22 Juni 2009

Semangat yang Terlupakan

Frans Obon

PARA PESERTA pertemuan Musyawarah Pendidikan (Musdikat) bertepuk tangan saat Ketua Yayasan Tananua Hironimus Pala menyajikan dampak positif dari arisan pendidikan yang mereka rintis dan bangun di Wolomuku, Kabupaten Ende. Daerah itu terisolasi karena buruknya transportasi, meski potensi ekonominya cukup terutama tanaman komoditas perdagangan. Meski demikian mentalitas masyarakat telah mempengaruhi cara hidup mereka. Sikap fatalistis. Dia sendiri mengaku bahwa awalnya merintis arisan pendidikan seperti ini bukanlah hal mudah. Apalagi dia bersama para pemrakarsa lainnya menghadapi kultur masyarakat doi bhondo ngama bhanda.
Dalam musyawarah pendidikan (musdikat) Paroki Wolotopo, Keuskupan Agung Ende, 30 Mei lalu, dia menyeringkan pengalamannya membangun dana solidaritas pendidikan di Wolomuku. Mereka mulai arisan pendidikan ini tahun 2006 lalu. Hasilnya luar biasa: Total dana hingga April 2009 sebesar satu miliar tiga ratus lima puluh lima ribu. Dana yang sudah terpakai enam ratus tujuh puluh juta, sedangkan yang masih aman di tabungan Koperasi Bahtera Ende enam ratus delapan puluh lima juta rupiah. Dana yang telah dikeluarkan ini telah menghasilkan satu orang strata dua, dua puluh dua strata satu, diploma tiga dua orang, dan diploma dua enam belas orang. Sedangkan yang masih berada di bangku kuliah, strata satu dua puluh enam orang, diploma satu orang, dan diploma dua delapan orang.

Pencapaian ini telah menyihir orang-orang di Wolotopo. Meskipun daerah ini telah banyak menghasilkan sarjana dan orang-orang berpendidikan lainnya. Tapi yang menarik dari sini adalah ada orang-orang kreatif yang mampu mendorong masyarakat mengorganisasikan dirinya untuk menggalang dana bersama bagi pendidikan anak-anak mereka. Penggalangan dana solidaritas pendidikan melalui arisan pendidikan adalah mau menolong orang yang tidak memiliki peluang menyekolahkan anak-anak mereka hingga bangku perguruan tinggi

Solidaritas pendidikan itu bukan berarti memberikan dana-dana gratis kepada anak-anak mereka, melainkan bagaimana masyarakat merencanakan hidup mereka dan menyisihkan sebagian dari pendapatan mereka untuk investasi bagi pendidikan. Bagaimana mereka mengurangi pengeluaran konsumtif rumah tangga terutama mengurangi pesta-pesta yang memakan ongkos begitu besar. Ternyata pengorganisasian diri masyarakat yang dibangun secara baik dapat menimbulkan energi positif.

Jika kita menelusuri kembali sejarah gerakan misi Katolik di Flores, maka kita menemukan tiga pilar utama strategi membangun daerah ini. Pilar pertama adalah ekonomi sebab masyarakat memiliki aset tanah pertanian yang luas. Pilar kedua adalah pendidikan. Pada ahun 1862 dibuka sekolah dasar pertama di Larantuka. Berturut-turut kemudian di Maumere, Ende dan terus ke bagian barat Flores. Sejak kehadiran intens Gereja Katolik di Flores terutama setelah peralihan misi Flores dari Serikat Yesus ke Serikat Sabda Allah (Societas Verbi Divini/SVD) pada tahun 1914, intensitas kehadiran sekolah Katolik makin meluas. Kontrak Flores-Sumba Regeling 1913 menjadi pemicu makin intensnya kehadiran lembaga-lembaga pendidikan Katolik. Berbagai kursus pertukangan, pertanian, dan keterampilannya dirintis Gereja Katolik. Gereja juga memperkenalkan teknik-teknik pertanian. Memperkenalkan komoditas-komoditas yang dibutuhkan pasar dalam negeri dan pasar internasional seperti vanili. Di bidang kesehatan, Gereja Katolik merintis pembukaan rumah sakit, poliklinik dan pelayanan kesehatan tak kenal lelah ke kampung-kampung. Gereja Katolik membuka akses yang lebih luas bagi pelayanan kesehatan.

Roh yang menjiwai semua itu adalah partisipasi aktif masyarakat dalam keseluruhan proses pembangunan tiga bidang itu. Gereja memulai perubahan itu dengan menyekolahkan anak-anak bangsawan dan anak-anak yang pandai dari kampung-kampung. Dalam keseluruhan prosesnya, masyarakat dilibatkan dan mengambil bagian secara aktif. Hal yang paling terasa adalah partisipasi dalam membangun pendidikan. Gotong royong pendidikan. Masyarakat terlibat aktif dalam membangun sarana dan prasarana sekolah, rumah-rumah guru dan menyerahkan tanah-tanah secara gratis untuk pelayanan pendidikan. Gereja menjadikan lembaga pendidikan sebagai salah satu focus dan locus reksa pastoralnya. Kerja sama yang erat antara masyarakat dan lembaga pendidikan memperlihatkan hasilnya yang mengagumkan. Kita tidak bisa membayangkan seandainya Gereja Katolik tidak merintis karya pendidikan ini di Flores dan membangun budaya kebersamaan tersebut.

Sebagaimana lahirnya kontrak Flores-Sumba Regeling karena perubahan situasi politik di Belanda dan dimulainya politik etis Belanda di negara-negara jajahannya, maka hal yang sama terjadi pula di Indonesia. Politik pendidikan rejim Orde Baru telah menyingkirkan partisipasi masyarakat di dalam pendidikan. Proyek-proyek sarana pendidikan yang dibangun pemerintah Orde Baru melalui proyek inpres telah memanjakan masyarakat kita. Memang telah menjadi tugas negara untuk mencerdaskan masyarakatnya. Tetapi pendekatan negara dalam membangun pendidikan telah mengabaikan partisipasi masyarakat dalam arti yang sesungguhnya. Badan pembantu penyelenggara pendidikan yang dibentuk pemerintah atau sekarang disebut Komite Sekolah hanyalah sebuah simbol keterlibatan masyarakat.

Bank Dunia (World Bank) pada tahun 1994 memasukkan lagi variabel partisipasi dalam proses pengambilan keputusan atau kebijakan yang mempengaruhi kehidupan sosial dalam proses pembangunan. Sesuatu yang telah kita lakukan jauh sebelum penetapan tersebut. Kita tentu tidak saja mempersalahkan situasi politik dan kebijakan negara dalam pendidikan, tetapi sebenarnya kita sendiri meninggalkan kasanah yang telah kita miliki. Membangun kembali partisipasi masyarakat sudah sangat sulit setelah kita menguburkannya hampir tiga dekade.

Dalam sebuah lokakarya akhir kegiatan bidang pendidikan NTT-PEP di Kabupaten Ende, di mana saya menjadi salah satu pembicaranya, saya mengatakan bahwa kalau sekarang NTT-PEP membuat slogan, “Untuk mendidik satu anak seluruh kampung terlibat”, maka sesungguhnya hal itu bukanlah hal baru bagi masyarakat Flores. Sejarah pendidikan di Flores membuktikan hal tersebut. Orang tua murid sungguh aktif terlibat dalam membangun pendidikan di Flores. Ada semangat kebersamaan. Tetapi sejalan dengan bertumbuhnya semangat kapitalisme dalam dunia pendidikan dan individualisme makin menguat, semangat itu hilang ditelan zaman. Padahal kapitalisme global hanya bisa dihadapi jika kita membangun solidaritas sosial. Solidaritas sosial itu akan dapat memberikan wajah kemanusiaan pada watak hegemonik dari globalisasi. Kita perlu memanggil kembali roh kebersamaan yang hilang itu untuk kembali ke kampung-kampung kita. Roh yang terlupakan (the forgotten spirit) dalam tiga dasawarsa terakhir perlu kita bangkitkan kembali.

Flores Pos | Asal Omong | Pendidikan
| 20 Juni 2009 | 9

Tidak ada komentar: