06 Juli 2009

Jangan Biarkan Perempuan Terpuruk

Oleh Frans Obon


TELEVISI dan media menyajikan kepada kita situasi buruk yang menimpa perempuan migran kita. Mereka diseterika, dipukul, disiksa dan disekap. Kita menyebut para pekerja migran kita sebagai pahlawan devisa. Tetapi kita selalu menjadi pahlawan kesiangan karena sering telat melakukan aksi nyata menolong perempuan tak berdaya ini. Yang paling segar dalam ingatan kita adalah penderitaan Modesta Rengga Kaka (26), yang disiksa majikannya. Kita rasa ngeri menyaksikan nasib tragis yang menimpa perempuan asal Sumba Barat ini.

Tidak ada yang salah jika seorang perempuan bekerja di luar negeri. Siapa saja bisa bekerja di manapun. Yang kita usahakan selama ini adalah mengajak semua pekerja yang hendak bekerja di luar negeri mengikuti prosedur resmi (melengkapi semua dokumen dan bukan pergi secara ilegal) dan memberikan pelatihan-pelatihan.

Namun masalah pekerja migran kita begitu kompleks. Pertama-tama harus kita sadari bahwa memang ada gap dalam hal etos kerja, pengetahuan dan ketrampilan, dan nilai. Umumnya pembantu rumah tangga kita yang bekerja di luar negeri itu sebagian besar berasal dari kampung-kampung kita. Bisa dibayangkan tingkat pengetahuan mereka tentang budaya bangsa lain, etos kerja para majikan, dan terutama ketrampilan dalam hal mengasuh anak dan menangani urusan rumah tangga (dapur). Meski kita akui kondisi psikologis dan karakter majikan ikut menentukan juga dalam kasus kekerasan tersebut.

Kedua, pemerintah mesti menciptakan berbagai program pemberdayaan perempuan secara ekonomis. Kalau kita memperhatikan statistik pendidikan kita, pada tingkat sekolah dasar partisipasi perempuan masih tinggi. Tetapi pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi, partisipasi perempuan makin sedikit. Itu berarti fondasi piramida angkatan kerja kita didominasi pendidikan sekolah dasar dan terbanyak di sini adalah kaum perempuan. Karena itu tidaklah heran jika desa kita dijejali dengan pekerja perempuan di sektor informal. Situasi mereka akan terpuruk jika dalam hal ekonomi mereka tidak berperan. Dengan kata lain, jika tidak ada pemberdayaan perempuan di sektor ekonomi, maka kita membiarkan proses pemiskinan perempuan. Budaya patriakat akan terus mengental dan perempuan akan tetap terpojok.

Kerentanan nasib perempuan itu dapat kita lihat dalam soal orang tua tunggal (single parent) yang diakibatkan oleh pekerja migran kita. Para suami meninggalkan istri mereka di kampung-kampung. Perempuan-perempuan itu belajar untuk menjadi orang tua tunggal. Anak-anak mereka dibesarkan tanpa kehadiran ayah mereka. Oleh sebab itu fokus perhatian kita tidak saja ke luar negeri, tetapi kita membenahi situasi perempuan kita secara ekonomis. Kata kuncinya adalah jangan membiarkan perempuan terpuruk.

Edisi, 7 Juli 2009 | bentara

Tidak ada komentar: