25 Februari 2010

Rakyat

Oleh FRANS OBON

BANYAK yang bilang, sulit kita menebak ke mana suara rakyat bergerak pada pemilihan kepala daerah. Hari ini dia bicara begini, esok dia bicara lain lagi. Hari ini dia mengaku di pihak kita, esok dia mengaku di pihak lain. Sulit dipegang.

Kehadiran massa di lapangan kampanye tidak mencerminkan dukungan massa sesungguhnya. Mobilisasi massa adalah sebuah arena di mana tim sukses memperlihatkan “kerja keras” mereka kepada calon bupati dan wakil bupati. Tapi ini ibarat pedang bermata dua. Jika tidak dikelola dengan baik oleh tim sukses akan jadi bumerang. Perilaku pemilih yang berubah-ubah itu juga dipengaruhi oleh perilaku tim sukses di lapangan.

Pilihan yang berubah-ubah itu akan dengan mudah ditangkap oleh tim sukses yang mengerti dengan baik perilaku pemilih. Tim sukses yang jeli ini ibarat menunggu di tikungan. Inilah yang disebut dalam kosa kata politik lokal kita adalah serangan fajar. Menjelang malam pemilihan, tim sukses datang dari rumah ke rumah “membagi-bagi rejeki” pemilu kepala daerah. Ketika pemilihan dilakukan oleh DPRD, pola semacam ini juga dilakukan. Arena power by doing (kekuasaan yang dibeli ini) dipindahkan ke arena publik rakyat dengan cara yang lebih masif lagi. Pengawasan penggunaan uang kampanye calon oleh komisi pengawasan pemilu yang lemah membuat pergerakan uang Pilkada tidak terdeteksi.

Mengapa perilaku pemilih ini berubah-ubah.

Pertama, perilaku elite politik lokal. Hampir menjadi praktik umum, setelah pemilihan selesai tim sukses baik dari sektor bisnis maupun sektor birokrasi pemerintahan memperhitungkan semua jasa mereka selama proses Pilkada berlangsung.

Di sektor birokrasi pemerintahan, pembagian jabatan dan posisi menjadi arena baru di dalam pembagian kekuasaan tersebut. Karena itu the right man on the right place masih menjadi mimpi indah. Sedangkan yang berada di luar gerbong harus menerima kenyataan berada di luar panggung kekuasaan selama lima tahun.

Di sektor bisnis, satu-satunya faktor yang diperebutkan adalah pembagian proyek di pemerintahan. Karena itu untuk memahami perilaku kekuasaan di tingkat lokal pembagian proyek-proyek pemerintah dapat menjadi salah satu faktor penting. Ada banyak isu berseliweran di sekitar tender-tender proyek pemerintah. Apa yang terjadi di tingkat elite kekuasaan pemerintahan lokal, salah satu pintu masuk untuk memahaminya adalah dari pembagian proyek-proyek pemerintah. Jadi, untuk mengecek perilaku politik elite kekuasaan birokrasi ikuti saja ke mana uang bergerak (follow the money trail).

Sektor bisnis dan faktor jabatan birokrasi pemerintahan telah menjadi titik api di dalam kerja sama seorang bupati dan wakil bupati. Tidak adanya pembagian yang adil dalam dua sektor penting ini akan memicu keretakan hubungan bupati dan wakil bupati. Karena dua hal ini merupakan resources di dalam pemerintahan. Di atas permukaan proyek-proyek ada di tingkat Satuan Perangkat Kerja Daerah (SKPD), tetapi di bawah permukaan kendali tetap saja di bawah bupati dan wakil bupati. Konflik menjadi sengit apabila keduanya ancang-ancang untuk menjadi pesaing dalam Pilkada berikutnya.
Di sinilah keuntungan dari calon yang lagi incumbent karena pundi-pundi politik mereka cukup terisi untuk melobi partai-partai politik dari tingkat lokal hingga Jakarta.

Rakyat tahu dengan praktik-praktik kekuasaan seperti ini. Di kampung-kampung tahu bahwa mereka diperlukan pada saat pemilu dan mungkin kecewa karena terlalu banyak berharap pada janji-janji politik Pilkada. Karena itu mereka minta lebih dulu bagiannya. Sebab setelah itu mereka kembali ke kebun dan tidak mau repot dengan apa yang disebut pengawasan dan kontrol pelaksanaan pemerintahan.

Kedua, politik primordial kesukuan. Di Flores agama tidak menjadi faktor determinan dalam pemilihan bupati dan wakil bupati. Dengan Katolik sebagai mayoritas, maka hampir tidak kelihatan isu agama menjadi faktor yang mempengaruhi persaingan antara calon. Islam sebagai mayoritas kedua, biasanya di daerah yang penduduknya cukup signifikan, mengisi posisi wakil bupati – paling tidak sampai sekarang. Politik Gereja Katolik yang fokus pada kesejahteraan rakyat ikut mempengaruhi isu ini. Pemerintahan yang bersih dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governeance) menjadi isu pokok di dalam Gereja Katolik.

Yang paling berpengaruh kemudian adalah primordial kesukuan. Apa yang disebut keseimbangan wilayah tidak lain adalah politik kesukuan. Wilayah-wilayah itu adalah kekuasaan-kekuasaan adat yang lebih kecil. Aliansi dibentuk dengan basis kekuasaan adat ini menjadi magnet baru di dalam politik lokal.

Politik kesukuan ini dibangun dengan sistem patron-klien dengan basis kekerabatan perkawinan dan kekuasaan adat lokal di masa lalu. Kebanggaan suku terepresentasi di dalam jabatan dan gelar akademik serta jabatan kekuasaan politik. Sistem ini terpelihara melalui bangunan patron-klien. Politik memberi untuk menerima (do ut des) demi membangun kebanggaan suku. Jika selama berkuasa, seseorang tidak berbuat apa-apa untuk sukunya, biasanya suku-suku mengalihkan dukungan politik mereka. Maka elite politik lokal berusaha memelihara hubungan ini melalui dukungan mereka terhadap kebanggaan suku. Anggota suku pada akhirnya akan mendapatkan keuntungan melalui patron klien seperti ini baik di sektor pemerintahan maupun di sektor bisnis.

Ketiga, konsep rakyat. Politik massa mengambang selama pemerintahan Orde Baru Soeharto mengakibatkan lemahnya masyarakat sipil di hadapan negara. Sepanjang Orde Baru, politik dijauhkan dari rakyat melalui politik massa mengambang. Rakyat hanya dilibatkan pada saat pesta lima tahunan: pemilihan umum yang hasilnya sudah dapat diduga. Sesudahnya rakyat hanya dimobilisasi untuk memberikan dukungan pada program pembangunan yang dirancang pemerintah. Karena itu partisipasi dalam pembangunan tidak lain adalah mobilisasi dukungan terhadap program pembangunan pemerintah.

Dukungan ini bukan tanpa harga yang harus dibayar. Berapa banyak rakyat harus kehilangan lahan untuk proyek pembangunan. Rakyat dimobilisasi untuk menyerahkan tanah pertanian mereka demi pembangunan dan kepentingan umum. Pemerintah bikin proyek kapas, misalnya, rakyat memberikan lahan. Proyek berakhir, tanah juga amblas. Tanah lokasi proyek menjadi milik pemerintah.

Yang tidak setuju dianggap melawan pemerintah. Yang mengkritik dianggap menentang. Rakyat dijauhkan dari panggung politik dan menempatkannya di bangku penonton. Rakyat hanya boleh dilibatkan dalam pembangunan. Karena rakyat bukan makan politik. Mereka makan nasi. Mereka butuh papan, sandang, dan pangan (sembako).

Sistem politik Orde Baru ini ikut memperkuat konteks politik lokal Flores. Menurut Daniel Dhakidae, Flores tidak mengenal konsep rakyat dalam pengertian politik modern. Dalam Katolisisme, Rakyat Katolik dan Demokrasi Indonesia (Menukik Lebih Dalam, Ledalero: 2009, hlm 101-136), Dhakidae menegaskan bahwa dalam sistem kekuasaan tradisional di Flores, paham rakyat tidak dikenal. Paham “rakyat” dan “umat” adalah konsep impor di Nusa Tenggara Timur pada abad 20. “Namun dua-duanya sama dalam satu hal yakni menghirarkikan hubungan sosial antara penguasa dan yang dikuasai. Yang dikenal di Nusa Tenggara adalah konsep ‘kuasi kelas’ atau kelas dalam pengertian primitif di mana semuanya diatur berdasarkan kepemilikan atas tanah yang menghasilkan semacam struktur eksploitatif. Yang di puncaknya adalah tuan tanah atau mosalaki”.

Konsep kultural-politik kuasi kelas semacam ini mempengaruhi bangunan politik lokal Flores. Ada hubungan simbiosis mutualisme antara elite lokal tradisional dengan elite politik lokal. Bangunan politik yang diciptakan akhirnya kembali pada hubungan patron-klien sebagaimana umumnya berlaku di dalam praktik politik Orde Baru.

Rakyat dalam pengertian masyarakat sipil yang kuat hampir tidak ditemukan di setiap daerah di Flores. Konsep rakyat yang digunakan dalam pilkada tidak lebih baik dari pengertian Plato mengenai rakyat yang tidak bisa diberi kuasa untuk mengatur negara karena rakyat dalam pengertian Plato hanyalah kelas yang mementingkan urusan perut. Kelemahan ini pada akhirnya menciptakan spiral atau benang kusut karena rakyat yang kemudian menjadi anggota legislatif tidak bisa menjadi representasi rakyat dengan cara lebih baik karena dia lahir dari haribaan rakyat dengan konsep kerakyatan yang kabur dalam pengertian politik modern.

Flores Pos | Asal Omong | Politik
| 20 Februari 2010 |

Tidak ada komentar: