01 September 2009

Muspas yang Menggigit

Hampir selama 22 tahun strategi pastoral Gereja Katolik Keuskupan Agung Ende dirancang dalam Musyawarah Pastoral (Muspas).


Oleh Frans Obon

SUDAH 22 tahun lamanya, sejak 1987 Keuskupan Agung Ende di Flores tengah merancang strategi pastoralnya dalam pertemuan akbar yang disebut Musyawarah Pastoral (Muspas) yang tiap kali dihadiri hampir tiga ratusan lebih umat Katolik, berlangsung secara bergilir di tiga kevikepan: Ende, Bajawa dan Maumere. Dalam kurun waktu itu telah dilangsungkan lima kali Musyawarah Pastoral. Dengan terbentuknya Keuskupan Maumere, maka tinggal dua kevikepan: Ende dan Bajawa, meski secara administratif pemerintahan Kabupaten Ngada telah dimekarkan menjadi dua kabupaten dengan terbentuknya Kabupaten Nagekeo.


Perjalanan panjang yang kurang tiga tahun mencapai usia perak menuntut diperlunya evaluasi yang lebih serius mengenai pencapaian-pencapaian atau mungkin lebih tepat efektivitas perhelatan akbar dengan biaya tidak sedikit ini.

Uskup Agung Ende Mgr Vincent Sensi Potokota pada pencanangan Musyawarah Pastoral (Muspas) VI di gereja Katedral Ende, Minggu (16/8) menegaskan lagi perlunya evaluasi lebih dalam mengenai efektivitas dan daya guna dari strategi pastoral yang diambil dalam Muspas. Muspas sebagai medium demokratis karena melibatkan umat di lapisan akar rumput dan datang dari berbagai latarbelakang profesi dan etnik tetap dilihat sebagai medium yang tepat bagi perumusan strategi pastoral. Karena Muspas, kata Uskup Sensi, mengandung mimpi, visi, cita-cita umat Katolik Keuskupan Agung Ende yang mencerminkan “Gereja Katolik sebagai sakramen yang memberikan kesaksian tentang cita-cita hidup dan hakikat dirinya”.

Tiga kali Uskup Sensi memukul gong yang ditempatkan di sisi kiri altar Katedral Ende dan disaksikan Bupati Ende Don Bosco M Wangge, Direktur Pusat Pastoral Keuskupan Agung Ende Romo Cyrilus Lena, Vikaris Episkopus Ende Romo Ambros Nanga dan Vikaris Episkopus Bajawa Romo Hengky Sareng. Umat yang memenuhi gereja tua itu menyambutnya dengan tepukan tangan yang meriah.

Pemukulan gong ini menandai pencanangan Muspas VI Keuskupan Agung Ende. Sebuah perayaan ekaristi meriah dipersembahkan dipimpin Uskup Sensi dan dihadiri para imam dari Bajawa dan Ende dan ratusan umat Katolik. Delapan penari putri mengantar para imam dari depan gereja hingga altar diiringi lagu Lio.

Seperti umumnya di Flores, perayaan liturgis di gereja-gereja Katolik selalu dimeriahkan dengan tarian. Jiwa musikal umat Katolik Flores memang telah terlihat sejak misi Katolik merambah pulau yang disebut Nusa Nipa oleh Sareng Oringbao alias Pater Piet Petu SVD, dosen antropologi di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Romo Reginaldo Piperno pastor paroki Katedral mengatur seluruh perayaan ekaristi semeriah mungkin. Katedral sebagai “gerejanya” Uskup memang mesti memelihara tradisi perayaan ekaristi yang meriah, penuh khidmat dan patut sebagai sumber kekuatan iman.

Romo Cyrilus Lena, Direktur Pusat Pastoral Keuskupan Agung Ende membacakan teks pencanangan Muspas dan sesudahnya Uskup Sensi memukul gong menandai dimulainya keseluruhan proses Muspas yang akan berjalan hampir selama setahun. Susunan kepanitiaan dibacakan Romo Efraim Pea. Musyawarah yang berlangsung lima tahun sekali ini baru akan digelar Juli 2010. Tetapi karena prosesnya akan berjalan secara partisipatif agar mencerminkan aspirasi dan keinginan umat di tingkat paling bawah, maka diperlukan waktu setahun agar produk Muspas benar-benar menjawabi kebutuhan dan harapan umat, sekaligus memberi kesempatan kepada umat untuk melihat kembali hasil-hasil Muspas sebelumnya.

Proses ini sejalan dengan arah dasar strategi pastoral Keuskupan Agung Ende yang menjadikan komunitas umat basis sebagai fokus dan lokus dari seluruh perjuangan Gereja Katolik dalam menyumbangkan kemajuan bagi masyarakat. Arah dasar pengembangan komunitas umat basis itu adalah komunitas umat basis menjadi kelompok perjuangan dan pemberdayaan. Garis dan arah dasar inilah yang dihidupkan dan dipelihara untuk mengokohkan tradisi kekatolikan di pulau yang disebut cabo da Flores oleh M Cabot pada tahun 1521 ini sekaligus mencerminkan usaha tanpa henti Gereja Katolik dalam memberikan kontirbusi bagi kesejahteraan rakyat Flores.

Inklusif
Komunitas umat basis yang didefinisikan sebagai satuan umat yang relatif kecil (berkisar 10-20 keluarga) dan inklusif yang bertemu secara teratur dan tetap (berkala) untuk berbagi masalah-masalah hidup harian dan bersama-sama mencari pemecahannya dalam terang Sabda Allah (Kitab Suci) dari satu sisi merupakan sumbangan Gereja Katolik dalam memperkuat proses demokratisasi di tingkat akar rumput. Komunitas umat basis sebagai komunitas pemberdayaan dan perjuangan dari satu sisi pula merupakan ejawantah dari prinsip subsidiaritas tempat di mana anggota komunitas dengan kekuatan dan kemampuan mereka sendiri mencari jalan keluar dari masalah-masalah konkret yang mereka hadapi. Dengan demikian komunitas umat basis dapat bertindak sebagai komunitas alternatif.

Komunitas umat basis ini sifatnya inklusif, terbuka pada semua orang dari berbagai latarbelakang dan terbuka untuk bekerja sama dengan siapa saja terkait masalah konkret kehidupan. Dalam komunitas umat basis karenanya terbuka kemungkinan dibangunnya kerja sama lintas agama dan lintas suku untuk memecahkan masalah konkret bersama. Masalah-masalah konkret dihadapi bersama dan dicarikan solusinya. Di sinilah kesempatan setiap pemangku kepentingan menyeringkakan kekayaan iman mereka untuk menemukan solusi terbaik atas masalah yang dihadapi bersama.
Masyarakat tidak statis alias dinamis. Nafas zaman berbeda. Barangkali itulah hukum alam. Namun manusialah yang harus disiapkan untuk selalu mengarahkan perubahan zaman itu dalam trek yang benar sehingga bergerak di atas rel kebenaran yang memerdekakan dan membebaskan.

Musyawarah Pastoral dalam konteks ini merupakan kesempatan berkumpulnya pemangku kepentingan dari berbagai latarbelakang untuk bersama-sama “menyusun strategi-strategi (pastoral) yang bisa menjawab masalah zaman tersebut”. Dalam arah inilah Uskup Agung Vincent Sensi Potokota dalam kotbahnya menegaskan bahwa Muspas adalah “gerakan pembaruan pastoral”. Dia bilang ada kerinduan yang besar di kalangan umat agar “Gereja sebagai persekutuan iman berjuang menemukan strategi pastoral yang tepat sasar dan berdaya guna. Untuk menemukan strategi yang tepat Gereja mesti membuka dirinya menerima semangat zaman. Membiarkan roh zaman masuk ke dalam Gereja untuk memberikan kesegaran baru dalam strategi pastoralnya”.

Keinginan ini akan muncul bukan “dari rasa aman” berpuas diri ke dalam, tetapi mesti lahir dari kesadaran akan hakikat Gereja sendiri sebagai sakramen dan sebagai saksi. Bolehlah dibilang kehadiran Gereja Katolik di Flores harus bisa dirasakan oleh masyarakat Flores. Kehadiran Gereja Katolik sungguh dirasakan hanya jika Gereja memberikan kontribusi yang lebih besar bagi kesejahteraan bersama masyarakat Flores. Hal ini menuntut pula Gereja Katolik merentangkan tangannya ke luar dan menjangkau sebanyak mungkin orang untuk bersama-sama dan membawa mereka kepada kesejahteraan lahir batin. Ini tentu saja menuntut Gereja untuk bersikap inklusif dan membuang jauh-jauh sikap eksklusif.

Roh Ilahi
Perjalanan Muspas selama 22 tahun, demikian Uskup Sensi, mesti memberi konsekuensi tumbuhnya kematangan dalam hidup menggereja dan meninggalkan rasa aman yang semu. Sebaliknya perjalanan yang panjang reksa pastoral tersebut memberikan anggota Gereja kedalaman kesadaran dan keteguhan komitmen untuk “memberi lebih” pada kemajuan masyarakat sehingga “kehadirannya makin nyata dan dirasakan”. Kehadiran yang dirasakan itu baru nyata bila Gereja Katolik sebagai persekutuan dan komunitas perjuangan “mampu membebaskan masyarakat dari belenggu kemiskinan”. Dengan ini, katanya, Gereja makin berpengalaman dan dewasa. “Apa benar kita sudah dewasa. Saya tidak ingin mendahului proses”.

Proses Muspas yang berjalan selama setahun ini, lanjutnya, mesti digunakan oleh umat untuk merenungkan dengan lebih sungguh dalam doa-doa dan pertemuan-pertemuan di komunitas-komunitas umat basis. Hal ini penting menurut Uskup karena umat harus menimba “inspirasi pada kebijaksanaan Ilahi”. Uskup ingin menegaskan bahwa strategi pastoral yang bermutu dan menggigit tidak saja mengandalkan kekuatan manusiawi belaka melainkan mesti bersandar pada kekuatan Allah.

“Muspas akan terus berlanjut tetapi kita mesti yakin hikmah Ilahi akan bersama kita, memelihara nilai-nilai keutuhan, cinta kasih, ketekunan. Hikmah Allah akan memperkuat tekad hati kita dan membebaskan kita dari kebodohan. Mari kita bersatu erat dengan Yesus sepanjang proses Muspas berjalan,” katanya.

Uskup sadar bahwa bergerak dalam “gerbong kepanitiaan yang besar” dan proses yang partisipatif bukan tanpa godaan. Pasti ada yang bersikap memegahkan diri, roh moke, roh tuak yang penuh dengan berbagai ambisi. Uskup mengingatkan agar seluruh umat bekerja dalam kesatuan yang erat.

“Keseluruhan proses Muspas harus dilaksanakan dengan penuh sukacita, disposisi batin yang lebih baik, penuh sukacita, damai dan murah hati, lemah lembut. Kita butuh daya rohani sehingga Muspas dihiasi disposisi batin yang penuh inspirasi dari hikmah dan kebijaksanaan Allah,” ujarnya.

Lebih Menggigit
Zaman berubah, lain pula tuntutannya. Konsili Vatikan II menuntut adanya keterbukaan hati anggota Gereja untuk selalu pandai dan mampu “membaca tanda-tanda zaman”. Dengan demikian tidak ada formula jadi dalam menjawab semua tantangan zaman ini.
Uskup bilang, Muspas harus bisa menawarkan kesejahteraan yang utuh, yang mengalir dari Roh dan hikmat Allah sendiri. Hanya dalam kesatuan yang erat dengan seluruh anggota, dapatlah dirumuskan terobosan-terobosan baru yang lebih menggigit dan menjawab masalah zaman. “Muspas VI harus bisa menghasilkan terobosan-terobosan baru yang lebih menggigit yang bisa menjawab tantangan-tantangan masyarakat milenium ini,” tegas Uskup.

Karena itu ukuran kesuksesan bukan terletak pada kelancaran lalulintas sidang, tetapi diukur dari apa yang kita capai. Hal itu tercermin dari Muspas sebagai gerakan transformasi kehidupan masyarakat. “Ini bukan melulu karya manusia, tapi embusan Roh Allah yang kudus agar hasil Muspas mampu dititipkan dari generasi ke generasi,” katanya.

Strategi pastoral yang lebih menggigit itu diibaratkan oleh Uskup sebagai jembatan penyeberangan bagi generasi berikutnya. Gereja Keuskupan Agung Ende perlu secara sungguh-sungguh menjadi jembatan penyeberangan menuju masyarakat sejahtera. Produk Muspas itu adalah tongkat estafet yang akan diserahkan kepada orang-orang milenium ini.

“Mari kita bicarakan lagi komitmen kita untuk mengungkapkan dan menangkap aspirasi masyarakat agar karya kita berdaya guna dan dirasakan oleh umat manusia. Kita ingin tampil lebih nyata dan menjadi saksi yang nyata di mana saja tempat kita diutus,” kata Uskup.

Representasi
Pada pertemuan di aula Paroki Katedral setelah perayaan ekaristi hari yang sama Uskup Sensi kembali mengingatkan bahwa “Panggilan kristianilah yang menjadi dasar keterlibatan aktif umat dalam seluruh proses Muspas VI ini”. Keterlibatan semua orang itulah yang menjadi landasan bagi “produk Muspas yang lebih menggigit”.
Sehingga dia bilang, “kesuksesannya tidak diukur dari lancarnya sidang, melainkan dari hasil yang dicapai dalam Muspas” karena “itulah yang akan dipersembahkan Gereja Keuskupan Agung Ende kepada masyarakat atau demi kepentingan umat”.

“Gereja Keuskupan Agung Ende dipanggil untuk semakin aktif di tengah dunia dan saya yakin kita siap dan kita makin dewasa. Produk Muspas yang lebih menggigit itulah yang akan menentukan efektivitas dan daya guna tidaknya reksa pastoral gereja sehingga “kehadiran gereja menjadi sebuah kesaksian dan mitra lebih berdaya guna”. Gereja sendiri, ujarnya, siap bekerja sama dengan semua pihak dalam menghantar manusia menuju hari esok yang lebih baik. “Sehingga bila kita membangun dalam kemitraan, maka kemitraan kita makin terarah yang tercermin dalam perencanaan yang cocok”. Karenanya Uskup minta semua pihak bekerja jujur dan ikhlas. “Katakanlah apa yang benar dan apa yang salah sehingga Muspas akan memberikan yang terbaik,” tegasnya.

Direktur Puspas Romo Cyrilus Lena yang duduk mendampingi Uskup Sensi pada pertemuan di aula Paroki Katedral menggambarkan seluruh proses Muspas mulai dari persiapan panitia hingga persiapan-persiapan selama setahun menjelang Muspas. Muspas ini, kata mantan Vikep Bajawa ini, tidak saja membahas hal-hal internal gereja, melainkan juga membahas konteks eksternal seperti konteks sosial-politik, ekonomi, budaya, dan lain-lain. Pada aras internal, akan dibuat evaluasi kehidupan komunitas basis, arah dasar dan strategi pastoral, dan sekaligus membahas pastoral ad extra serta sumber daya.
Muspas yang akan berlangsung 6-11 Juli 2010 bertempat di Paroki Mautapaga Kevikepan Ende ini akan dihadiri 371 peserta dari berbagai latarbelakang profesi. Muspas, dia bilang, akan memperhatikan representasi gender. Keterlibatan perempuan dalam Muspas akan diperhatikan.

Inilah Muspas, kata Ketua Umum Panitia Dominikus M Mere, dengan persiapan yang cukup lama. Karena fokus dan lokusnya pada aspek pemberdayaan dan pembangunan kapasitas, maka dia mengusulkan agar strategi pastoral ini diseleraskan dengan program yang sama di pemerintahan. Ada banyak usulan diberikan terutama soal keterwakilan peserta.
Bupati Ende Don Bosco M Wangge yang duduk di samping Uskup Sensi pada pertemuan di aula Paroki Katedral usai perayaan ekaristi mengatakan, keterlibatan dalam Muspas seperti ini telah menjadi bagian dari tugasnya. “Sebagai bupati saya mendukung penuh Muspas karena sasaran kita sama hanya kita berbeda kaca mata,” katanya. Karenanya dia menganjurkan agar kepala bappeda dari tiga kabupaten diundang sehingga terjadi sinergitas di dalam perencanaan antara pemerintah dan gereja.

“Saya kira kita bisa gandeng tangan untuk bangun umat yang sama ini,” katanya.
Muspas yang lebih menggigit barangkali itulah harapan terbesar dari Muspas VI. Kurun waktu 22 tahun, melompat dari satu muspas ke muspas lainnya, memberikan kita kesempatan untuk melihat lebih jeli, mencerna lebih tepat dan menganalisis lebih tajam masalah manusia zaman ini. Kehadiran Gereja Katolik sejak 1516 di Flores yang dimulai di ujung timur adalah kehadiran tanpa henti untuk memberikan kontribusi bagi perkembangan masyarakat Flores. Tiap generasi memikul dan membawa satu batu dan menempatkan satu batu di atas batu lainnya, direkatkan oleh iman, membentuk sebuah bangunan. Apakah bangunan itu kokoh atau ibarat bangun di atas pasir juga salah satunya disumbangkan oleh tepat tidaknya reksa pasotral yang dirancang. Muspas yang lebih menggigit mungkin itulah kata kuncinya.

Gong sudah dipukul di sebuah gereja tua, tempat di mana semuanya berawal. Di hadapan kita ada banyak masalah. Kita dituntut menjawabinya bukan esok tapi hari ini. Karena hanya dengan itu kehadiran Gereja Katolik akan makin terasa. Gereja akan tampil sebagai saksi yang membebaskan dan memerdekakan.

Flores Pos |Feature | Agama
|22 Agustus 2009 |

Tidak ada komentar: