Oleh Frans Obon
Pertama-tama kita ucapkan profisiat kepada Mgr Hubertus Leteng, yang ditahbiskan uskup pada tanggal 14 April 2010 di Ruteng. Penyambutan yang meriah sejak kedatangannya hingga tumpah ruahnya umat baik di dalam tenda seluas lapangan Motang Rua maupun di luar tenda, tarian dan nyanyian dari berbagai daerah di Flores, serta 500 anggota kor yang dipimpin Pater Piet Pedo Neo SVD menunjukkan bahwa uskup sebagai tokoh sentral di dalam Gereja Katolik sungguh didambakan kehadirannya. Sungguh didambakan suaranya. Sungguh kepada dia semua mata memandang dalam hal-hal yang pelik dan dalam situasi kesukaran yang mendera kemanusiaan umat. Mungkin banyak suara yang menyuarakan suara kenabian menyangkut satu pokok masalah, tetapi umat tetap saja memandang dengan penuh harapan suara dari gembalanya, suara dari uskup.
Kamu semua adalah saudara (Omnes Vos Fratres Estis) telah dipilih menjadi moto tahbisan Sang Uskup. Moto inilah yang membingkai seluruh reksa pastoral, semangat pelayanan dan pengabdiannya sebagai uskup kepada umat yang dicintainya. Umat tempat di mana dia dilahirkan dan dibesarkan. Seperti dikatakan oleh Uskup Hilarion Datus Lega, uskup Sorong Papua, yang juga kelahiran Manggarai, Uskup Hubert sungguh mengenal akar budaya di tanah kelahirannya.
Uskup Hubert setelah acara penjemputan yang meriah itu menegaskan lagi pentingnya sikap solidaritas di antara umat. Sikap solidaritas itu secara kultural bukanlah hal yang baru, bukan sesuatu yang asing dalam kultur Manggarai. Dalam segi kehidupannya, orang Manggarai seperti umumnya tradisi kultural masyarakat Flores, amat menekankan harmonisasi di dalam sistem sosial mereka. Mulai dari bentuk kampung hingga sistem tata berladang, rakyat Manggarai menekankan sikap solidaritas itu.
Sikap solidaritas itu tidak saja menjadi nilai dalam hubungan sosial masyarakatnya, tetapi seluruh kosmologi rakyat Manggarai juga menekankan harmonisasi dengan alam. Dalam praktik-praktik tradisionalnya, banyak ritus digelar untuk memulihkan hubungan antara manusia dan lingkungan biologis-fisis. Ini artinya lingkungan hidup ditempatkan sebagai sesuatu yang sentral di dalam kosmologi masyarakat Manggarai. Karena itu penegasan Uskup Hubert dan uskup pentahbis Mgr Gerulfus Kherubim Parera SVD sebenarnya mengingatkan kembali orang Manggarai untuk memelihara nilai-nilai luhur ini. Uskup Kheru bukanlah orang baru bagi umat Katolik Manggarai. Dia pernah mengajar di lembaga pendidikan calon imam di Kisol dan menjadi Provinsial SVD Ruteng sebelum diangkat jadi uskup Weetebula.
Sikap solidaritas ini dalam pengertian tertentu merupakan kebajikan kristen yang terkait dengan cinta kasih. Dalam pengertian ini, solidaritas dan cinta kasih kristen tidak meniadakan konflik dan perbedaan pendapat. Karena kita sungguh sadar bahwa perbedaan kepentingan dan sikap serta tanggapan terhadap sesuatu masalah, tentulah melahirkan perbedaan dan benturan. Tetapi menyelesaikan perbedaan dan benturan kepentingan itu harus dilakukan dalam bingkai solidaritas, dibingkai dalam konteks demi kepentingan semua orang atau kebaikan bersama. Kebaikan bersama adalah kriteria moral dalam menyikapi sesuatu. Karena itu dalam sikap solidaritas, tidak ada yang mencari untung bagi diri sendiri, melainkan tiap orang berusaha untuk “berpikir sehati dan sejiwa” untuk kebaikan bersama. Di situlah akan tampak bahwa “kita semua adalah saudara”.
Flores Pos | Bentara | Agama
|16 April 2010|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar