25 Januari 2010

Baliho

Oleh Frans Obon

BANYAK baliho para calon bupati dan wakil bupati yang dipasang di Kota Ruteng dan Labuan Bajo porakporanda akibat angin kencang dan hujan lebat pada awal Januari tahun ini.

Di Flores pada tahun ini ada empat kabupaten yang akan menggelar pemilihan umum daerah (Pilkada) yakni Manggarai Barat, Manggarai, Ngada, dan Flores Timur. Para kandidat akan diusung oleh partai atau koalisi partai-partai atau melalui jalur independen.

Musim Pilkada memang telah tiba. Seperti pemilu legislatif, Pilkada juga memunculkan banyak calon. Intensitas pertemuan dengan rakyat di kampung-kampung makin meningkat. Tim sukses menyebar menangkap hati rakyat. Karenanya Pilkada seperti perdagangan musiman. Ramai sesaat setelah itu lenyap.

Tiap calon sekarang menawarkan apa yang dalam pandangan mereka dapat memikat hati rakyat. Yang lagi berkuasa (calon incumbent) memberi legitimasi pada apa yang telah mereka buat dan mengatakan yang lainnya masih merupakan janji. Meskipun sama-sama mengumbar janji juga.

Perdagangan musiman hakikatnya tawar lari. Menawarkan harga kepada rakyat, kalau cocok diambil: uang diterima dan barang diambil. Hubungan keterikatan antara pedagang dan pemilik komoditas begitu longgar hanya dalam konteks saling membutuhkan secara momental. Tukar menukar selesai, urusan dan hubungan juga selesai.

Pilkada adalah juga sebuah komoditas musiman. Para calon memburu suara rakyat di kampung-kampung dan pertukaran bisa saja terjadi setelah melakukan tawar menawar. Baliho dan apa yang mereka sebut sosialisasi diri dan program kepada rakyat adalah sebuah perkenalan (introduksi) dalam rangka pertukaran ini.

Dalam konteks sosialisasi ini, muncul perantara-perantara yang menghubungkan para calon dan massa rakyat. Perantara bisa saja memainkan dan menjalankan agenda tersembunyi di dalamnya sesuai dengan kepentingan. Ada dua kemungkinan di sini bisa terjadi.

Pertama, perantara tersebut memiliki agenda mencari keuntungan pribadi dengan mendapatkan “bunga” dari pertukaran antara calon dan massa rakyat. Hal ini bisa terlihat ketika Pilkada selesai. Banyak yang bilang, usai Pilkada yang kaya adalah tim sukses. Dana pilkada yang disediakan para calon menjadi sumber dari pendapatan perantara ini. Menjadi perantara adalah memburu keuntungan seperti ini dengan mengaku punya massa.

Kedua, bermain ganda. Para perantara bisa bermain ganda di dua pintu para calon. Keuntungan berlipat ganda dari seni bermain dua sisi ini. Isunya adalah menyusup ke dalam bilik calon lain untuk mengetahui strategi calon lain. Madu di tangan kanan, racun di tangan kiri. Yang mana yang akan kau berikan: tergantung agendanya. Jangka pendek dia mendapatkan keuntungan finansial, dan jangka panjang kemenangan adalah pundi-pundi untuk jangka waktu lima tahun. Kemenangan adalah cek kosong yang bisa ditulis kapan dan berapa besar yang akan dipetik.

Sumber kekalahan calon bisa juga timbul dari sini. Di kampung-kampung, transparansi dibikin terang benderang. Orang-orang di kampung tidak sungkan-sungkan menceritakan bahwa sebagai tim sukses mereka mendapatkan dana dari calon sebesar berapa. Orang-orang di kampung akhirnya merasa dicurangi oleh perilaku para perantara dan bisa membelokkan pilihannya kepada calon lain.

Dengan demikian sebenarnya yang terjadi di sini adalah bukan saja integritas para calon yang dipertaruhkan, melainkan integritas para perantara atau yang mereka sebut tim sukses tersebut. Dengan demikian integritas tim sukses juga merupakan kunci dari dukungan massa.

Aktivitas politik Pilkada ini memang makin meningkat. Tetapi di tengah makin intensnya para petani mengerjakan lahan-lahan mereka. Sekarang lagi musim kerja. Angin kencang dan hujan lebat. Para petani terus berpacu dengan waktu dan bergulat dengan kerasnya kehidupan petani mengelola lahan yang makin sempit. Hal ini akan memperkecil waktu mereka untuk mendengarkan calon-calon yang datang ke desa-desa dan kampung-kampung.

D sini ada disparitas, jurang antara kepentingan petani-petani di desa-desa dan kampung-kampung dan agenda politik Pilkada para calon. Ini tentu bukan soal timing pilkada, tetapi yang lebih substantif. Ini hanyalah hal sederhana yang mencerminkan betapa ada jurang antara apa yang menjadi kepentingan masyarakat kita yang sebagian besar (hampir 70 persen lebih) adalah petani dengan lahan sempit.

Tugas pemimpin adalah menyelesaikan masalah masyarakat dan menawarkan solusi. Dengan demikian seleksi pemimpin adalah jalan menuju perubahan yang lebih berarti bagi kehidupan masyarakat. Jika kita memperhatikan komunikasi politik para calon dengan masyarakat, maka terlihat jelas bahwa yang dibahas bukanlah hal-hal substatif.

Masyarakat kita sering dilanda bencana, tetapi lihatlah dalam program kerja para calon: apa respon mereka? Hampir tidak kelihatan. Karena itu kalau terjadi bencana, tindakan mereka pun hanya standar: mengunjungi lokasi, ambil tindakan darurat. Kalau jalan putus, buat jalan baru. Beri sumbangan alakadarnya kepada masyarakat. Mereka hampir tidak beda dengan pemadam kebakaran. Padahal yang dibutuhkan adalah tindakan preventif, yang bisa mengeluarkan masyarakat dari bencana. Pendekatannya tidak selalu dari atas bahwa pemerintah punya jalan keluar, tetapi bersama masyarakat. Kewenangan yang ada pada pemerintah itulah yang digunakan untuk menyatukan energi positif di dalam masyarakat membela dirinya dari kebencanaan. Harus ada tindakan berarti yang bisa mencegah masyarakat dari bencana tahunan.

Banyak kasus di mana petani mati karena merebut air. Tetapi apa yang dikampanyekan para calon? Kampung seakan tidak lagi punya daya untuk menyelesaikan masalah dengan jalan damai. Pemerintah seakan juga melihat masalah ini di tengah-tengah cela jari tangan yang menutup mata. Masyarakat dan calon pemimpinnya juga seakan tidak mampu melihat dan memberikan jalan keluar dari masalah ini.

Banyak masyarakat hampir menghabiskan sebagian besar waktu mereka untuk mendapatkan air bersih. Tetapi masalah air bersih ini luput dari perhatian para calon. Mereka hanya omong pukul rata tapi gagal menyentuh masalah spesifik kampung dan desa.

Yang paling banyak dijumpai adalah masalah perebutan lahan pertanian. Masalah lingko adalah masalah komunal di tingkat kampung. Jika pemerintah gagal atau melakukan tindakan pembiaran maka akan memperkuat fenomena banding di tempat, yang tidak lain adalah hukum rimba: siapa kuat dia menang, yang sering terjadi kalangan petani Manggarai. Hal ini akan mengekalkan masalah dan potensi konflik terpelihara dengan baik. Apakah masalah-masalah seperti akan disentuh para calon dalam kampanye politik mereka? Sudah pasti cara pukul rata kembali terulang.

Tiap daerah tentu punya masalah spesifiknya. Justru hal-hal spesifik itulah yang tidak disentuh dalam kampanye para calon. Sebab hal ini akan merugikan para calon. Mereka takut perbedaan pandangan dalam menyelesaikan masalah akan mengurangi dukungan massa. Karena itu umumnya para calon menghindari hal-hal ini dan menggantikannya dengan kampanye kesejahteraan. Meskipun mereka tidak terlalu konkret dalam menentukan jalan menuju kesejahteraan itu. Kesejahteraan adalah kata yang umum dan ukurannya pun berbeda-beda. Karena membuat semua orang sejahtera adalah usaha sepanjang zaman.

Fenomena ini akan makin kuat karena masyarakat tidak mampu untuk secara rasional menelaah dengan cermat janji calon dalam kampanye dan menagih janji mereka. Lemahnya lembaga DPRD sebagai representasi rakyat membuat janji ini hanya impian yang tak pernah tergapai. Belum lagi anggota DPRD sebagai aktor politik memainkan agenda sendiri untuk mendapatkan dukungan massa.

Makin tidak tercerahkannya aktivitas politik pilkada ini karena di ruang publik juga jarang sekali dibuat diskusi-diskusi publik yang mencerahkan masyarakat. Media sebagai medium pembelajaran politik juga tidak memainkan perannya. Padahal diskusi-diskusi cerdas di ruang publik dan publikasi media yang lebih masif akan membantu mencerahkan masyarakat.

Semua kelemahan ini akan menimbulkan apatisme politik rakyat. Dengan demikian pula janji-janji politik para calon dalam kampanye politik mereka akan jatuh begitu saja. Jatuh sama seperti baliho-baliho yang diterpa angin dan dihantam hujan lebat. Baliho jatuh karena topangannya tidak kuat. Ini juga berarti politik tidak mencerahkan karena tidak memberi ruang bagi lahirnya kecerdasan politik. Aktivitas politik pilkada mengekalkan kampanye tanpa menyentuh masalah konkret.

Harapan rakyat kemudian akan jatuh seperti baliho pada musim hujan. Berdiri lagi setelah lima tahun dan jatuh lagi.

Flores Pos | Analisis | Politik
| 26 Januari 2010 | p 9

Tidak ada komentar: