Menurut Romo Magnis, nilai politik di Indonesia telah merosot oleh praktik politik yang menguntungkan diri sendiri, keluarga dan kerabat dan mengabaikan kesejahteraan masyarakat umum. Para politisi telah membelokkan arah politik untuk kepentingan diri, keluarga dan kerabat mereka sendiri. Salah satu buah dari kemerosotan nilai politik itu adalah merajalelanya korupsi (Flores Pos, 17 Januari 2014).
Direktur Pusat Pastoral Keuskupan Ruteng Romo Martin Chen Pr dalam makalah tentang gereja dan kerasulan politik menyampaikan tiga masalah pokok yang dominan dalam bidang sosial politik yakni maraknya korupsi pada penyelenggara kekuasaan, politik primordial, dan keterpecahan  di kalangan umat akibat perbedaan pilihan politik. Menurut Romo Martin Chen, Gereja harus terlibat dalam kehidupan sosial politik guna memperjuangkan harkat dan martabat manusia dan turut mewujudkan kesejahteraan umum. Karena itu tidaklah benar adanya sikap pasif dalam urusan politik.
Gereja Katolik Manggarai tentu saja tidak boleh larut dalam pesimisme dan sinisme politik, tetapi sebaliknya terus mencari upaya-upaya baru untuk merencanakan pastoral tata dunia yang tepat. Karena bisa saja praktik-praktik politik yang kita keluhkan itu adalah juga buah dari reksa pastoral tata dunia yang tidak kita rencanakan dengan baik. Kita kecewa dengan kinerja politisi Katolik dalam lembaga parlemen, misalnya, tetapi sebagai negara demokrasi, kita tetap memerlukan anggota parlemen. Karena merekalah yang memutuskan berbagai kebijakan publik. Mereka memiliki legitimasi yang sah melalui mekanisme pemilu untuk menentukan kebijakan publik. Oleh karena itu Sinode III Keuskupan Ruteng adalah kesempatan yang baik di mana Gereja sebagai keseluruhan (hierarki dan awam) merumuskan bersama-sama atau merumuskan sebuah roadmap reksa pastoral tata dunia yang menjawabi masalah yang ada. Momentumnya mungkin tepat bahwa roadmap reksa pastoral tata dunia itu dirumuskan pada tahun politik ini.
Bentara, 18 Januari 2014

Tidak ada komentar: