14 Juni 2009

Kembali ke Kampung





Oleh Frans Obon


JALAN membelah bukit batu. Menanjak, lalu menurun. Sebuah jembatan gantung melewati sungai menuju kampung ditinggalkan. Sesekali orang lewat. Jembatan ini telah diganti dengan jembatan berkonstruksi semen dan beton. Jembatan konstruksi beton dan semen itu seakan sebuah bentuk kemerdekaan untuk kampung yang produktif menghasilkan bengkuang itu . “Hanya Romo (Pastor Paroki) yang sering lewat di atas jembatan gantung itu sekarang,” kata seorang tukang ojek. Karena ujung jembatan gantung itu langsung di depan gerbang paroki.

Rumah-rumah penduduk berdempeten di bukit di sebelah selatan gereja. Padat. Menanjak membentuk takik-takik. Dari sana mereka bisa memandang laut. Memandang gedung paroki yang letaknya di sebelah bawah di sebuah tempat datar. Memandang anak sekolah yang bermain di depan gerbang paroki.

Kampung ini sekitar 15 menit dari Kota Ende. Dulu mereka berjalan kaki di pinggir laut menuju ke Kota Ende. Baru beberapa tahu lalu, jalan darat dengan membelah bukit cadas selesai dikerjakan. Sekarang telah diaspal. Dikitari oleh kebun-kebun penduduk dengan jambu mete sepanjang jalan. Anda tidak lagi merasakan kegersangan. Tapi semangat, daya juang, dan kerja keras dari masyarakatnya terpatri dari wajah orang-orang yang Anda jumpai.

Dari Paroki Wolotopo, telah lahir para imam Katolik yang bekerja di berbagai daerah di Indonesia. Imam sulung adalah Romo Herman Embuiru Wetu Pr. Dia ditahbiskan 11 Juni 1984, dua puluh lima tahun lalu. Tanggal 11 Juni 2009 nanti dia merayakan 25 tahun imamatnya. Di Flores dengan penghormatan terhadap imam yang begitu besar dengan sensus religiosus yang begitu kuat, dua puluh lima tahun dalam imamat adalah sebuah etape penuh rahmat dalam perjalanan hidup seorang imam. Dia pantas mendapat penghormatan dari umatnya.

Dua tahun lalu, dalam pertemuan pastoral Keuskupan Agung Ende di Mataloko, muncul sebuah gerakan baru di Keuskupan ini agar pesta-pesta baik pesta tahbisan imam Katolik maupun pesta-pesta budaya umat atau pesta apa saja disederhanakan. Gereja Katolik mesti memberikan contoh soal penyederhanaan pesta. Setahun belakangan ini pesta tahbisan, pesta sambut baru, dan pesta gereja lainnya disederhanakan. Gereja Katolik mengajak umatnya untuk memandang ke depan dan membangun kehidupan ekonomi dengan lebih mantap dan menatap masa depan dengan penuh perencanaan.

Presentasi Romo Herman Embuiru Wetu

Romo Herman Embuiru Wetu Pr juga menghidupi semangat yang sama. “Romo Stef tahu, dari dulu saya tidak terlalu suka pesta,” kata Romo Herman. Di aula Paroki Wolotopo, Pastor Paroki Wolotopo Romo Stefanus Wolo Itu Pr juga mengatakan kepada saya bahwa Romo Herman telah berulang kali mengingatkannya agar tidak perlu digelar pesta untuk merayakan dua puluh lima tahun imamatnya. Sebagai gantinya Paroki Wolotopo menggelar Musyawarah Pendidikan (Musdikat), sebuah reksa pastoral untuk mendorong persiapan dan pembentukan generasi masa depan yang lebih berkualitas. Yayasan Persekolahan Umat Katoli Ende-Lio (Yasukel) merancang agenda Musdikat dan keseluruhan prosesnya. Piet Puli dan timnya beberapa kali menggelar pertemuan persiapan.

Sabtu, 30 Mei lalu, pagi-pagi kami berkumpul di Kevikepan di Jalan Nangka sebelum berangkat ke Wolotopo. Piet Puli, Romo Herman Embuiru Wetu Pr, Aloysius Belawa Kelen, Amatus Peta, Emanuel Laba (Camat Detusoko), dan Vikep Ende Romo Ambros Nanga Pr. Kami menggunakan tiga mobil.

Di aula Paroki beberapa umat telah siap. Matahari mulai menyinari kampung di kaki bukit tersebut. Utusan dari Kekasewa, Wolokota, Ngalupolo, Wolotopo, dan Reka terus berdatangan. Malam itu mereka menginap di rumah-rumah sekitar paroki. Karena keesokannya perayaan Pentekosta. Yang diundang 200 orang. Namun yang hadir 150 orang. Aula Paroki Wolotopo penuh. Menariknya orang-orang dari Paroki Wolotopo yang ada di Kota Ende menghadiri pertemuan ini. Sebuah isyarat pentingnya sumbangan dari mereka yang pernah menapaki jalan yang sama pada masa lalu. Untuk menyebut beberapa nama: Abraham Badu, Mikhael Biru, Yakobus Ari, Pater Joanes De Deo Porsi Nusa SVD, Pater Markus Tulu SVD, Hendrikus Sengi, dan lain-lain.

Di atas panggung sebuah gambar berukuran besar. Foto diri Romo Herman Embuiru Wetu disertai tulisan: “... yang Mahakuasa telah melakukan perbuatan yang besar kepadaku, kuduslah namaNya” (Luk. 1:49). Inilah moto perayaan perak imamatnya.

Kursi-kursi mulai dipenuhi. Lima orang penyanyi membuka pertemuan tersebut. Dua lagu. Emanuel Laba, Camat Detusoko lalu bicara mengenai keseluruhan proses musyawarah berlangsung. Tidak ada acara seremonial yang rumit. Sederhana saja. “Kita sengaja buat tidak ada acara seremoni. Vikep Ende Romo Ambros akan membuka acara, lalu musyawarah dimulai,” kata Piet Puli.

Vikaris Episkopus (Vikep) Ende Romo Ambros Nanga Pr bersama Romo Herman Embuiru Wetu Pr bersama ketua panitia duduk di depan. Acara dimulai dengan sambutan Vikep.
Dia bilang pertemuan hari itu bukan sekadar tampil beda meski dituntut agar selalu tampil beda. Karena berbeda akan lebih baik. Namun dia mengatakan, pertemuan tersebut harus menjadi momen rahmat berdampak pastoral dengan starting point dari pendidikan. Dia bicara mengenai hak anak atas pendidikan, yang harus diberikan orang tua, “hak yang tak tergugatkan”, sehingga orang tua memiliki tugas dan tanggung jawab utama dalam mendidik anak.

Dia menyitir dokumen Konsili Vatikan II, Gravissimum Educationis (GE). “Semua manusia dari bangsa, lapisan dan usia manapun, memiliki martabat pribadi, karena itu mempunyai hak yang tak tergugat atas pendidikan, yang sesuai dengan tujuan dan bakat masing-masing” (Gravissimum Educationis #1).

Orang tua adalah pendidik pertama dan terutama, yang harus mendidik anaknya. “Karena mereka memberikan kehidupan kepada anak-anaknya, maka para orang tua mengemban tugas maha berat, mendidik anak dan sebab itu mereka harus diakui sebagai pendidik pertama dan utama” (GE # 3).

Namun peran serta orang tua itu memerlukan peran serta orang lain. Orang tua perlu mengikutsertakan orang lainnya dalam tugas ini. “Tugas mendidik yang pada tempat pertama adalah wewenang keluarga, membutuhkan bantuan seluruh masyarakat. Maka disamping hak orang tua dan orang-orang lain yang mereka ikutsertakan dalam tugas mendidik, negara memang mempunyai tugas dan hak tertentu, karena ia berwenang mengatur hal-hal yang dituntut demi kepentingan umum keduniaan”. (GE # 3).

Vikep mengatakan, pendidikan harus menjadi upaya sadar dari orang tua dan semua orang dalam sebuah kerja sama yang lebih erat dan berdaya guna. “Kita berdosa jika kita tidak memberikan pendidikan kepada anak-anak kita,” katanya, mengutip kata-kata yang sering disampaikan Mgr Vincent Sensi Potokota, Uskup Agung Ende.

Untuk mencapai tujuan pendidikan, katanya, perlu dibicarakan bersama bagaimana merancang bangun pendidikan sehingga memberikan perubahan bagi masa depan generasi berikutnya. Pendidikan adalah medan dan tempat generasi muda digodok sehingga menjadi generasi pembaru di masa depan. Orang tua dan semua pihak perlu menolong anak-anak dengan menciptakan lingkungan sekolah dan kegiatan belajar mengajar yang mampu mengembangkan bakat-baka dan intelektualitas mereka. “Anak-anak didorong untuk mengikuti wajib belajar dan mendorong mereka mau jadi pendidik,” katanya.

Dia menutup sambutannya. Lalu berdiri ke arah kiri. Romo Herman dan ketua panitia berdiri mendampingi. Dia memukul gong tiga kali sebagai tanda pertemuan dibuka. “Klik” saya ambil gambar dua kali.

Kembali ke kampung, barangkali itulah inti dari pertemuan ini. Bagaimana membangkitkan lagi semangat dan sekaligus komitmen seluruh warga kampung untuk membangun solidaritas dalam bidang pendidikan. Pertemuan ini yang dilakukan melalui pola proses pada akhirnya bertujuan mengubah pola pikir dan pola laku dan berkembangnya nilai-nilai baru sehingga menghasilkan manusia Wolotopo sebagai agen perubahan sosial di lingkungan mereka sendiri. Seperti dikatakan Romo Herman Embuiru Wetu sambil menyitir slogan NTT PEP, “untuk urus seorang anak, seluruh kampung harus dilibatkan”.

Presentasi Romo Feri Deidhae, Ketua Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Pusat Pastoral Keuskupan Agung Ende membangkitkan kembali kenangan masa lalu bahwa membangun solidaritas dalam bidang pendidikan bukanlah hal baru dalam sejarah pendidikan di Flores.

Dia berbicara mengenai strategi awal misi Katolik Flores. “Tidak bisa dibayangkan Flores saat ini jika misi Katolik tidak membuka sekolah di Flores,” katanya.
Strategi awal misi Katolik di Flores lebih fokus pada tiga faktor utama yakni membangun sekolah dan kursus, pelayanan kesehatan, dan membangun ekonomi (perkebunan, sekolah pertanian). Merunut sejarah, pada tahun 1862 didirikan sekolah dasar pertama di Larantuka; pada tahun 1874 didirikan sekolah dasar pertama di Maumere, di Sikka tahun 1884, di Koting tahun 1887 dan sekolah putri pertama di Maumere 1890. Tahun 1915 sekolah standard didirikan di Ndona; tahun 1920 didirikan Sekolah Normal Kursus di Ndona; tahun 1922 didirikan Sekolah Guru Normal Kursus di Lela (1952: SGB Ndona); tahun 1924: Ambachtschool (sekolah pertukangan) di Ende; tahun 1924 dikembangkan kursus ketrampilan putri di Jopu dan Ndona. Kemudian bermunculan sekolah rakyat (tahun 1932 terdapat 258 sekolah rakyat di seluruh Flores, ada 20.223 murid putra dan 7.318 murid putri; tiga normal kursus, enam sekolah standar, dan satu seminari menengah.

Pada tahun 1960-an muncul SMP dan SMA Katolik yang dibiayai oleh misi/umat (peningkatan standar pendidikan); tahun 1970-an muncul sekolah Inpres dan sekolah negeri yang serba gratis dan menjadi saingan pendidikan Katolik. Persaingan diperketat dengan adanya tuntutan standar profesionalitas yang makin tinggi (sarana, mutu guru, gaji, dan lain-lain). Sekolah Katolik semakin terpuruk karena kesulitan dana yang mengakibatkan kekurangan guru, sarana/prasarana, kelemahan manajerial.
Kehadiran sekolah-sekolah Katolik ini didukung pemerintahan Belanda melalui Flores-Sumba Regeling tahun 1913 yang mengijinkan Misi-Zending mendirikan sekolah dan pemerintah memberikan subsidi. Namun, hal ini dipandang tidak cukup. Umat Katolik mendukung dan mengambil bagian dalam membangun pendidikan di Flores dengan cara membayar pajak sekolah, membangun gedung, dan asrama termasuk rumah guru. Yang paling penting, katanya, para pendidikan (guru) punya idealisme untuk mendidik anak-anak Flores. “Saat itu guru-guru tidak berpikir soal gaji, soal fasilitas, tetapi mereka punya cita-cita bagaimana mendidik anak-anak Flores,” katanya.

Menurut Romo Feri, yang harus dilakukan sekarang adalah menciptakan center of excellence di Flores dengan memperbaiki mutu sekolah, termasuk dana, disiplin kerja, dan menciptakan sekolah unggul. Di samping itu perlu ada perbaikan iklim sosial di Flores yakni perbaikan etos kerja dan membangun solidaritas sosial termasuk solidaritas di bidang pendidikan sejalan dengan pembangunan yang berbasiskan masyarakat (community based development.

Romo Feri pada awal presentasinya yang berjudul “Pendidikan, Akses Masa Depan Anak Bangsa” mengupas soal tujuan pendidikan nasional yakni pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Konsili Vatikan II dalam Deklarasi tentang Pendidikan Kristen (Gravissimum Educationis #5) mengatakan, ” Berdasarkan tugasnya, sekolah membina bakat-bakat intelektual dengan perawatan yang tekun, mengembangkan kemampuan menilai dengan tepat, mengantar ke dalam warisan budaya yang diperoleh angkatan-angkatan terdahulu, mengembangkan kepekaan terhadap nilai-nilai, mempersiapkan kehidupan profesi, memupuk pergaulan yang akrab, yang melahirkan kesediaan untuk saling memahami.

Berdasarkan tugasnya, sekolah membina bakat-bakat intelektual dengan perawatan yang tekun, mengembangkan kemampuan menilai dengan tepat, mengantar ke dalam warisan budaya yang diperoleh angkatan-angkatan terdahulu, mengembangkan kepekaan terhadap nilai-nilai, mempersiapkan kehidupan profesi, memupuk pergaulan yang akrab, yang melahirkan kesediaan untuk saling memahami.

Menurut Kanon 795, pendidikan bertujuan membina anak-anak dan kaum muda untuk dapat mengembangkan bakat-bakat fisik, moral, dan intelektual mereka secara harmonis, agar mereka memperoleh rasa tanggung jawab yang lebih sempurna dan dapat menggunakan kebebasan mereka dengan benar, dan terbuka pula untuk berperan serta aktif dalam kehidupan sosial.

Sekolah sebenarnya masuk dalam salah satu faktor kunci dalam strategi pembangunan pemerintah, selain faktor ekonomi dan kesehatan. Tiga faktor kunci ini perlu ditunjang oleh stabilitas sosial dan politik, infrastruktur, sistem pasar, dan kebijakan fiskal. Bank Dunia dan pemerintah menambah satu variabel dalam pembangunan yakni keberlanjutan lingkungan hidup. Pada tahun 1994, ditambah satu lagi variabel yakni partisipasi dalam proses pengambilan keputusan atau kebijakan yang mempengaruhi hidup sosial.

Partisipasi. Itulah kata kuncinya. Zaman memang telah berubah. Menurut Romo Feri, kapitalisme dalam bidang pendidikan telah mempengaruhi pengelolaan pendidikan kita. Tidak terkecuali di Flores. Sekolah menjadi lahan bisnis sehingga muncul sekolah-sekolah elit, sekolah lokal, sekolah berstandar nasional atau internasional. Persaingan bisnis pendidikan mendorong semakin mahalnya biaya pendidikan, meski yang mahal belum tentu bermutu.

Dia bilang, dulu mutu pendidikan Flores menyamai mutu sekolah di Jawa dan bahkan Eropa. Tapi sekarang tamatan Flores menjadi underdog. Sekolah di Flores telah kehilangan kepercayaan karena mutu pengetahuan dan disiplin menurun. Individualisme bertumbuh subur di mana orang berjuang sendiri-sendiri, iklim hedonisme, disiplin longgar, etos kerja rendah. Masyarakat Flores yang miskin sudah tidak mungkin lagi bersaing dengan orang kaya di luar Flores.

Sukarkah membangun kembali semangat dan komitmen awal pendidikan di Flores? Kalau kita pesimistis, kita akan mengatakan sudah sangat sulit. Tetapi presentasi Hieronimus Pala yang judulnya “Mencerdaskan Kaum Miskin, Melalui Arisan Solidaritas” memberikan peserta sebuah gambaran lain bahwa kita bisa melakukannya. Hieronimus Pala dari Yayasan Tananua, sebuah lembaga swadaya masyarakat berbasis di Ende “sukses” mendorong dan membangun solidaritas pendidikan di Wolomuku, Kabupaten Ende.

Wolomuku, katanya, adalah sebuah daerah terisolasi, daerah terpencil. Tidak banyak orang menikmati pendidikan di jenjang yang lebih tinggi. Alasannya karena masyarakat miskin. Padahal daerah ini kaya akan komoditas perdagangan. Rendahnya budaya menabung ikut memperparah situasi. “Doi bhondo ngama bhanda”.

Memang sulit, katanya, ketika gerakan solidaritas di bidang pendidikan ini dimulai. Ada banyak kendala. Tetapi ada satu komitmen bersama yang dibangun bahwa masyarakat perlu membangun tanggung jawab bersama dalam menyekolahkan anak. Mereka perlu menciptakan kebersamaan. Setelah melewati semua kendala, dibentuklah Kelompok Arisan Solidaritas Pendidikan Tinggi Wolomuku.

Pada tahun pertama jumlah anggotanya hanya 36 orang. Tahun kedua 48 orang. Tahun ketiga 156 orang dan tahun keempat dan kelima 204 orang. Total dana hingga April 2009 sebesar Rp1.355.000. Dana yang terpakai Rp670 juta dan tertabung Rp685 juta.
Hieronimus Pala mendapatkan aplaus dari para peserta ketika dia menyajikan dampak dari arisan solidaritas pendidikan ini. Hingga 2009, sudah ada satu orang S2, sarjana 22 orang, Diploma III dua orang, dan Diploma II 16 orang. Sementara kuliah sarjana 26 orang, Diploma III satu orang, Diploma II 8 orang.

Kelompok arisan ini bertekad agar semua anak tamat sekolah dasar dan lulus melanjutkan sekolah ke sekolah menengah pertama. Semua lulus sekolah menengah pertama melanjutkan ke sekolah menengah atas dan semua lulusan sekolah menengah atas melanjutkan ke perguruan tinggi.

Bagaimana dengan Wolotopo? Yang mau dicapai dari pertemuan ini adalah bagaimana langkah konkret membangun solidaritas dalam bidang pendidikan. Bagaimana orang-orang Paroki Wolotopo menyiapkan kader dan generasi masa depan mereka melalui partisipasi aktif dalam membangun sumber daya manusia.

Untuk sampai pada sebuah komitmen bersama, Romo Herman Embuiru Wetu dari Yayasan Persekolahan Umat Katolik Ende-Lio (Yasukel) dan Kepala UPTD Dinas PPO Kecamatan Ndona Marselinus Dala memberikan data-data dan peta masalah yang tengah dihadapi sekolah-sekolah dasar dan sekolah menengah pertama di Paroki Wolotopo. Setelah sebelumnya Fransiskus Hapri, Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Ende memaparkan kebijakan pemerintah soal pendidikan.

Di wilayah Paroki Wolotopo, terdapat 11 sekolah terdiri dari satu taman kanak-kanak (TK St FX Wolotopo), delapan sekolah dasar (SDK Wolotopo 1, SDK Wolotopo 2, SD Inpres Wolotopo, SDK Ngalupolo, SD Inpres Ngalupolo, SDK Reka, SDK Wolokota, SDK Kekasewa), dan dua sekolah menengah (SMP Negeri 2 Ndona dan SMPK St Aloysius). Total jumlah siswa dari 11 sekolah ini 714 orang (laki-laki 371 dan perempuan 343 dengan tenaga guru 108 orang (laki-laki 41 orang dan perempuan 67 orang. Kisaran murid per sekolah antara 35-103 orang.

Siswa yang drop out sebanyak 215 orang terbanyak laki-laki 118 dan perempuan 97 orang. Drop out SMP/sederajat 70 orang, dan SMA/sederajat 44 orang.

Jumlah penduduk (minus Wolokota) berjumlah 4.053 jiwa (Katolik 3.737 dan Islam 316 jiwa). Sebagian besar penduduk adalah petani/tenun 1.672 jiwa, pegawai/guru 88 orang, pedagang 11 orang, dan lain-lain masih menganggur 780, dan dalam dalam bangku pendidikan mulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi 1.210 orang. Tidak tamat sekolah dasar 905 orang, tamat sekolah dasar 1.539 orang, tamat SMP/sederajat 257, tamat SMA/sederajat 339, dan tamat perguruan tinggi 52 orang.

Banyak masalah dikemukakan seperti tanggung jawab dan keterlibatan orang tua dalam pengelolaan pendidikan kurang, guru yang tidak profesional, tidak menguasai KTSP, bangunan dan sarana yang tidak memadai, mentalitas anak, dan sederetan masalah lainnya.

Romo Herman pada akhir presentasinya mengajak peserta untuk mulai mengubah cara pandang dengan cara melakukan saving untuk pendidikan dan mengurangi budaya pesta yang makan ongkos. “Sebanyak mungkin pesta sekolah, pesta nikah, sambut baru, dan urusan adat dialihkan dananya untuk pendidikan lanjut dan pola pikir kita berubah yakni saving untuk masa depan anak-cucu kita,” katanya. Dia bilang pertemuan Musdikat itu barangkali langkah awal bahwa kita mau membangun masa depan anak-anak kita.

Kultur orang Ende yang menekankan budaya gotong royong, gawi dijadikan filosopi dasar. Seperti gerak gawi, berpegang tangan, maju mundur bersama, sambil menginjak tanah sekuat tenaga, kita perlu membangun kebersamaan dalam pendidikan. “Kita tidak memberikan dari kelebihan, tetapi dari kekurangan asalkan bersama-sama,” ajaknya. Dia menyitir pepatah tua: “Tidak ada orang yang begitu miskin sampai tidak bisa memberi dan tidak ada orang yang begitu kaya sampai tidak bisa menerima lagi.”

Seluruh presentasi selesai. Emanuel Laba, moderator pada sesi dialog memberi kesempatan kepada peserta bertanya sebelum masuk ke sesi diskusi kelompok. Ada banyak masuk terutama dari orang-orang Wolotopo yang ada di Kota Ende.

Piet Puli lalu membacakan tiga pertanyaan pokok diskusi. Peserta dibagi ke dalam kelompok stasi masing-masing. Ada peserta yang jumlahnya tidak sampai sepuluh. Ada yang lebih banyak. Tetapi peserta diskusi tetap bersemangat. Sejauh yang saya perhatikan diskusi melebar ke sana kemari. Terjadi perdebatan serius tetapi tidak terfokus. Hal itu dapat kita lihat juga dari laporan hasil diskusi, yang hampir semua kelompok menyebutkan masalah yang sama. Ada sederetan masalah dan solusi. Tetapi kurang tampak bagaimana membangun strategi kebersamaan untuk mengatasi masalah solidaritas dalam pendidikan.

Bersamaan dengan itu matahari terus menurun di balik bukit. Peserta sudah ada yang mulai bergegas. Pada sesi Rencana Tindak Lanjut (RTL), semangat mulai kendur.
Kelompok-kelompok diskusi tidak lagi terkonsentrasi. Ada kelompok yang beralasan setelah kembali dari pertemuan mereka baru bicarakan bersama dengan komunitas masing-masing. Disepakati Oktober mendatang, utusan dari stasi-stasi ini kembali berkumpul untuk mengevaluasi Rencana Tindak Lanjut yang telah disepakati.

Pertemuan sehari penuh itu melelahkan. Tetapi jumlah peserta yang hadir yang cukup banyak membesarkan hati kita. Kita akhirnya mengerti bahwa betapa susah membawa kembali sekolah-sekolah kita ke tengah kampung-kampung kita. Politik pendidikan negara dengan menyingkirkan keterlibatan masyarakat (kampung) dalam pengelolaan sekolah kita telah mengalienasi masyarakat kita dari rasa tanggung jawab. Politik pendidikan negara telah memanjakan masyarakat dan secara sistematis menciptakan apatisme.

Tidak mudah bagi kita kemudian untuk menemukan kembali jejak kebersamaan dalam membangun sekolah-sekolah di Flores. Kita pernah membuktikan bahwa keterlibatan masyarakat dalam membangun sekolah telah menghasilkan manusia Flores yang bermutu di masa lalu. Kita bisa bersaing di kancah nasional sejak awal kemerdekaan. Kita pernah menghasilkan guru-guru yang bermutu. Kita pernah melahirkan tokoh-tokoh penggerak pembangunan Flores. Kita pernah menghasilkan tokoh-tokoh pembaru dan agen perubahan sosial yang andal. Kita pernah memperlihatkan bahwa Flores, sebuah daerah periferi dalam politik nasional, ikut menyumbangkan sesuatu bagi kepentingan nasional. Dari nusa bunga untuk nusantara.

Namun, justru kita sendiri yang menguburkan semua kasanah lokal kita. Kita lupa akan apa yang pernah kita capai. Sekarang kita menemukan kembali semangat itu dan kembali membawa sekolah-sekolah kita ke tengah kampung sehingga “untuk satu anak, seluruh kampung ikut terlibat”.


Flores Pos | Feature | Pendidikan
6-9 Juni 2009

Tidak ada komentar: