24 Maret 2009

Alumni STFK Ledalero

Oleh Frans Obon

MINGGU, 22 Maret 2009, beberapa orang alumni Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero berkumpul di gedung milik Suster Ursulin di Jln Wirajaya Ende. Ada Piet Puli, Alo Belawa Kelen, Frans Obon, Benyamin Ndaeng, Alex Reba, Yoseph Jarawaru, Alex Radja Seko, Gildus, Ambros Sewe dan Abdon Boli Wuwur. Yang lainnya belum sempat hadir karena kesibukan. Jumlah alumni STFK Ledalero di Ende sekitar 33 orang. Mungkin saja lebih dari itu. Belum terdaftar semua. Ini baru deretan para awam. Belum dihitung para pastor.

Tiap alumni mendapat sepucuk surat dari Pater Konrad Kebung Beoang SVD dan Pater Yanuarius Lobo SVD (bekas prefek saya di tingkat V). Isinya agar alumni STFK Ledalero “melihat kembali” almamaternya. Sumbangan alumni bisa macam-macam rupa: pikiran, finansial, doa, dan segala macamnya untuk kepentingan pengembangan sekolah tinggi filsafat ini ke depan.

Tanggal 22-23 Mei nanti ada pertemuan (sharing) para alumni di Ledalero. Pertemuan ini dalam rangka usia 40 tahun Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Kesempatan ini akan menjadi begitu penting untuk merasakan kembali denyut kehidupan almamater, sumbangannya bagi pembentukan jati diri alumni, dan momen merasakan bersama Gereja (sentire cum ecclesiae) apa yang menjadi kecemasannya, apa yang menjadi harapannya, dan apa yang menjadi impiannya ke masa depan untuk membentuk generasi baru di Flores.

Gagasan menyatukan alumni yang tersebar di mana-mana dan dalam bidang karya masing-masing disambut baik. Peserta pertemuan punya kata yang sama: Ledalero telah memberi kita dan apa yang dapat kita berikan untuk Ledalero. Dia ibarat ibu yang telah melahirkan anak-anaknya tanpa menuntut banyak bakti dari anak-anaknya. Alumninya telah dimatangkan oleh matahari dari ufuk timur yang bersandar di bukit Ledalero. Ibarat komoditas yang dipanen dengan matang, dijemur di bawah terik matahari. Hanya ada satu tujuan: menghasilkan “komoditas yang berkualitas”. Kualitas mungkin relatif. Tergantung pada penerimaan masing-masing orang. Segala sesuatunya diterima menurut cara si penerima dengan segala keunikan dan keterbatasannya. Dia ibarat talenta yang dibagikan: masing-masing orang menggenggam talenta menurut kemampuannya. Dia keluar dari Ledalero dengan talenta di tangan. Dia tanamkan itu di tempatnya masing-masing sehingga menghasilkan buah kebaikan di lingkungan sekitarnya.
Bisa juga ibarat benih. Ada yang jatuh di tanah yang subur. Ada yang setengah subur. Bahkan ada yang tumbuh di antara ilalang. Semua itu telah mewarnai kehidupan alumni Ledalero.

Tiap orang punya pengalamannya sendiri bagaimana dia meninggalkan Ledalero. Apa alasannya. Apa pula impiannya. Ke mana dia akan mencari tantangan baru. Ke mana perahu hendak berlayar. “Oh bayu senja, hembusan sang Ilahi. Bawa bidukku ke tepian yang cerah. Pantai umat tebusan” begitu lagu yang tiap kali menggema di Ledalero ketika para frater merayakan ekaristi.

Kita telah menerima dari Ledalero. Lalu, apa yang dapat kita berikan ke Ledalero. Ini satu pertanyaan penting. Menggema di hati tiap alumni. Tidak ada yang muluk-muluk.

Mungkin kita masih ingat mantan Gubernur NTT Herman Musakabe. Dia mengkampanyekan gerakan cinta almamater. Satu dari tujuh program strategisnya adalah meningkatkan sumber daya manusia NTT. Salah satu institusi yang melahirkan sumber daya manusia itu adalah institusi pendidikan. Pilihan ini adalah pilihan mendasar yang juga dilakukan oleh Gereja Katolik di Nusa Tenggara. Tiga bidang utama yang menjadi perhatian Gereja: pendidikan, kesehatan dan ekonomi.

Ketika masih kecil, kampung saya yang berada di jalur Reo-Ruteng, Manggarai saya selalu mendengar nama beken Suster Virgula SSpS dari Cancar. Dari kampung ke kampung dia bersama tim medisnya melayani dengan sungguh, sabar dan tekun penduduk-penduduk miskin di pedesaan. Dia ditunggu-tunggu oleh orang-orang yang mau mendapatkan pelayanan kesehatan. Banyak para pastor juga tidak hanya melayani misa di paroki dan berdoa secara pribadi untuk mencapai kekudusan pribadi, tapi melayani umat dengan sekuat tenaga dalam hal ekonomi dan pendidikan. Mereka berjalan kaki dari sekolah ke sekolah. Sekolah menjadi medan karya pastoral yang bagus. Mereka membangkitkan swadaya umat untuk berpartisipasi dalam membangun pendidikan.

Sudah sejak awal Gereja menyadari arti penting gender. Gereja membuka sekolah untuk putri-putri Flores. Memberi mereka kesempatan yang sama seperti laki-laki untuk mengenyam pendidikan dan menguasai keterampilan. Kita ingat SKKP. Sekolah-sekolah yang dikhususkan bagi putri.

Gereja Katolik memperkenalkan cara baru dalam pertanian. Bersama awam Katolik, Gereja Katolik membuka sekolah pertanian di Boawae. Sekarang tamatan sekolah ini banyak menjadi tenaga penyuluh lapangan (PPL) di birokrasi pemerintahan. Sampai sekarang sekolah itu masih aktif memproduksi tenaga terampil di bidang pertanian. Saya baru kembali dari sekolah tersebut dua hari lalu. Jumlah muridnya 400 orang. Datang dari berbagai daerah di NTT.

Sekarang banyak orang yang telah menikmati usaha ini, mengkritik model pendekatan pastoral ini dengan mengatakan, “pastor sak semen”. Kritikan ini mungkin ingin menekankan adanya proporsionalitas di dalam karya antara pewartaan iman dan pembangunan ekonomi. Namun di balik usaha itu, tampaknya ada keprihatinan mendalam dari para pastor mengenai kehidupan ekonomi umat. Kalau mau cari enak dan mau mencari kekudusan pribadi, duduk saja di pastoran, Menunggu orang datang. Atau pergi kunjung umat di stasi, kampung, atau sekolah-sekolah. Tapi banyak pastor tidak mau tidur nyenyak di pastoran. Mereka gelisah dengan kondisi ekonomi umat, kondisi kesehatan umat dan pola hidup umat. Mereka melakukan sesuatu. Mereka memberikan apa yang mereka bisa berikan. Tanpa menuntut lebih dari umat. Dan sampai sekarang banyak imam yang selalu gelisah melihat situasi umatnya.

Kita telah menerima semua itu dari tangan imam. Saya tidak ingin katakan semua hal mereka kerjakan untuk kita. Tapi mereka mengambil peran di bidang yang strategis, yang jadi simpul, yang bisa menggerakkan sesuatu. Saya kira mereka juga tidak berambisi jadi manusia super. Mereka miliki itu semua dalam “sebuah bejana tanah liat”. Namun mereka mempertaruhkan hidup mereka, mendedikikasi diri untuk kepentingan umat.

Kalau kita mengharapkan “persembahan” imam itu kepada umatnya baik dan bermutu, maka kita juga tidak bisa hanya ingin menerima buah yang baik, tanpa ikut ambil bagian dalam menanam dan menyiram. Paulus menanam, Apolos menyiram. Karenanya kita perlu ambil bagian di dalam proses mendidik para imam itu.

Dalam perayaan mengenang 100 tahun meninggalnya Santo Arnold Janssen, pendiri Serikat Sabda Allah (Societas Verbi Divini) di aula Biara Bruder Santo Konradus Ende, 15 Januari 2009 lalu, Uskup Agung Ende Mgr Vincentius Sensi Potokota mengatakan dengan jelas bahwa umat Katolik Flores berbangga dengan mengirim banyak misionaris ke luar negeri. Sampai saat ini sekitar 200 imam dan bruder dari Serikat Sabda Allah bekerja di lima benua. Belum termasuk suster-suster SSpS dari Flores. Panggilan yang subur ini tidak terlepas dari devosi-devosi yang benar yang diwariskan serikat ini kepada umat Katolik Flores.

Namun Uskup Agung ini juga mengajak – dia sebut sebagai lontaran gagasan – umat Katolik Flores untuk memikirkan dan membahas di dalam komunitas basis apa yang dapat disumbangkan umat Katolik Flores untuk kepentingan para misionaris ini. Menolong dan membantu kesulitan mereka di tanah-tanah misi.

Ajakan ini sudah mulai menyata. Dalam pertemuan kami Minggu 22 Maret 2009 itu, Piet Puli bilang Dewan Pastoral Paroki Onekore sudah menyetujui bahwa sebagian dari derma umat di Paroki ini disumbangkan bagi lembaga pendidikan calon imam tersebut. Saya kira ini berita bagus bahwa umat diajak untuk ikut bertanggung jawab. Karena yang dididik di lembaga itu adalah putra-putra mereka juga.

Alumni STFK Ledalero dan sebuah permintaan kecil dari almamater dalam rangka 40 tahun sekolah ini dapatlah dilihat dalam konteks keterlibatan di dalam proses pembentukan imam untuk menjawabi kebutuhan manusia modern saat ini. Imam-imam Katolik harus bisa menjawabi tuntutan zaman. Dia tidak boleh menarik diri dari peradaban modern. Tapi di masuk di dalamnya dan mengambil peran untuk mengarahkan perubahan itu di dalam terang Sabda Allah.

Kita boleh mengatakan, para imam tidak hanya manusia baru di dalam Kristus tapi manusia baru di dalam menghadapi tantangan zaman. Kemampuan mengelola arus zaman agar perahu kebaikan dan keadilan bersama itu tidak oleng kemoleng (meminjam istilah Pater Ozias Fernandes SVD saat masih kuliah dulu) menuju kebatilan. Tapi perahu dibawa oleh embusan Ilahi menuju kebaikan bersama (bonum commune). Dengan ini hendak saya katakan bahwa mungkin tidak terlalu fair jika kita menuntut pemberian yang terbaik dari almamater tanpa peduli dengan kondisi lembaga. Kita mengharapkan hasil cetak yang baik dan bermutu tapi masih menggunakan mesin tua.

Alumni berada dalam satu wadah bukan saja untuk kepentingan dapur pendidikan imam. Tapi juga kepentingan para alumni itu sendiri. Mereka adalah buah yang bisa dipetik dari panti pendidikan imam tersebut. Mereka juga agen pastoral yang mesti memberi citra positif bagi perkembangan masyarakat.

Saat ini sudah banyak alumni Ledalero berada di dalam birokrasi, di sektor swasta dan sudah ada pula yang berada pada posisi-posisi strategis yang bisa mengarahkan perubahan di dalam masyarakat. Tantangan yang tidak ringan adalah bagaimana memberikan citra positif pada perkembangan masyarakat. Dalam hal apa saja. Terutama kebutuhan politik riil di Flores sekarang yakni perlunya nilai-nilai dan moralitas dalam berpolitik. Bagaimana politik diabdikan bagi kepentingan rakyat banyak. Bagaimana politik tidak merusak martabat manusia. Tidak merusak lingkungan alam dan lingkungan sosial. Dalam bahasa Injil, bagaimana mereka menjadi garam dan terang dunia. “Kalau garam jadi tawar, dengan apa ia akan diasinkan”. Jika lampu diletakkan di bawah kaki dian, dia tidak bisa dilihat orang. Pelita harus ditempatkan di atas kaki dian agar semua orang bisa melihatnya.

Berada dalam jaringan alumni tidak lain ingin memperbesar jaringan kerja sama agar memberi warna pada kehidupan sosial politik dan budaya di Flores. Alumni adalah buah yang dipetik dari tempat bersandarnya matahari: Ledalero.

Tidak ada komentar: