10 Agustus 2009

Komodo

Oleh Frans Obon

KOMODO, binatang purba raksasa (Flores komodoensis) sekarang menimbulkan perbantahan. Seperti pedang perbantahan itu membelah jiwa masyarakat Manggarai, Riung, Flores, dan Nusa Tenggara Timur. Pedang membelah jiwa itu datang dari Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan MS Kaban, yang mengijinkan pemindahan sepuluh ekor komodo dari habitatnya di Wae Wuul, Manggarai Barat Flores ke taman safari di Bali. Alasannya adalah demi pemurnian genetik. Sebab di habitat aslinya di Wae Wuul komodo sudah terancam punah.

Di Jakarta, di Kupang, di Manggarai dan di Riung orang protes dan menentang surat Menteri Kehutanan tersebut. Pemindahan komodo dari habitatnya di Flores dilihat sebagai pencabutan hak masyarakat lokal atas kekayaan daerahnya. Permunian genetik di tempat lain dilihat sebagai dalih semata sebab memisahkan komodo dari habitat aslinya sama sekali tidak sepenuhnya bisa mengatasi masalah punahnya warisan keajaiban dunia tersebut.

Gubernur NTT Frans Lebu Raya dan Wakil Gubernur NTT Esthon Foenay sudah menyampaikan aspirasi dan sikap tegas masyarakat Nusa Tenggara Timur yang tidak menyetujui keputusan Menteri Kehutanan, sekalipun dimungkinkan oleh undang-undang. Ketua DPRD NTT Melkianus Adoe dan beberapa anggota DPRD NTT dari Flores sudah menyampaikan protes dan pendapat mereka mengenai pemindahan komodo Flores ke Bali.

Di Bali mahasiswa Manggarai melakukan demonstrasi di DPRD Bali. Mereka menentang rencana pemerintah pusat membawa komodo Flores itu ke Bali. Sebab empat ekor komodo di Bali itu kalau bukan dari Flores, dari mana lagi. Sudah banyak komodo Flores dikembangbiakkan di tempat lain di Indonesia. Di Jakarta orang-orang Manggarai dan berbagai elemen dari Nusa Tenggara Timur sudah menggelar demonstrasi dan menuntut Menteri Kehutanan mencabut Surat Keputusannya. Anggota DPR RI dari Manggarai Cyprianus Aoer melakukan interupsi soal pemindahan komodo itu pada sidang DPR RI. Mantan Menteri Lingkungan Hidup Sony Keraf dari Lembata juga menentang. Sonny Keraf meminta peninjauan ulang Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 384/Menhut-II/2009 tertanggal 13 Mei 2009. Setuju dengan rencana penyelamatan komodo jadi prioritas pemerintah, tetapi konservasi tetap dipusatkan di Flores.

Ronny R Noor, guru besar pemuliaan dan genetika di Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor dalam arikelnya di Kompas, 5 Agustus lalu menegaskan agar perlunya kehati-hatian memindahkan komodo Flores dari habitat aslinya. Dia bilang begini: “Karena populasi ini khas dan terisolir, maka tujuan memindahkan populasi komodo Manggarai untuk memurnikan genetik menjadi pertanyaan besar. Apanya yang akan dimurnikan? Apakah sudah diteliti bahwa populasi ini tidak murni? Apakah sudah diteliti tingkat keragaman populasinya? Standar apa yang diacu untuk mengatakan bahwa populasi ini tidak murni. Justru sebaliknya, biasanya populasi yang tergolong ke dalam island population ini memiliki kemurnian yang tinggi dan spesifik lokasi”.

Dia melanjutkan: “Ditinjau dari ilmu genetika, ekologi, dan populasi, diperlukan kehatian-hatian untuk melakukan konservasi ex situ (keluar dari tempat aslinya). Sebab, jika dilakukan tanpa tinjauan ilmiah yang mendalam, hasilnya justru membantu mempercepat kepunahan suatu populasi. Jika suatu individu atau kelompok individu dipindahkan dari habitatnya, biasanya individu ini mengalami berbagai stres, mulai dari stres akibat penangkapan, stres akibat tidak sesuainya dengan habitat baru, stres perubahan pakan, stres perubahan iklim, dan lainnya”.

Menurut dia, “Diperlukan suatu kehatian-hatian dalam menerapkan kebijakan pemindahan komodo. Jangan sampai niat baik ini akan menjadi petaka kehilangan subpopulasi komodo yang hanya dapat ditemukan di wilayah Nusa Tenggara Timur”.

Dari Paraguay Pastor Martin Bhisu SVD asal Riung, Kabupaten Ngada seperti disampaikannya dalam milis lontoleok ikut berjuang bersama jaringan Vivat Internasional, sebuah lembaga swadaya masyarakat milik Serikat Sabda Allah yang sudah terdaftar di Perserikatan Bangsa-Bangsa dan menganjurkan kerja sama yang luas dengan media internasional dan Vivat Fransiskan. Kerja sama tersebut akan menjadi lebih efektif. Dia berjanji akan membuat kontak pribadi dengan seorang tokoh dari Nikaragua di Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk membawa masalah ini ke tingkat internasional.

Demonstrasi di Jakarta beberapa hari lalu menentang pemindahan komodo dan masalah tambang di Manggarai Barat telah disiarkan melalui radio-radio internasional seperti radio Jerman Deutsche Welle di Bonn, Radio Belanda Nederland Wereldomroep di Hilversum, Radio French International, VOA (Voice of America) dan RSI (Radio Singapore International). Termasuk pada koran-koran nasional di Jakarta. Diskusi tambang dan pemindahan komodo terus bergulir. Perlawanan terus dilakukan.

Kita mendapat banyak pertanyaan: bagaimana orang-orang Flores menyikapi masalah tambang dan pemindahan komodo? Apakah ada suara dari DPRD sedaratan Flores? Bagaimana sikap mahasiswa di seluruh Flores? Apa kata perguruan tinggi? Bagaimana kontrol masyarakat terhadap kebijakan para bupati dan wakil bupati sedaratan Flores?
Beberapa tahun lalu, pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur memprakarsai pertemuan forum pariwisata Flores-Lembata. Saya kira sampai sekarang gagasan membangun pariwisata dalam bingkai Flores-Lembata masih hidup di benak kita.

Pemerintah provinsi juga membentuk badan serupa yang diyakini bisa mendorong pengembangan pariwisata Flores secara keseluruhan. Gagasan ini muncul dari kesadaran bahwa fragmentasi dalam masyarakat terutama fragmentasi oleh etnis telah merugikan pengembangan pariwisata di Flores. Karena tiap kabupaten yang memang sejak awal dibentuk berdasarkan pembagian etnis telah memberikan kontribusi bagi lambannya pengelolaan pariwisata Flores-Lembata. Ego sektoral dan ego daerah dalam rancang bangun pembangunan Flores-Lembata telah menghambat optimalisasi pemanfaatan sumber daya daerah ini.

Berdasarkan kesadaran itu digelar berbagai pertemuan yang coba mendorong dan mempersatukan energi masyarakat Flores untuk melihat Manggarai Barat sebagai pintu gerbang barat Flores dan Larantuka sebagai gerbang timur Flores. Di barat Flores (Mabar dan Riung) ada komodo, di Ende ada Kelimutu dan di Flotim ada Semana Santa dan di Lamalera ada tradisi penangkapan ikan paus dengan seluruh filosofinya. Tapi mengapa kita selalu memandang semua itu secara fragmentaris?

Ke depan, tugas kita bersama dari barat sampai ke timur Flores adalah mengawasi para pemimpin kita yang sudah terperangkap oleh semangat kapitalisme global yang mengambil dari masyarakat miskin dan masyarakat malas pikir apa yang menjadi kekayaan mereka. Di Afrika, di Asia, dan di Amerika Latin, kapitalisme global mengeruk kekayaan masyarakat miskin. Kapitalisme global hanya bisa dilawan dalam semangat kebersamaan. Kita di Flores juga harus bisa bersama-sama menghadapi kerakusan kapitalisme global dan semua hasrat yang mau mencabut dari kita apa yang kita miliki.*

Edisi, 8 Agustus 2009 | asal omong

Tidak ada komentar: