26 Maret 2009

Kerawam Kevikepan Kumpulkan Para Caleg

Oleh Frans Obon

KOMISI Kerasulan Awam Kevikepan Ende, Keuskupan Agung Ende mengumpulkan calon anggota legislatif (caleg) dari tiga paroki di Kota Ende yakni Paroki Onekore, Katedral dan Mautapaga untuk menyeringkan motivasi dan komitmen mereka dalam Pemilu Legislatif 2009.

Pertemuan ini sekaligus sebuah ikrar untuk mengutamakan kepentingan umum (bonum commune) sebagai tujuan asali dari praksis berpolitik, memperjuangkan kebaikan bersama, dan menciptakan pemerintahan yang bersih dan kontrol DPRD yang sehat demi membangun demokrasi yang lebih kuat.

Pertemuan di aula Paroki Mautapaga, Sabtu (15/3) itu dipimpin Ketua Komisi Kerawam Kevikepan Ende Romo Stef Wolo Itu Pr dan moderator Ketua Komisi Kerawam Keuskupan Agung Ende Yosef Nganggo. Acara diawali dengan doa dan renungan singkat, yang dibawakan Romo Stef Wolo Itu. Tuan rumah pertemuan Pastor Paroki Mautapaga Romo Klemens Soa Pr memfasilitasi pertemuan ini dengan cukup rapi.

Romo Klemens mengatakan buah yang dapat dipetik dari pertemuan ini adalah tiga M yakni mengenal diri dan masyarakat untuk membangkitkan semangat baru dalam berpolitik; melayani dan memperjuangkan aspirasi masyarakat; dan membagikan sesuatu kepada rakyat yang telah memilih kita yakni membagi dan mendedikasikan diri bagi kepentingan rakyat.

Romo Stef Wolo Itu lalu mengantar peserta pertemuan dalam renungan singkat yang diambil dari Injil Matius tentang Garam dan Terang. Dia bilang para politisi dipanggil untuk menjadi garam dan terang. Garam umumnya dipakai agar ikan dan daging tidak membusuk. Garam memberikan cita rasa. “Di kalangan kaum muda bilang, hidup tanpa cinta ibarat sayur tanpa garam”. Dalam dunia Yunani garam adalah lambang mengusir setan. “Orang kita juga bakar garam untuk usir setan”. Sedangkan terang membuka tabir kegelapan.

Karenanya Romo Stef mengajak politisi Katolik untuk berdiri di tengah kepentingan publik sebagai garam dan terang dunia. “Kita mesti memberikan cita rasa pada politik. Gereja terus menerus mengingatkan bahwa tujuan politik adalah untuk kepentingan banyak orang. Gereja selalu menuntut agar komitmen perjuangan rasul awam adalah demi kepentingan masyarakat luas dan kepentingan banyak orang”.

Usai acara pembukaan para calon anggota legislatif dibagi per paroki duduk sederetan dengan moderator menyampaikan motivasi dan komitmen mereka untuk bertarung dalam pemilu legislatif. Satu per satu mereka menyampaikan visi, misi, dan komitmen jika terpilih menjadi anggota DPRD.

Umumnya para calon menegaskan bahwa mereka akan memperjuangkan kepentingan masyarakat, memerangi kemiskinan, mengutamakan orang-orang marjinal, menegakkan hukum dan hak asasi manusia, dan mengontrol dan mereformasi birokrasi sehingga terbentuk pemerintahan yang bersih, pemekaran wilayah (kecamatan dan kabupaten), perbaikan nasib guru, orientasi pembangunan yang memihak rakyat, anggaran publik yang lebih besar, rakyat diberdayakan bukan diperdayakan, mengunjungi desa-desa, perjuangkan nasib umat, ekonomi, transportasi, dan pendidikan, good governance dan penegakan HAM, mendorong usaka kecil dan gerakan koperasi, dan ketersediaan pangan.

Panelis pertemuan Romo Sipri Sadipun memberikan beberapa catatan kritis sekaligus menanggapi, mempertajam visi, misi, dan komitmen para calon.

Romo Sipri menilai para caleg hanya bicara secara umum, tidak secara spesifik menyebutkan apa masalahnya, bagaimana solusinya, siapa-siapa yang terlibat. Misal calon menyebutkan memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) tapi tidak disebutkan siapa pelakunya (DPRD, pemerintah atau masyarakat). “Pihak mana, tidak disebutkan secara jelas”.

Meski begitu, ada tiga bidang utama yang menjadi fokus perhatian caleg yakni pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Namun, tidak sedikit calon yang tidak fokus menyebutkan langkah-langkah konkret mewujudkan visi dan misi tersebut. Misalnya, di bidang pendidikan. Mesti disebutkan standar pendidikan yang bermutu itu seperti apa. Bidang kesehatan, standar pelayanan kesehatan yang baik itu seperti apa? Demikian pula KKN (DPRD, pemerintah atau masyarakat).

Para calon menyebutkan bahwa tugas DPRD itu adalah mengontrol. Namun dalam praktiknya selama ini fungsi kontrol ini tidak bisa dilakukan. “Ada yang beralasan karena hanya saya sendiri yang bersuara. Saya bertanya, Anda perlu berapa suara”. Menurut Ketua Komisi PSE Keuskupan Agung Ende ini, yang harus diperkuat adalah kontrol masyarakat. “Demokrasi yang sehat adalah rakyat yang harus kuat. Ini berkaitan dengan kontrol sosial,” katanya.

Masalahnya, “bagaimana mendidik masyarakat agar mereka bisa kritis. Mesti ada pendidikan kritis. Selama ini rakyat jadi objek, bukan subjek pembangunan”.

Demikian pula DPRD itu tidak berdaya sehingga tidak bisa melakukan fungsi kontrolnya. “Itu kenapa?” Di bidang birokrasi, prinsip profesional itu tidak diterapkan dengan baik. “Jangan sampai pertimbangan politik lebih kuat daripada pertimbangan rasional”.

Romo Sipri juga mengatakan, kita lebih banyak memperhatikan kemajuan fisik tapi mengalami kemunduran dalam etika dan moral. Pembangunan mental justru mundur. “Kemiskinan berkaitan pula dengan mental (state of mind), cara berpikir dan perilaku masyarakat”.

Menurut dia, fungsi kontrol itu tidak berjalan atau lemah, karena masyarakat sendiri tidak kuat. Hal itu tampak ketika peran kontrol DPRD itu lemah, maka hampir kontrol terhadap pemerintah menjadi lemah, atau sebaliknya ketika DPRD tidak menjalankan fungsi kontrolnya, maka kontrol masyarakat terhadap DPRD tidak ada.

Lemahnya kontrol DPRD itu, kata Romo Sipri, karena tidak bertumbuhnya etika tanggung jawab. Dalam masalah proyek, misalnya DPRD tidak bisa melakukan kontrol karena Dewan terlibat dalam proyek. “Di sini mesti dikembangkan dua etika yakni etika tanggung jawab (ethics of care) dan ethics of right”.

Dia contohkan, orang tidak saja cukup diminta pertanggungjawabannya ketika sesuatu terjadi, tetapi tanggung jawab sebelum hal tersebut terjadi. Orang tidak saja diminta pertanggungjawabannya ketika piring pecah (dia diminta mengganti piring tersebut), tetapi dia punya tanggung jawab menjaga agar piring itu tidak pecah. Etika tanggung jawab inilah yang tidak kita miliki sehingga kontrol terhadap sepak terjang penggunaan dan pelaksanaan kekuasaan tidak muncul. “Kompromi-kompromi lahir karena tidak adanya etika tanggung jawab ini”.

Yang menarik adalah utusan Dewan Pastoral Paroki (DPP) juga diberikan kesempatan untuk memberikan saran.

Martinus Mari dari DPP Onekore dengan sangat tegas mengatakan, “Kita diobok-obok karena kita gampang dibeli dengan uang”.

Niko Ngaga dari Mautapaga meminta pra caleg untuk tetap memperjuangkan Bhineka Tunggal Ika dalam kerangka kesatuan negara Republik Indonesia.

Laurens Lado minta para caleg memperhatikan lagi Perda Tata Ruang Kota agar ada pengaturan yang lebib baik rumah-rumah warga sehingga ada lorong-lorong masuk yang lebih leluasa kendaraan masuk. “Ada orang sakit jantung meninggal sebelum sampai di rumah sakit karena lorong yang sempit. Orang masih putar-putar dan dia meninggal sebelum mencapai kendaraan”.

Nika Sino dari Onekore mengatakan, birokrat adalah orang-orang profesional sehingga calon harus terus menerus membenahi dan membarui diri. Profesionalisme ini yang membuat DPRD bisa melakukan perbaikan terhadap birokrasi.

Niko juga bilang anggota Dewan itu biasanya hanya enam bulan pertama bersuara keras, tetapi setelah itu lebih banyak diam. “Kalau sudah masuk diam”. Dia bilang pada saat setelah sesi tersebut bahwa anggota Dewan harus bisa mengendalikan dan “tidak mengemis uang perjalanan dinas di dinas-dinas”.

Usai sesi tanggapan panelis, para calon kembali diberi kesempatan untuk menanggapi apa yang disampaikan panelis. Kembali mereka dibagi menurut paroki. Karena keterbatasan waktu (3 menit tiap orang), tanggapan para caleg tidak terlihat spesifik. Malah menegaskan lagi apa yang telah disampaikan sebelumnya.

Panelis Romo Sipri memberikan tanggapan akhirnya. Kemiskinan merupakan masalah akut bagi masyarakat. Angka tidak tamat sekolah masih tinggi, yang tamat sekolah dasar juga demikian. Tamatan perguruan tinggi hanya 1 persen lebih.

“DPRD harus mendorong menghidupkan forum-forum di masyarakat sebagai tempat membangun sikap kritis. Sikap kritis itu penting untuk pembangunan yang lebih baik.”
Pertemuan “persaudaraan pastoral ini” begitu kata Romo Stef, dirasa baik sebagai tempat sharing komitmen dan menemukan masalah bersama sehingga tercipta semangat untuk memerangi kemiskinan, keterbelakangan, dan keapatisan masyarakat. Pertemuan ini dianggap penting sehingga ada calon yang mengusulkan agar pertemuan serupa tidak saja sebelum Pemilu melainkan digelar juga untuk para calon yang terpilih.*

Tidak ada komentar: