13 April 2010

Politik Tanpa Roh

Oleh Frans Obon |


DUA ANGGOTA Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Ende nyaris adu jotos. Beruntung dua anggota Dewan segera dipisahkan atau dilerai oleh anggota Dewan lainnya. Casus belli atau pemicunya adalah soal perbedaan pendapat mengenai perlu tidaknya dua Wakil Ketua DPRD Ende mendapatkan laptop sebagai peralatan kerja (Flores Pos edisi Selasa, 13 April 2010).

Satunya berpendapat Wakil Ketua DPRD perlu diberi laptop untuk menunjang kinerja kerja. Anggota Dewan lainnya berpendapat, pemberian laptop itu tidak ada guna gananya karena laptop itu nantinya hanya digunakan untuk tujuan di luar dari maksud awal pemberiannya. Namun posisi yang berbeda dalam menilai mendesak atau tidaknya pengadaan laptop itu diwarnai sikap emosional. Perbedaan pendapat berlangsung jauh dari semangat fokus pada masalah, melainkan sudah menjurus ke ad personam.

Baku ribut, baku tuding, baku menggebrak meja sudah sering terjadi di kalangan DPR(D). Namun rakyat mesti melakukan pemeriksaan secara teliti apakah hal-hal yang terjadi ini dilandaskan pada semangat untuk memperjuangkan kepentingan umum atau kepentingan diri yang tersembunyi.

Memperjuankan kepentingan umum adalah tolok ukur objektif untuk menilai keributan seperti ini. Mengapa kepentingan umum? Karena untuk itulah kita memilih mereka agar mereka mewakili kita semua membahas kebijakan-kebijakan yang diabdikan untuk kepentingan rakyat. Dengan ini kita mau menilai sungguhkah pengadaan laptop ini sebagai sebuah fasilitas kerja akan mampu meningkatkan kinerja Dewan dalam menjalankan tugasnya? Apakah ini sesuatu yang mendesak, seakan-akan bila laptop ini tidak diadakan, tugas Dewan akan terganggu? Degan pertanyaan reflektif dan tolok ukur objektif, kita berpendapat pengadaan laptop untuk dua wakil ketua Dewan sebaiknya dibatalkan. Tidak ada hal-hal yang mendesak untuk diadakannya laptop tersebut.

Hal kedua yang mau kita sampaikan adalah baku ribut seperti ini sebagian besar mencerminkan karakter pribadi. Banyak kali kita mengatakan, “nanti saya ribut”, seakan-akan menunjukkan keteguhan dan ketegasan sikap. Sama sekali tidak. Keteguhan dan kokoh seperti batu karang dalam bersikap sama sekali tidak identikan dengan kakasaran dan kekerasan.

Mempertahankan prinsip dalam memperjuangkan kepentingan rakyat tidak membenarkan cara-cara kekesaran. Malah sebaliknya mencerminkan karakter kepribadian. Adagium latin mengatakan, agere sequitur esse. Tindakan mengikuti kodrat keberadaan. Secara moral dan etis, kita dicemooh dan disinis bila tindakan kita tidak mengikuti kodrat keberadaan kita. Itulah alasan mengapa rakyat memandang sinis dan mencela secara moral jika keributan dan kekerasan terjadi di kalangan anggota DPRD. Hal ini lebih disebabkan oleh pengandaian bahwa lembaga legislatif adalah lembaga yang terhormat dan secara inheren anggota Dewan adalah orang terhormat. Praktik politik, perilaku berpolitik dan pola tingkah laku individual harus sungguh mencerminkan kodrat keberadaan lembaga Dewan sebagai lembaga terhormat.

Jika prinsip-prinsip etis semacam ini diabadikan dalam praktik dan perilaku berpolitik anggota Dewan, maka dampak buruknya adalah politik kehilangan roh. Politik tanpa roh. Roh tidak lain adalah dimensi-dimensi etis dari praktik berpolitik.

Flores Pos | Bentara | DPRD
| 14 April 2010 |

Tidak ada komentar: