Oleh Frans Obon
Polisi telah menetapkan Kepala Teknis PT Sumber Jaya Asih (SJA) sebagai tersangka dalam kasus penambangan mangan di hutan lindung Nggalak-Rego di Soga Kecamatan Reo, Kabupaten Manggarai. Perusahaan tambang mangan ini diketahui tidak memiliki izin pinjam pakai dari Menteri Kehutanan untuk melakukan penambangan di dalam hutan lindung. Karena itu polisi menjerat perusahaan tambang ini dengan UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. Polisi masih akan memeriksa yang lainnya yang dinilai terlibat dalam proses pemberian izin penambangan di hutan lindung kepada perusahaan tersebut.
Polisi telah mengambil langkah berani untuk menjerat siapa saja yang terlibat dalam perusakan hutan lindung. Sebelumnya polisi memproses warga yang melakukan illegal logging di hutan Nggalak-Rego dan mereka telah mendekam di balik terali besi. Warga saat ini melakukan gugatan class action di Pengadilan Negeri Ruteng. Sidang gugatan class action ini telah dibuka tetapi beberapa pihak tidak hadir sehingga sidang ditunda sebulan kemudian.
Dalam kasus perusakan hutan lindung negara polisi sudah menunjukkan sikap adilnya baik warga yang melakukan illegal logging maupun terhadap perusahaan tambang yang tidak mengantongi izin pinjam pakai dari Menteri Kehutanan telah diambil tindakan hukum sepadan, yang mencerminkan bahwa penegakan hukum tidak pandang bulu. Penegakan hukum, salah satu elemen konstitutifnya, adalah memperlakukan semua orang sama di depan hukum, entah berduit atau kaum kere dari pedesaan yang tidak bisa membela diri.
Pertanyaan terpenting yang perlu kita periksa kembali posisinya dalam menanggapi masalah para petani Manggarai adalah sikap DPRD Manggarai. Sudah beberapa kali para petani dan aktivis-aktivis lingkungan dan terutama Komisi Perdamaian, Keadilan dan Keutuhan Ciptaan Gereja Katolik menghadap DPRD dan menyampaikan masalah yang tengah menyesakkan kehidupan para petani. Tetapi DPRD Manggarai terus menerus mengulur waktu. Yang paling menyedihkan, mereka seakan tidak percaya dengan keluh kesah para petani itu sehingga mereka harus menyaksikan dengan mata kepala sendiri apa yang sesungguhnya terjadi di lapangan. Para petani tidak menolak sikap tersebut: silakan datang ke lapangan. Makin membuat kita heran, setelah melihat kondisi lapangan pun DPRD Manggarai tidak punya sikap. Mengapa mereka menjadi pengecut di hadapan pemerintah? Mereka tidak berdiri di belakang rakyat (petani) Manggarai, yang juga menjadi haribaan mereka dilahirkan. Mengapa penderitaan petani Manggarai tidak menjadi keprihatinan utama DPRD Manggarai.
Tidak aneh sebetulnya untuk kehidupan politik kita di Flores. Partai-partai politik tidak punya sikap dan tidak punya gagasan, apalagi komitmen untuk membela kepentingan rakyat. DPRD Manggarai memahami tugas mereka hanya sebatas membahas APBD dan peraturan daerah lainnya yang tidak menyentuh kepentingan rakyat. Mereka lupa dengan hakikat diri mereka sebagai wakil dari rakyat. Seharusnya DPRD berdiri di belakang rakyat dalam menghadapi keperkasaan negara. Mestinya DPRD Manggarai mengambil langkah-langkah politik untuk membela kepentingan rakyat. DPRD Manggarai oleh kodrat keberadaan mereka sebagai wakil rakyat mestinya berdiri di belakang rakyat. Sayang seribu sayang, DPRD Manggarai gagal bertindak seturut hikikat dan kodrat keberadaannya sebagai wakil rakyat.
Flores Pos | Bentara | Politik
| 7 April 2010 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar