16 Juli 2009

Menonton Mabar

Oleh Frans Obon

KITA BISA berbeda dalam memandang Manggarai Barat belakangan ini. Masing-masing kita punya interprestasi. Sebagai sebuah daerah mekaran baru, yang usianya baru lima tahun, Manggarai Barat coba menemukan cara untuk membuat masyarakatnya sejahtera. Jika setahun pertama, penjabat bupati hanya melakukan pekerjaan administratif, maka lima tahun kemudian setelah bupati dan wakil bupati terpilih, perlahan-lahan kabupaten baru itu mulai menggeliat membangun dirinya.



Manggarai Barat memang penuh dinamika. Sejak awal pembentukannya. Kita semua tahu bagaimana orang berteriak, menggebrak meja, dan mencemooh satu sama lain. Isu-isu politik berseliweran di Ruteng, di Labuan Bajo, di Kupang dan Jakarta. Mobilisasi kita lakukan di kampung-kampung. Semua orang mau menggunakan momentum yang diberikan oleh negara untuk pemekaran Kabupaten Manggarai.


Orang memuntahkan berbagai janji, mimpi-mimpi indah. Pemekaran akan mendekatkan rentang kendali pemerintahan. Mendorong proses demokratisasi. Membangun jati diri masyarakat. Membangun kesejahteraan masyarakat. Memelihara budaya. Macam-macam. Manggarai Barat pada akhirnya terbentuk.

Sekarang Manggarai Barat kembali penuh dinamika. Pilihan kebijakan pemerintah terutama soal tambang menimbulkan problem serius. Sejauh yang kita tahu, pemerintah telah memberikan delapan kuasa pertambangan (KP) kepada investor tambang. Di sebuah daerah yang begitu kecil dengan dua ratusan ribu lebih penduduk. Di sebuah daerah yang begitu subur pertaniannya, lautnya yang indah, taman nasionalnya yang terkenal, bahkan mau masuk dalam tujuh keajaiban dunia. Di daerah yang harum semerbak cengkehnya.

Ini jelas merisaukan banyak kalangan. Pertama, soal keadilan antargenerasi dan kerisauan ekologis. Tambang punya daya rusak yang masif. Janji reklamasi oleh investor atau tanggung jawab sosial perusahaan tambang untuk memulihkan kondisi lingkungan hampir pasti tidak akan terlaksana. Ketika investor tambang selesai mengeruk isinya, mereka pergi, membiarkan lokasi tambang menganga. Apa yang tersisa untuk generasi berikutnya? Tidak ada. Maka jelas kita menciptakan ketidakadilan antargenerasi. Lingkungan kita akan jadi rusak. Tambang bukan bergerak di permukaan, tetapi ke dalam. Bagaimana kita bisa memulihkan kerusakan tersebut. Bagaimana kita bisa meminta pertanggungjawaban dari investor yang telah pergi?

Kedua, masyarakat lokal jadi korban. Di mana-mana, masyarakat jadi tumbal. Air mereka tercemar. Lingkungan mereka rusak. Orang baku bunuh di Manggarai karena masalah tanah. Yang mereka punya diberikan kepada investor. Apa yang tersisa? Nothing. Mereka menjadi korban dari inkonsistensi dari kebijakan pemerintah.

Sebenarnya ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meneken Peraturan Pemerintah No.02/2008 pada tanggal 24 Februari 2008 yang memberi izin menambang di hutan lindung, kekhawatiran utama adalah masyarakat lokal jadi korban. Aset mereka dijual ke investor tapi dampaknya akan mereka tanggung. Risiko yang ditanggung masyarakat tidak sebanding dengan keuntungan yang mereka peroleh dari pertambangan tersebut.

Ketika saya menulis artikel ini, saya teringat akan tulisan Myrna Eindhoven, seorang peneliti. Myrna Eindhoven menulis tentang pembentukan Kabupaten Mentawai, yang terpisah dari Kabupaten Padang Pariaman, Sumatra. ”Penjajahan Baru? Identitas, Representasi, dan Pemerintahan di Kepulauan Mentawai Pasca Orde Baru” (lihat Henk Schulte Nordholdt dan Gerry van Klinken, Politik Lokal di Indonesia, Jakarta: KITLV-Yayasan Obor Indonesia, 2007, hlm 87-115).

Buku ini bicara mengenai politik lokal pasca jatuhnya Soeharto. Mulai dari soal pemekaran daerah, tambang timah di Bangka Belitung, gerakan masyarakat sipil, premanisme yang terorganisasi, identitas lokal, hingga nepotisme dalam politik. Cakupannya mulai dari Aceh hingga Papua minus Nusa Tenggara Timur.

Myrna Eindhoven bicara tentang Mentawai. Sebelum pemekaran, masyarakat Mentawai merasa inferior, terkebelakang. Mereka merasa tersisihkan. Mereka merasa kekayaan mereka dinikmati oleh oleh elite di kabupaten induk. Elite Mentawai menggunakan momen pemekaran daerah yang diberikan oleh negara untuk memperkuat kedudukan politis mereka. Proses perjuangan politis ini diintenskan oleh elite politik Mentawai. Asumsinya adalah kabupaten baru yang dibentuk ini akan memberdayakan dan memperkuat komunitas lokal, menjadi sarana proses demokratisasi, dan memperkuat masyarakat sipil. Kabupaten Mentawai terbentuk.

Apa yang terjadi? Komunitas adat ditafsirkan menurut kepentingan politis masing-masing kekuatan politik. Ketegangan politik pun terjadi. Rivalitas politik antara eksekutif dan legislatif berlangsung tajam. Pertikaian dipicu pemanfaatan potensi alam Mentawai. Pada tahun 2004, ada 20 izin baru yang dikeluarkan pemerintah untuk konsensi tebang kayu dalam skala kecil dengan luas keseluruhan 30.000 hektare. Dalam tempo sekian, hutan gundul. Kontribusi kepada daerah berapa? Samar-samar. Pada umumnya diyakini, kata Myrna Eindhoven, dari konsensi itu ada yang menikmati fee, yang biasanya selalu samar-samar pula di mata publik, tetapi nyaris semua orang tahu.

Buku ini sudah lama tidak lagi saya baca. Sudah mulai agak berdebu. Beruntung bungkusannya dari plastik putih. Menonton Manggarai Barat belakangan membuat saya membacanya kembali. Membandingkan Mentawai dan Manggarai Barat tentu bukan dua kutub yang selalu klop. Persambungannya bisa pas dan bisa tidak pas. Bisa mepet dan bisa longgar. Bisa dekat tapi juga bisa jauh sekali.

Saya berusaha memandang Manggarai Barat lebih dekat. Dan saya temukan satu buku Manggarai Barat (Keringat, Air Mata, dan Perjuangan untuk Sebuah Kabupaten). Buku ini ditulis John A Syukur, diterbitkan Juli 2006. Dia bicara tentang sejarah pembentukan Manggarai Barat. Dia menyebut orang-orang dan pandangan, sikap, dan posisi mereka dalam konteks pemekaran Manggarai kala itu. Dalam pandangan saya, buku ini adalah sebuah catatan harian, yang diterbitkan dalam bentuk buku. Karena penulisnya adalah salah satu pelaku, maka sama sekali tidak ada cek dan ricek. Ada yang diagungkan, ditokohkan, dan ada yang jadi pecundang. Tapi paling tidak buku ini memberikan kita sedikit gambaran bagaimana di satu masa, banyak orang bersatu dalam perjuangan membentuk kabupaten tapi bisa berseberangan dalam mengisi pembangunan di kabupaten baru tersebut. Semua itu amat gamblang menggambarkan adanya perbedaan kepentingan.

Di manakah posisi rakyat? Di manakah posisi masyarakat lokal dalam konteks pemekaran dan isinya itu?

Ketika membaca Myrna Eindhoven, kerisauan saya makin mendalam. Manggarai Barat, gerbang barat Flores, sebuah keberuntungan atau sebuah pradiso yang terkoyak. Menonton Manggarai Barat, menonton sebuah kerisauan. Manggarai, kuni agu kalo, akankah kami dengar sanda dan mbatamu, syair dan dendangmu, mistik ragasaemu, gita cintamu?

Flores Pos | Asal Omong |
| 11 Juli 2009 |

Tidak ada komentar: