25 Maret 2009

Jangan Salah Pilih

Oleh Frans Obon

JANGAN SALAH PILIH! Begitu judul Surat Gembala Uskup Agung Ende, Mgr Vincentius Sensi Potokota pada masa puasa tahun 2009 ini. Surat gembala ini diterbitkan di Ndona pada awal Maret. Surat gembala ini ditutup dengan kalimat ini: Ingat! Jangan Salah Pilih!

Umumnya seorang uskup menerbitkan surat gembala untuk memaknai, memberi pedoman, menjadi bahan refleksi bagi umat Katolik dalam menyikapi sesuatu. Temanya bermacam-macam, amat tergantung pada situasi setempat. Tiap keuskupan punya fokus masing-masing dan secara otonom menentukan sikap dalam hal menanggapi suatu masalah tertentu.

Surat gembala disiarkan dan dibacakan di paroki-paroki serta dipublikasikan pada media massa. Tujuannya agar umat Katolik dan orang yang berkehendak baik atau orang-orang yang punya keprihatinan yang sama (publik) tahu bagaimana sikap hirarki Gereja Katolik terhadap suatu masalah yang tengah dihadapi oleh umat. Tidak ada unsur paksaan di sana, melainkan lebih-lebih sebagai ajakan, sebagai bahan renungan bersama, sebagai penunjuk jalan dalam bersikap.

Tahun ini, yang disebut oleh banyak kalangan tahun politik, Uskup Agung Ende membicarakan soal penggunaan hak pilih masyarakat. Baik dalam memilih anggota legislatif mulai dari anggota parlemen daerah hingga anggota parlemen nasional maupun dalam memilih presiden dan wakil presiden.

Uskup tidak menyebutkan orang-orang tertentu atau menyebut partai tertentu. Tidak ada arahan untuk memilih orang atau partai tertentu. Tiap orang boleh memilih kendaraan politiknya. Ada kebebasan bagi tiap orang untuk memilih kendaraan politik. Malah Gereja mendorong orang-orang Katolik untuk terlibat penuh dalam aktivitas politik dalam kehidupan masyarakat dan kehidupan bernegara, serta berusaha memperjuangkan kepentingan umum (bonum commune). Politik diabdikan seutuhnya bagi kesejahteraan masyarakat. Gereja mengkritik keras praktik politik yang hanya mementingkan golongan dan kelompok tertentu. Ini berkaitan erat dengan hakikat politik yang sejatinya bertujuan menyempurnakan terus menerus kondisi kehidupan manusia.

Bagi Gereja Katolik sendiri, demokrasi adalah suatu sistem yang perlu diuji terus menerus dan perlu diperbaiki pelaksanaannya demi kebaikan dan kesejahteraan bersama. Demokrasi dalam pandangan Gereja Katolik memberikan kemungkinan bagi warga negara berpartisipasi dalam menentukan kebijakan publik negara. Rakyat diberi kesempatan untuk memilih para pemimpin dan sekaligus meminta pertanggungjawaban dari mereka. Dengan demikian Pemilu sebagai media memilih pemimpin mesti pula dimaknai secara bertanggung jawab.

Dokumen Centisimus Annus dari Paus Yohanes Paulus II, artikel 46 menyebutkan: “Gereja menghargai sistem demokrasi karena membuka wewenang yang lebih luas bagi warga negara untuk berperan serta dalam penentuan kebijakan-kebijakan politik, lagi pula memberi peluang bagi rakyat bawahan untuk memilih para pemimpin, tetapi juga meminta pertanggungjawaban dari mereka dan – bila itu memang sudah selayaknya – menggantikan mereka melalui cara-cara damai”.

Karenanya keterlibatan orang-orang Katolik di dalam politik kesejahteraan bersama itu dilihat sebagai “panggilan” yang berat namun mulia. Gereja berpendapat bahwa orang-orang yang terlibat di dalam aktivitias politik sebagai medan karya adalah “orang-orang yang memiliki integritas moral dan kebijaksanaan”. Mereka harus berani menentang setiap bentuk ketidakadilan dan penindasan, melawan kesewenang-wenangan dan intoleransi terhadap kelompok lain. Panggilan berpolitik itu harus diresapi oleh iman agar motivasi berpolitik selalu kembali kepada asalinya yakni memperjuangkan kepentingan dan kebaikan umum.

Dalam kerangka politik sebagai panggilan itu, Uskup Agung Ende Mgr Vincentius Sensi Potokota menilai bahwa pemilihan umum “menjadi kesempatan untuk memberikan kesaksian tentang kebenaran, kejujuran, dan kebajikan-kebajikan kristiani, sambil menghindarkan diri dari sikap egoisme, kelompokisme, dan pragmatisme sempit”.

Uskup Sensi mulai refleksinya dengan seruan pertobatan. Nilai kejujuran, kebenaran, dan menghindarkan diri dari egosime kelompok dan pragmatisme sempit dilihat sebagai “buah rahmat retret agung prapaskah”.

“Koyaklah hatimu dan jangan pakaianmu, berbaliklah kepada Tuhan, Allahmu” kata Nabi Yoel (Yoel 2:13a). Pembaruan diri itu terpusat pada pembaruan hati. Pembalikan arah (metanoia) itu tak saja secara lahiriah, tapi perubahan hati sebagai inti diri. Karena “segala yang jahat” bersumber di dalam hati (Matius 15:18). Pertobatan hati ini sama dengan memberi ruang bagi fungsi hati nurani yang murni. “Proses pemurnian batin inilah yang kiranya menjadi sumber ilham bagi kita dalam menentukan pilihan pada saat pemilu,” kata Uskup.

Uskup minta umat Katolik menghargai perbedaan dan pilihan politik serta “mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi atau kelompok”.

Tapi Uskup khawatir dengan sikap memilih yang tidak bijaksana dan tidak cerdas sehingga tidak mampu memilih pemimpin atau wakil rakyat yang berkualitas. Padahal orang-orang yang kita pilih ini yang akan menentukan kebijakan publik. Kebingungan dalam memilih partai dan calon yang begini banyak diperburuk dengan sistem rekrutmen di partai politik yang mengabaikan kompetensi.

Ada dua sikap yang menghambat demokrasi yakni sikap eksklusif (tertutup) dan pragmatis. Pertama, sikap eksklusif yang mementingkan “orang saya” dan mengabaikan calon yang berkualitas. Kita akhirnya jadi pemilih yang irasional, emosional, dan primordial. Kedua, prinsip pragmatis yang mengutamakan kepentingan ekonomis. Uskup bilang, keuntungan ekonomis yang dinikmati para anggota legislatif selama ini telah mendorong lebih banyak orang untuk mencalonkan diri menjadi anggota legislatif. Di sisi lain kondisi yang sama menciptakan prinsip pragmatis di kalangan pemilih. Ada segelintir orang dengan gampang menjual suara dengan pelbagai bentuk imbalan atau janji. “Orang cenderung pragmatis: daripada mendapat janji yang belum pasti, lebih baik menerima dulu sebelum memilih”.

Pilihan rasional, kata Uskup, adalah sebuah tuntutan moral dan tuntutan situasi saat ini. Situasi krisis telah menuntut kita untuk memilih pemimpin berkualitas dan memiliki integritas diri. Uskup menyebutkan tiga kriteria calon: kompeten yakni kemampuan intelektual untuk membaca kebutuhan masyarakat dan menentukan kebijakan publik; karakter yakni sikap moral pribadi yang terpuji, yang dapat diketahui dari rekam jejak (track record) calon; komitmen yakni konsisten berpegang pada prinsip kebenaran dan keberanian untuk memperjuangkan kepentingan banyak orang di atas kepentingan pribadi dan golongan serta menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Uskup menyebutkan bahwa Gereja Katolik juga punya tanggung jawab untuk memberikan pendidikan politik dan terpanggil untuk menjamin ketertiban politik. Baru pada pemilu kali ini, keuskupan mengajak para pastor dan dewan pastoral paroki dan organisasi-organisasi Katolik dan semua organisasi masyarakat yang peduli dengan pendidikan politik untuk menyediakan ajang bagi para kandidat tampil dan berbicara di depan publik. Dari ajang itu pemilih bisa kenal dan tahu kemampuan, karakter dan komitmen para calon dalam memperjuangkan kepentingan umum.

Ajakan itu membuahkan beberapa pertemuan yang digelar di paroki-paroki atau forum-forum tingkat kampung. Sebagian diselenggarakan di kota-kota. Awal Maret Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia menggelar talk show radio menghadirkan 8 calon dari delapan partai politik. Komisi Kerasulan Awam Katolik Kevikepan Ende menggelar pertemuan para calon anggota legislatif di aula Paroki Mautapaga. Masih banyak forum diskusi lainnya di paroki dan kampung-kampung. Inilah medium yang dapat membantu pemilih menentukan pilihannya.

Antusiasme warga untuk mengikuti pertemuan ini cukup tinggi. Dari beberapa teman pastor saya dapatkan informasi bahwa usai diskusi, warga langsung punya gambaran mengenai calon yang akan mereka pilih. Bahkan ada yang mengatakan, “Kami akan memilih Anda”.

Apakah kemudian banyak warga yang akan memilih berdasarkan kemampuan (kapabilitas) calon atau masih terikat pada hubungan emosional suku, etnis dan agama, tentu masih merupakan masalah krusial dalam pemilu Indonesia. Ini batu besar masalah yang membutuhkan banyak orang untuk menggulingkannya.

Tidak ada komentar: