25 Januari 2010

Hilangnya Tradisi Kampung

Oleh Frans Obon

KITA sedih, tetapi mungkin tidak terkejut. Seorang petani di Kampung Wereng Desa Tengku Lawar Kecamatan Lambaleda, Manggarai Timur meninggal dibunuh oleh tiga petani lainnya pada Minggu, 10 Januari 2010.

Agustinus Suma dengan usus terburai dibunuh dengan sadis oleh tiga pelaku: Damasus Pasu, Yosef Sang, dan Anselmus Nedon. Motif pembunuhan adalah pembagian air sawah yang tidak merata. Mereka menuduh Sama melakukan ketidakadilan dalam membagi air sawah. Sebagaimana pengakuan pelaku, mereka dendam dengan tindakan korban. Cerita tiga pelaku tidak bisa dikonfirmasi dengan korban karena dia sudah meninggal. Pelaku dituduh telah melakukan pembunuhan berencana dan sudah ditahan oleh polisi.

Cerita pembunuhan merebut air sawah di wilayah tersebut bukan kasus pertama. Kasus yang sama pernah terjadi. Kemungkinan besar kasus serupa akan sering terjadi ke depan, bukan saja di daerah tersebut melainkan di seluruh Manggarai –Manggarai sudah menjadi tiga daerah administratif pemerintahan yakni Manggarai, Manggarai Barat, dan Manggarai Timur. Dengan demikian dalam hal intensitas kasus merebut air sawah menempati posisi kedua setelah konflik perebutan kepemilikan tanah pertanian.

Kasus yang dipicu pembagian air pertama-tama bukan hanya masalah ketidakadilan, melainkan terutama karena makin mengecilnya debit air. Ini erat kaitannya dengan makin gundulnya hutan di daerah itu.

Di Flores Manggarai dikenal sebagai daerah pertanian subur dengan pencetakan sawah yang hampir merata di setiap daerah. Mulai dari raja-raja Manggarai hingga para bupati di awal Indonesia merdeka pencetakan persawahan menjadi prioritas di bidang pertanian. Gerakan sawahisasi – bisa disebut demikian – mengakibatkan daerah-daerah perbukitan di lereng-lereng gunung yang bisa dialiri air dicetak sawah. Cara pembagian tanah dengan sistem lodok sebagai pusat membentuk jaring laba-laba. Pencetakan sawah menambah indah sistem jaringan laba-laba tersebut.

Dalam satu dasawarsa terakhir, jumlah penduduk Manggarai makin bertambah. Jumlah penduduk Manggarai secara keseluruhan hampir tujuh ratus ribu, hampir tiga kali lipat dari jumlah penduduk kabupaten-kabupaten lain di Flores. Itulah sebabnya gampang Anda jumpai orang Manggarai di mana-mana di Flores atau di Nusa Tenggara Timur. Daerah yang subur itu memungkinkan banyak orang dari daerah itu menikmati pendidikan di jenjang yang lebih tinggi. Ini sejalan juga dengan pembukaan sekolah-sekolah dasar yang hampir merata di seluruh daerah yang dirintis Gereja Katolik dan ditambah dengan kehadiran sekolah-sekolah negeri milik pemerintah semasa Orde Baru.

Pertumbuhan penduduk yang meningkat mengakibatkan kebutuhan akan lahan pertanian meningkat pula baik untuk menanam tanaman jangka pendek maupun untuk komoditas pertanian terutama kopi. Maka terjadilah proses perambahan hutan. Dampaknya sekarang Anda akan dengan mudah menyaksikan hutan-hutan dulu yang begitu lebat sudah hilang. Anda hanya temukan kopi dan cengkeh dan ladang padi dan jagung.

Apa legitimasi perambahan hutan ini dan ketidakberdayaan negara menghentikan semua ini? Ini adalah tanah ulayat (lingko dalam bahasa setempat). Pemerintah menetapkan lokasi tertentu sebagai hutan tutupan dengan cara otoriter tanpa ada penyerahan dan kesepakatan dari masyarakat lokal. Proses penetapannya tidak melibatkan masyarakat lokal. Perlawanan masyarakat lokal ini terus meningkat belakangan terutama pada masa reformasi di bawah sistem pemilihan langsung.

Dalam konstalasi sistem pemilihan langsung ini perlawanan masyarakat lokal mendapatkan momentum tepat di mana elite-elite politik lokal gamang dalam mengambil keputusan. Politik berbasis komunitas mengakibatkan politisi-politisi lokal tidak berani mengambil risiko. Maka Anda akan mudah menjumpai fenomena ketidaktegasan negara menghadapi tuntutan masyarakat lokal. Anda akan mudah mendapat kesan ada proses pembiaran dari negara terhadap perambahan hutan. Karena itu mengecilnya debit air dan berkurangnya air untuk daerah persawahan erat kaitannya dengan proses penggundulan hutan tersebut. Sekarang di Lembor orang mengeluh soal ini dan di banyak tempat di Manggarai.

Konflik perebutan air sawah menambah beban konflik lahan pertanian di kalangan petani Manggarai. Di beberapa daerah di Manggarai masih sering terjadi konflik perebutan lahan terutama lingko. Potensi itu ada sekarang, meski belum banyak yang muncul ke permukaan saat ini.

Konflik kepemilikan lahan pertanian memang bukan baru terjadi sekarang. Konflik selalu terjadi di mana dan kapan saja karena dia berakar di dalam hati manusia. Tetapi kampung-kampung di Manggarai pada masa dulu memiliki mekanisme untuk menyelesaikan konflik lahan pertanian karena lahan pertanian (lingko) memiliki kaitan erat dengan kehidupan kampung. Ada filosofi lingko’n peang gendang one. Rumah gendang merupakan pusat kekuasaan kampung, tempat di mana semua konflik diselesaikan. Masalah apa saja dalam kampung diselesaikan di rumah gendang. Mulai dari masalah moralitas seksual hingga masalah lahan pertanian. Keputusannya mengikat semua warga kampung.

Karena semua konflik berakibat pada “tidak bersihnya” kampung. Artinya ada konsep kedosaan kampung atau kampung menjadi tercemar oleh perilaku anggota kampung. Karena itu proses “pembersihan kampung” dari dosa-dosa warga kampung baik individu maupun dosa sosial perlu dilakukan melalui ritus potong kerbau atau potong kuda. Ketika saya pergi ke kampung, masyarakat menceritakan kembali konsep ini. Cala manga ndekok kaeng beo atau cala manga hemong kaeng beo. Itulah tanggapan mereka terhadap makin maraknya bencana melanda Manggarai. Perkelahian antar warga kampung juga dilihat dalam konteks kedosaan kampung. Itulah sebabnya semua masalah di kampung di masa lalu diselesaikan di rumah gendang dan melibatkan suku-suku utama untuk menyelesaikan masalah-masalah yang lebih besar.

Sistem ini efektif menyelesaikan masalah di tingkat kampung. Dengan demikian juga tercipta harmoni sosial dan hubungan sosial menjadi ajek. Saya lalu berpikir, mungkin kehilangan tradisi kampung ini memberi kontribusi pada konflik berujung maut seperti ini. Warga kampung tidak menemukan jalan keluar lain, selain menyelesaikannya dengan cara kekerasan.

Sistem hukum nasional tidak begitu dikenal oleh para petani di kampung-kampung. Terlalu banyak biaya dan waktu yang mereka habiskan untuk mengurus perkara dengan menggunakan hukum nasional. Kehidupan kampung yang sederhana itu telah berubah menjadi tempat tanpa ada kepastian hukum sebagai medium penyelesaian konflik lahan pertanian. Akibatnya yang berlaku adalah hukum rimba: siapa kuat dia menang. Istilah yang digunakan masyarakat setempat adalah banding di tempat. Itulah kata lain dari hukum rimba itu.

Flores Pos | Asal Omong | Konflik
| 23 Januari 2010 |

Tidak ada komentar: