Oleh Frans Obon
Pidato Megawati, yang disebut-sebut akan terpilih kembali menjadi Ketua Umum PDI Perjuangan pada Kongres III di Sanur, Bali dinilai oleh banyak kalangan sebagai pidato terbaik. Hampir tidak ada kalimat yang tidak berisi. Para pakar komunikasi politik mengatakan, pidato Megawati ini menggerakkan dan bernas. Pilihan katanya tepat, isinya bernas, dan aksenktuasinya tegas. Dan yang paling penting adalah Megawati menjawabi semua pertanyaan mengenai posisi PDI Perjuangan baik secara ideologis maupun dalam konteks hubungannya dengan pemerintah. PDI Perjuangan memilih untuk menjadi penyeimbang antara pemerintah dan rakyat. Partai moncong putih ini lebih memilih sebagai oposisi daripada berkoalisi dengan pemerintahan sekarang.
Megawati dengan suara terbata-bata seakan menahan rasa harunya mengucapkan terima kasih kepada Dewan Pengurus Daerah (DPD) PDI Perjuangan yang berhasil memenangkan partai baik dalam pemilu legislatif maupun pemilu presiden. Dia mengajak pengurus DPD-DPD yang berhasil memenangkan PDI Perjuangan berdiri dalam ruang kongres tersebut.
Selain hal-hal di atas, Megawati dengan tegas sekali meminta kader-kader partai untuk tidak menjadikan partai sebagai jalan pintas untuk memperkaya diri. Ini tidak lain dia minta kader-kader PDI Perjuangan agar tidak memperdagangkan partai untuk kepentingan pribadi.
Peringatan Megawati mengenai hal ini justru terasa kontekstual. Dalam soal Pilkada misalnya, dan juga menjadi gejala umum -- partai-partai sebagai pintu masuk bagi kandidat-kandidat memang sangat rentan terhadap politik yang memperkaya diri. Pertikaian-pertikaian dalam partai yang tidak pernah habis-habisnya bukan dalam konteks memperjuangkan kepentingan rakyat, tetapi justru dalam konteks menjadikan partai sebagai jalan pintas untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
Praktik-praktik politik yang menjadikan partai sebagai lumbung ini diketahui dengan terang benderang oleh rakyat. Persepsi masyarakat terhadap partai terutama dibentuk oleh perilaku kader partai. Bisa saja, misalnya, orang-orang yang secara ideologis sama dengan PDI Perjuangan, tetapi karena dia melihat perilaku politik kader partainya yang tidak membela rakyat, maka mereka mengalihkan pilihan politiknya ke partai lain, sambil mengharapkan adanya perubahan perilaku berpolitik pada lima tahun mendatang.
Peringatan yang sama ini berlaku juga bagi kader-kader partai yang duduk sebagai anggota legislatif pun yang duduk dalam pemerintahan. Kader-kader partai yang berada di lembaga legislatif kurang tampak kinerjanya dalam membela kepentingan rakyat.
Adanya disparitas antara posisi partai sebagai partai wong cilik dan tidak terimplementasi dengan baiknya posisi partai itu dalam aktivitas politik anggota legislatif jelas mempengaruhi citra partai. Demikian juga kader PDI Perjuangan atau orang-orang yang masuk ke dalam pemerintahan melalui PDI Perjuangan hampir tidak bisa menerjemahkan roh partai itu dalam programnya. Roh partai tidak bisa membadan dalam kebijakan-kebijakan yang memihak rakyat. Dengan ini partai hanyalah alat untuk mencapai kekuasaan tanpa menggunakannya untuk membangun kesejahteraan rakyat.
Disparitas antara roh partai dengan tidak membadannya roh itu membuat pilihan rakyat beralih. Dengan kata lain, kembalikan partai sebagai alat perjuangan untuk kesejahteraan rakyat.
Flores Pos| Bentara | Politik
| 8 April 2010 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar