06 Juli 2009

Dari Tanah Flores

Oleh Frans Obon

FLORES boleh berbangga. Dari sekian tempat pembuangan Presiden Soekarno, Flores punya tempat yang sentral. Bukan soal lama atau tidaknya dia ada di suatu tempat tetapi soal yang lebih strategis. Di tempat kita, di tanah kita, dia mengaku telah menemukan Pancasila. Di tepi laut, di bawah pohon sukun.

Interaksi Soekarno selama empat tahun di Flores (1934-1938) dengan misionaris dari Serikat Sabda Allah (Societas Verbi Divini/SVD), dengan masyarakat Ende dan sekitarnya, dengan memandang laut dan gunungnya, flora dan faunanya, telah memberi dia sebuah insight bagi fondasi masa depan Indonesia modern. Keterlibatan Soekarno dalam pergerakan politik Indonesia, perjumpaannya dengan ideologi besar dunia dan kegandrungannya pada pustaka filsafat dan politik, telah membawa dia pada sebuah puncak untuk menemukan dasar yang kuat bagi Indonesia modern. Dan itu di Flores.


 Dari tanah kita, sejauh yang kita tahu dari surat-suratnya, dia punya keinginan yang kuat dalam dirinya agar Indonesia tidak didasarkan pada agama tertentu, tetapi memberi tempat bagi semua. Dari korespondensinya kita tahu bahwa dia juga ingin agama-agama membarui diri dan belajar dari satu sama lain tentang kekayaan iman untuk pembaruan kehidupan masyarakat. Agam-agama harus saling belajar untuk memperkaya makna kehidupan.

Hati kita tergerak dan mata kita terbuka tiap kali ada para pejabat datang ke Ende, berhenti sejenak di bawah pohon sukun, dan mengunjungi museum Bung Karno. Museumnya tidak hebat amat. Berada di antara rumah penduduk. Sebuah rumah yang bila dilihat dari jauh tidak terlalu mencolok di antara rumah penduduk. Semua itu dilakukan untuk merasakan sedikit bagaimana bisa di sebuah tempat yang periferi, daerah pinggiran dalam politik Indonesia, salah satu pendiri bangsa ini menemukan inspirasi yang demikian besar dan kuat bagi fondasi Indonesia modern. Bila kemudian orang berbicara tentang pluralisme atau ketunggalikaan dalam kebhinekaan (unity in diversity), orang barangkali ingat tentang di mana ideologi Pancasila itu ditemukan. Justru bukan di tempat di mana guruh gemuruh gerakan politik dan revolusi bergelora sedemikian hebat membakar jiwa kaum muda bangsa Indonesia, tetapi di sebuah tempat di ujung timur Indonesia, yang jauhnya sekitar 1.650 kilometer dari Jakarta.

Inspirasi dari tanah Flores bukan hanya ini. Secara tidak sengaja saya menemukan sebuah tulisan, yang menceritakan bahwa dari tanah Flores, ada sebuah kontribusi yang juga besar sekali khususnya pada Konsili Vatikan II mengenai dialog dengan agama-agama non-Kristen. The Dialogue between the Church and Other Religions and Cultures, judul karya tersebut ditulis Uskup Denpasar (almarhum) Vitalis Djebarus SVD. Paper ini dibacakan pada pembukaan Minggu Misi di Trier, 28 September 1977 (lihat Verbum SVD, fasciculus ½ volumen 20 1979, hlm. 33-38).

Gereja Flores, begitu kata Uskup Vitalis, boleh berbangga karena salah satu uskup yang mengusulkan dibentuknya sebuah Sekretariat tetap di Vatikan untuk dialog dengan agama-agama Non-Kristen, adalah seorang uskup Flores. Sekretariat yang diusulkan itu strukturnya sama seperti Sekretariat untuk Persatuan Kristen. Uskup itu adalah Uskup Anton Thijssen SVD yang menyampaikan proposal tersebut pada konferensi pers di Roma pada awal April 1963. Sekretariat itu adalah sekretariat tetap tempat di mana semua komunitas agama terwakilkan.

Menurut Uskup Thijssen, lanjutnya, sekretariat inilah yang akan mendekatkan pribadi-pribadi dari berbagai agama dan memberikan kesempatan kepada teolog-teolog Katolik dan non Kristen untuk saling menukarkan pandangan mereka. Jadi semua pihak mendapatkan manfaat dari sekretariat ini. Usulan ini bertujuan mau memperbaiki kesalingpengetian antargama-agama. Sekretariat ini sampai sekarang masih berdiri kokoh di Vatikan.

“This proposal made by a Bishop from Flores may be only a small contribution to the great emerging question of the dialogue between the Church and other religions, but we wanted to mention it in this context because it came from our Church” (Proposal ini yang diusulkan oleh seorang uskup dari Flores barangkali hanya sebuah kontribusi kecil untuk sesuatu yang besar berkaitan dengan masalah dialog antara Gereja dan agama-agama lain, tetapi kita menyebutkan hal ini dalam konteks ini karena hal itu datang dari gereja kami (baca: Flores).

Seperti dikatakan oleh Uskup Vitalis, proposal ini barangkali sebuah kontribusi kecil dalam sebuah mainstream baru dalam ruang Konsili Vatikan II mengenai perlunya pembaruan Gereja agar Gereja, ibunda yang selalu merentangkan tangannya untuk menghirup nafas jaman, membuka jendela agar angin pembaruan masuk ke dalamnya dan kesegaran baru lahir. Bahwa itu datang dari Flores, sebuah tempat yang sekuku hitam dalam peta dunia, mengagumkan.

Dalam konteks Gereja Katolik, Flores adalah sebuah daerah misi yang relatif muda. Dari sebuah daerah misi, tempat iman belum berakar kuat, terbit sebuah gagasan besar berperspektif jauh ke depan. Yang intinya adalah bagaimana Gereja Katolik disiapkan untuk menghadapi jaman modern, menangani masalah-masalah manusia modern sehingga Gereja Katolik dan umatnya tidak terasing dengan perubahan zaman.

Pluralisme adalah salah satu ciri jaman modern. Pluralisme dalam hal agama, ideologi, pandangan dan cara hidup. Bagaimana kita dari berbagai latarbelakang berbeda bersatu sebagai bangsa, sebagai negara, dan sebagai sebuah komunitas. Pada masa modern tidak ada komunitas berwajah tunggal, melainkan komunitas berwajah plural. Spirit inilah yang terus dan akan terus dihidupkan oleh Gereja Katolik Flores.

Kita menyebutkan dua kontribusi ini dari tanah kelahiran kita, pertama-tama bukan sekadar untuk sebuah nostalgia. Kita menyebut dua hal ini sebagai pencapaian dari kekayaan sosio-kultural kita. Bahwa dari tempat kita berpijak, kita menyumbangkan sesuatu yang berharga untuk kehidupan bersama kita sebagai bangsa, sebagai negara dan sebagai warga dunia. Tetapi pencapaian itu akan tinggal sebagai sebuah kenangan jikalau kita tidak terus menerus menghidupi semangat pembaruan itu dalam kehidupan bersama kita. Meski kita berada di daerah periferi dari politik Indonesia, kita perlu terlibat aktif menyumbangkan gagasan-gagasan dan diskusi-diskusi cerdas untuk memperkuat fondasi kebangsaan kita.

Kegelisahan mengenai praktik politik yang kotor dan praksis politik yang tidak diarahkan untuk kesejahteraan rakyat adalah bentuk lamentasi dari gradasi dalam kehidupan sosio-kultural kita. Pemimpin-pemimpin kita, yang lahir dari rahim tanah ini, kehilangan orientasi dalam membawa perubahan sosio-kultural kita. Banyak sekali keputusan politik yang kita ambil jauh dari semangat untuk kebaikan umum. Masyarakat kita sudah kehilangan solidaritasnya.

Degradasi dalam politik, degradasi dalam soal lingkungan hidup, degradasi dalam soal mutu pendidikan, degradasi dalam hal nilai. Kalau pemimpin-pemimpin kita di Flores tidak bisa mencegah proses degradasi ini, kita akan kehilangan momentum. Tanah ini tidak akan pernah lagi melahirkan sesuatu yang besar karena kita sendirilah yang merusaknya.

Edisi, 4 Juli 2009 | asal omong

Tidak ada komentar: