14 Juni 2009

Ekaristi dan Komunitas

Oleh Frans Obon

Judul ini saya ambil dari tema pertemuan 80 teolog, misionaris, dan aktivis awam dari 11 negara Asia. Tema lengkapnya “ Ekaristi dan Komunitas – Melampau Semua Penghalang (Eucharist and Community – Beyond and All Barriers). Pertemuan ini digelar tanggal 18-20 Mei di Pusat Retret St Benediktus di Seoul, Korea Selatan dan diselenggarakan oleh Gerakan Katolik Internasional untuk Urusan Intelektual dan Kultural (International Catholic Movement for Intellectual and Cultural Affairs/ICMICA) dan Institut Teologi Woori (Woori Theology Institute/WTI) yang berbasis di Seoul.

Pertemuan tersebut mendahului sidang pleno kesembilan Federasi Konferensi-Konferensi Waligeraja Asia (Federation of Asian Bhisops’ Conferences/FABC) di Manila, 10-16 Agustus 2009 dengan tema “Penghayatan Ekaristi di Asia” (Living the Eucharist in Asia).

Deklarasi akhir dari pertemuan ini adalah komitmen yang lebih komprehensif untuk memperlihatkan relevansi perayaan ekaristi dalam kehidupan sehari-hari. Ekaristi perlu meningkatkan komitmen dialog segitiga manusia, kebudayaan dan agama di Asia.
Ketika saya membaca berita ini di website Ucanews.com, saya teringat kembali akan sebuah artikel yang ditulis salah satu dosen saya di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Pater John Mansford Prior SVD. Judulnya Inculturation of Worship and Spitiruality – A view from Indonesia (http://www.sedos.org/english/mansford.htm). Artikel ini mengkritik cara kita menggereja. Menurut dia, kita sukses dalam soal inkulturasi hanya sebatas nyanyian dan perayaan di gereja hari Minggu. Tetapi umat kita tidak menjadikan Kitab Suci sebagai sumber inspirasi perjuangan sosial di Flores.

Dia bilang begini, kalau Anda menghadiri perayaan ekaristi hari Minggu di Indonesia, Anda akan mendapatkan satu kesan yang sama. Bahwa Gereja-gereja Kristen di Indonesia adalah hasil cangkokan dari Gereja Kristen Eropa. Sudah lama sekali dibicarakan soal kontekstualisasi dan inkulturasi kehidupan dan ibadat Gereja. Namun hasil yang paling jelas dari proses ini adalah terciptanya ribuan lagu yang indah. Lagu-lagu ini dinyanyikan ketika orang pergi ke pasar, ke kebun dan ketika mandi. Namun teks-teks Kitab Suci jarang sekali direfleksikan dalam kehidupan sehari-hari untuk menginspirasi perjuangan melawan rejim Soeharto. Di Indonesia bagian timur, nyanyian dan tarian sering bersama-sama. Karenanya jika Anda pergi ke gereja, menari akan selalu menjadi bagian dari perayaan ekaristi.

Memang itulah yang terjadi dengan kehidupan menggereja kita. Perayaan ekaristi kita sungguh meriah. Mulai dari pembukaan hingga akhir. Tarian dan nyanyian bersama-sama. Kita sukses menciptakan lagu-lagu inkulturatif ke dalam perayaan ekaristi. Bahkan kita “mengekspor” lagu-lagu Flores itu ke daerah lain, menjadi kekayaan kehidupan liturgis di Nusantara. Kita bangga dengan itu. Karena bersamaan dengan itu, orang Flores yang merantau ke luar daerah tersebar ke mana-mana. Orang-orang kita menjadi api yang memberikan semangat liturgis di daerah lain di Nusantara. Orang-orang kita di manapun mereka hadir selalu aktif dalam koor paroki. Orang Flores memang naturaliter Christiana.

Lalu, apanya yang salah. Perayaan kita sebenarnya sungguh tidak melahirkan adanya “pertobatan” sosial. Pertobatan menjadi salah satu unsur terpenting di dalam perayaan ekaristi. Konstitusi Liturgi dari Vatikan II juga menekankan pentingnya “iman dan pertobatan” (Sacrosanctum concilium/SC #9). Injil juga menekankan hal yang sama. Kita tidak bisa pergi mempersembahkan persembahan jikalau kita belum berdamai satu sama lain atau berdamai dengan saudara kita. Unsur pertobatan individual tersebut kemudian diperluas lagi setelah perayaan ekaristi.

Kita mesti melangkah lebih jauh ke suatu pertobatan sosial. Kita tidak saja dituntut berperan serta secara “sadar dan aktif” dalam perayaan ekaristi, melainkan juga “berdaya guna” (lihat SC #11). Berdaya guna tidak lain adalah bagaimana ekaristi memberikan kita semangat, komitmen dan tanggung jawab untuk mendorong perubahan-perubahan sosial di dalam masyarakat kita. Proses perubahan sosial itu tentu memerlukan kebersamaan, dialog dengan semua orang. Ekaristi menuntut bahwa setelah kita dipersatukan oleh sakramen paskah Kristus, kita bersatu “seia dan sekata” (SC #9) dalam melakukan perubahan-perubahan sosial di dalam masyarakat kita ke arah yang lebih baik . Bagaimana ekaristi berdaya guna menciptakan kondisi lingkungan sosial dan lingkungan hidup yang lebih baik. Bagaimana ekaristi mendorong kita untuk melakukan dialog dengan orang lain, berdialog dengan agama lain, dan berdialog dengan kebudayaan.

Gereja yang tidak lain adalah kita semua harus merasa “terpikat pada semua karya cinta kasih, kesalehan, dan kerasulan” (SC #9). Karena dengan ini, kita “pertahankan apa yang diterima dalam iman” (SC #10) sebagai tanggung jawab etis kita untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan dan keadilan di dalam masyarakat.

Mengapa ada distansi yang begitu besar antara kemeriahan perayaan kita dengan praksis sosial dalam kehidupan kita. Mengapa kita begitu menekankan kesalehan pribadi kita dan kurang peduli pada kesalehan sosial?

Sebagaimana diungkapkan oleh Pater John M Prior dalam artikelnya itu adalah karena Gereja kita masih merupakan hasil cangkokan Gereja “asalnya”. Gereja Kristen kita telah membentuk identitas religius dan budaya. Lihatlah Sumba, Timor dan Flores. Pertarungan politik lokal kita mencerminkan adanya identitas yang dibentuk oleh religius dan budaya tersebut. Identitas itu diperlukan dalam konteks Indonesia modern yang lebih besar di mana kekristenan sebagai minoritas. Konsekuensinya adalah inkulturasi Injil dilihat sebagai ancaman bagi identitas tersebut. Menurut dia, identitas religius dan budaya semacam ini adalah sebuah budaya cangkokan.

Kita mesti melangkah dari budaya cangkokan tersebut (a cultural transplant) menuju identitas yang dibentuk melalui proses inkulturasi di mana teks-teks Injil direfleksikan di dalam komunitas-komunitas kita. Teks-teks Injil menjiwai, menyemangati dan mendorong komitmen sosial yang lebih besar untuk perubahan sosial dan budaya dalam masyarakat kita. Dengan ini ada satu identitas religius dan kultural yang sungguh lahir dari kasanah kita sendiri. Kita memang harus minum dari sumur kasanah budaya kita sendiri, yang telah diragi dan digarami oleh semangat Injil.

“Kita diutus”. Itulah kata-kata yang selalu kita dengar pada tiap kali perayaan ekaristi. Kata-kata itu mesti mengiang-ngiang di telinga kita dan menyelinap pada kesadaran kita bahwa kita perlu mengembangkan sebuah gerakan siklis yang selalu berulang dan selalu membawa semangat baru yakni merefleksikan secara bersama-sama kehidupan sosial kita dalam terang Injil di dalam komunitas kita dan kita bersama-sama membawa kecemasan, kedukaan, kegembiraan dan harapan kita dalam bakul persembahan kita pada perayaan ekaristi.

Ekaristi dan komunitas, melampau semua penghalang mengingatkan kita kembali bahwa ekaristi adalah sebuah perayaan kehidupan kita sendiri, bukan sekadar sebuah kalender liturgis rutin. Ekaristi hendaknya “mendorong umat beriman agar sesudah dikenyangkann ‘dengan sakramen paskah’ bersatu seia sekata” (SC#10) untuk “mempertahankan apa yang diterima dalam iman” dan “berdaya guna”. Yang tidak lain adalah bagaimana perayaan ekaristi kita tidak saja menghasilkan kekudusan pribadi, melainkan kekudusan sosial. Semakin banyak dari kita “terpikat untuk semua karya cinta kasih, kesalehan, dan kerasulan”. Living the Eucharist in Flores -- living our faith and our life in the light of the Word of God.


Flores Pos | Asal Omong | Agama
| 13 Juni 2009 |

Tidak ada komentar: