Oleh FRANS OBON
BANYAK orang percaya bahwa kontrak politik adalah jalan terbaik untuk tumbuhnya komitmen politik antara konstituen dan aktor politik di lembaga legislatif. Dukungan ditarik jika aktor politik tidak menepati kontrak politik yang telah dibuat. Kontrak politik itu kita dengar lagi menjelang pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah terutama antara calon dan partai politik.
Pada tahun 1999 ketika pertama kali digelar pemilu pada masa Reformasi politik di Indonesia, banyak sekali usulan dan gagasan untuk dibuat kontrak politik. Gagasan ini diyakini bisa mempertebal komitmen aktor politik pada konstituen mereka. Konstituen dapat menarik kembali dukungan terhadap aktor politik jika dia tidak menaati kontrak politik yang telah dibuat. Dengan ini dia akan kehilangan dukungan massa politik.
Bersamaan dengan itu muncul juga kampanye jangan memilih politisi busuk. Tetapi rakyat punya logika sendiri dalam menentukan pilihan. Kampanye media dianggap angin lalu. Hal itu terjadi karena minimnya pengetahuan masyarakat mengenai calon tersebut. Bagaimana sepakterjangnya. Bagaimana dia menjalankan bisnisnya. Apa hubungannya dengan kehidupan rakyat.
Bisa dimengerti gagasan ini timbul di tengah kondisi legislatif yang tidak berdaya di arena politik Orde Baru. Pembaruan politik melalui Pemilu1999 dilihat sebagai momentum untuk memperkuat ikatan antara legislatif dan rakyat, agar anggota legislatif bekerja sungguh-sungguh demi kepentingan rakyat. Kontrak politik dibuat untuk mengikat wakil rakyat agar tidak begitu saja mengabaikan aspirasi rakyat. Pendek kata, gagasan kontrak politik lahir dari keinginan yang kuat agar aktor politik tidak mudah begitu saja melupakan rakyat. Ideal yang mau dicapai adalah aktor politik mendapatkan kepercayaan rakyat dan dukungan politik yang memadai tetapi di pihak lain kepentingan rakyat menjadi api perjuangan wakil rakyat.
Saya mungkin satu di antara sekian banyak orang yang tidak percaya pada kontrak politik. Dalam sebuah diskusi di mana saya menjadi moderatornya, saya pernah bertanya kepada satu politisi yang sekarang lagi duduk di legislatif nasional. Saya bilang, kalau kita buat kontrak politik, bagaimana kontrak politik ini dipertanggungjawabkan. Politisi ini tidak menjawabnya secara jelas dan saya memahami bahwa dia harus menjaga kata-katanya sendiri di depan publik. Saya pun tidak mengelaborasi lebih jauh tema ini.
Mengapa saya tidak percaya pada kontrak politik.
Pertama, siapa yang menentukan bahwa aktor politik tersebut sudah tidak lagi menepati kontrak politik yang telah dibuatnya. Bagaimana mengeksekusi keputusan pelanggaran kontrak politik ini. Sudah dapat dipastikan aktor politik bersangkutan tidak akan mengatakan bahwa dia gagal menjalankan kontrak politik yang telah dibuat. Dia akan memberikan seribu alasan bahwa dia telah menjalankan kontrak politik yang telah dibuat. Siapa yang pada akhirnya memutuskan bahwa dia gagal? Jika dia didesak untuk mengundurkan diri dari legislatif, mekanisme pengunduran diri di DPRD diatur oleh undang-undang. Jika dia mengundurkan diri, masih ada mekanisme di partai untuk menggantikannya. Satu-satunya yang dia takut adalah dia kehilangan dukungan massa untuk pemilu lima tahun berikutnya.
Namun itupun masih dipertanyakan lagi, sungguhkah dia akan kehilangan basis massa? Sama sekali tidak. Karakter pemilih kita yang tidak bisa ditebak membuat asumsi seperti ini tidak akan kena tepat sasar. Di beberapa kabupaten misalnya, begitu kuat sekali isu korupsi yang dituduhkan pada calon tertentu dan hampir banyak yang tahu, tetapi rakyat kita tidak peduli dengan itu. Justru rakyat mudah percaya kalau isunya dibelokkan bahwa itu hanyalah black campaign (kampanye politik hitam) terhadap calon.
Di kalangan partai juga ada kesepakatan-kesepakatan. Partai Golkar Manggarai, misalnya, pada Pemilu 2004 membuat kesepakatan bahwa calon legislatif yang mendapatkan suara terbanyak dia akan diberi kesempatan untuk duduk di legislatif. Padahal aturan nasional mengatakan, jika tidak mencapai angka Bilangan Pembagi Pemilih (BPP), maka yang berhak duduk di legislatif adalah nomor urut pertama.
Setelah pemilu selesai, perkelahian hebat terjadi. Kesepakatan itu tidak dilaksanakan. Komisi Pemilihan Umum Daerah tetap berpegang pada peraturan perundang-undangan. Kesepakatan partai tidak bisa mengalahkan undang-undang. Anggota legislatif yang telah menduduki kursi DPRD tidak mau mundur dan menyerahkan kursi mereka begitu saja. Jalan terakhir adalah mereka dipecat dari partai, tapi tidak akan mengakhiri karier politik mereka. Karena mereka bisa pindah partai dan pemilu berikutnya mereka bisa ikut lagi.
Kedua, saya juga tidak percaya kontrak politik antara partai politik dan calon bupati dan wakil bupati. Kontrak politik yang dibuat hanyalah sebuah bangunan citra yang dibuat partai politik seolah-olah kontrak politik itu adalah bagian dari komitmen yang dibangun untuk kepentingan rakyat. Kontrak politik itu hanya untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa ada ikatan komitmen antara calon dan partai pengusung. Ikatan itu berisi kesanggupan calon untuk memenangkan partai tersebut pada pemilu legislatif, pemilu presiden, dan pemilu gubernur pada lima tahun berikutnya. Kontrak politik itu hanyalah mengandung hal-hal yang menjamin keuntungan di lingkaran elite partai. Kemenangan bupati dan wakil bupati dalam Pilkada diasumsikan bisa menjadi basis dukungan pemilihan gubernur dan wakil gubernur dan presiden dan wakil presiden dalam pemilu berikutnya.
Kontrak politik ini akan segera dilupakan setelah Pilkada selesai. Kontrak politik ini tidak akan langgeng kendati calon yang diusung memenangkan Pilkada. Pada pemilihan tahun ini dia masuk lewat partai A, tetapi lima tahun berikutnya dia masuk lewat partai B. Mudah sekali untuk melupakan komitmen yang dibangun dalam kontrak politik tersebut.
Seperti yang telah saya sebutkan di atas bahwa kontrak politik itu bukanlah soal komitmen membangun rakyat, melainkan kontrak saling dukung mendukung bagi kepentingan elite partai dan pasangan calon. Pragmatisme mewarnai kontrak politik semacam ini.
Kalau pasangan calon yang menang melupakan kontrak politik, sesungguhnya bukan merupakan malum, sebuah kejahatan moral serius. Karena apa? Mendapatkan restu partai pengusung bukanlah makan siang gratis. Calon mesti menggelontorkan dana dari tingkat lokal hingga tingkat pusat. Makin ke atas, calon harus makin banyak menggelontorkan dana. Jika ada tim kampanye pusat atau provinsi datang, apakah Anda mengira mereka datang dengan biaya sendiri? Bukan. Pasangan calon harus membiayai semuanya.
Karena itu kontrak politik semacam ini hanyalah pemanis bibir. Yang umumnya berlaku adalah bayar tunai. Anda perlu pintu, tunai. Tidak, sorry. Karena itu kalau kemudian kontrak politik itu diabaikan oleh pasangan calon, karena memang elite partai telah mendapatkan apa yang mereka perlukan. Bukankah politik adalah seni mengolah segala kemungkinan agar yang tidak mungkin menjadi mungkin? Kawan dalam politik memang tidak pernah abadi.
Flores Pos | Asal Omong |Politik
|6 Maret 2010 | 9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar