Oleh FRANS OBON |
IBU-IBU penjual ikan di Lembata mengadu ke DPRD Lembata. Menurut pengakuan mereka, polisi pamong praja melakukan tindakan kekerasan dan bersikap tidak manusiawi terhadap mereka. Polisi pamong praja melakukan aksi penertiban dengan melarang para penjual ikan ini untuk menjual dari rumah ke rumah dan dari lorong ke lorong (Flores Pos edisi 14 Apil 2010).
Para penjual ikan ini juga mengatakan tindakan kekerasan dan tidak manusiawi itu dipicu karena keterlibatan mereka dalam demonstrasi yang digelar aliansi kebenaran dan keadilan anti kekerasan (Aldiras). Namun kita mengesampingkan kemungkinan dan dugaan bahwa keterlibatan ibu-ibu penjual ikan dalam demonstrasi Aldiras menjadi pemicu aksi penertiban polisi pamong praja.
Masalah pengaturan pasar penjualan ikan di Lembata sudah lama berlangsung. Protes dan perlawanan dilakukan. Tapi tidak kelar-kelar juga. Pemerintah melalui peraturan daerah (Perda) telah melarang para penjual ikan menjajakan dagangannya di pinggir jalan. Pertama-tama karena menjual ikan di pinggir jalan akan menimbulkan pemandangan yang tidak mengenakan. Bau busuk sisa air ikan bisa saja mengakibatkan lalat-lalat. Dan kita tahu lalat adalah medium yang bisa menyebarkan berbagai penyakit. Maka tidak saja masalah mengganggu pemandangan kota, melainkan juga masalah kesehatan konsumen dan masyarakat luas.
Namun peraturan pemerintah yang tertuang dalam Perda yang mengatur tempat penjualan ikan untuk menghindari dampak buruk terhadap kesehatan dilawan oleh penjual ikan. Mereka memang tidak menjual ikan di pinggir jalan, tetapi menjualnya dari rumah ke rumah dan dari lorong ke lorong. Alasan lain adalah pemerintah sendiri tidak konsisten dengan Perda itu. Karena ada bangunan pemerintah dinilai melanggar Perda tersebut. Karena itu para pedagang menilai ada standar ganda di sini. Seolah-olah Perda hanya diberlakukan bagi penjual ikan tapi tidak berlaku untuk pemerintah dan aparatnya. Di sini rasa keadilan terusik. Bahwa peraturan yang dikeluarkan oleh negara untuk ditaati oleh semua warga negara tidak menjamin adanya kesamaan hak dan kewajiban di depan hukum. Hukum tidak memberikan keadilan bagi semua orang.
Ini artinya masyarakat sederhana yang tidak pandai membaca peraturan hanya melihat contoh. Rasa keadilan diukur melalui contoh. Jika dalam hal yang sama, ada standar ganda, maka mudah sekali bagi rakyat sederhana untuk tidak mempercayai hukum. Karena itu pemerintah mesti menanggapi hal ini dengan lebih serius sehingga Perda yang dibuat itu tidak saja menjadi dokumen resmi yang memenuhi rak-rak birokrasi melainkan menjaminkan rasa keadilan dalam masyarakat melalui cara menegakkannya bagi semua orang. Langkah yang sama dilakukan oleh DPRD agar mendorong semua pihak baik masyarakat maupun pemerintah menaati Perda yang ada. Karena fungsi pengawasan DPRD mesti dilakukan dalam hal ini.
Jika perda ini tidak menjamin rasa keadilan, maka sebaiknya direvisi kembali. DPRD dan pemerintah membuat perda baru yang menjamin kepentingan semua pihak. Rasionalitas dari Perda itu tercermin dari terjaminnya rasa keadilan semua orang. Yang paling penting jika ada perlawanan seperti ini dari masyarakat, pemerintah tidak boleh patah semangat untuk menata pasar tradisional kita. Pasar tradisional kita sudah sarat dengan beban mulai dari modal, pengetahuan, hingga mentalitas.
Semua itu memang tidak bisa dituntaskan dalam satu dua hari. Tetapi mengabaikan dan membiarkan masalah pasar tradisional tidak terurus adalah kesalahan terbesar pemerintah. Karena di sana banyak orang menggantungkan hidupnya, keluarganya, dan anak-anaknya.
Flores Pos | Bentara |
| 15 April 2010 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar