Oleh FRANS OBON
Penyandang cacat menuntut persamaaan hak dan pekerjaan yang layak sesuai kemampuannya.
AHMAD YANI duduk sederet dengan dokter Ellya Dewi dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Ende, anggota DPRD Ende Antonius Yohanes Bata, Direktur Flores Institute for Resources Development (FIRD) Ronny So, dan Redaktur Pelaksana Flores Pos, Frans Obon sebagai moderator. Ahmad Yani adalah seorang penyandang cacat. Seorang penjahit di kota Ende. Dia tidak pernah membayangkan bahwa suatu kesempatan dia akan menjadi narasumber dalam sebuah diskusi.
Sehari menjelang Hari Penyandang Cacat sedunia, 3 Desember, FIRD dan Harian Flores Pos bikin diskusi bersama mengenai penyandang cacat. Temanya, “Martabat dan Keadilan untuk Semua dari Kita” (Dignity and Justice for All of Us)”. Acara dilangsungkan di aula Bung Karno Penerbit Nusa Indah Ende di Jln El Tari, Selasa 2 Desember. Keesokannya FIRD, dengan dukungan terre des hommes sebuah lembaga swadaya masyarakat berbasis Jakarta dan Forum Peduli Penyandang Cacat Kabupaten Ende gelar seminar sehari di gedung Baranuri. Malamnya ada pentas budaya oleh anak-anak cacat.
Ahmad Yani menceritakan pengalamannya sejak kecil. Bertumbuh sebagai seorang anak cacat punya beban. Namun dia mendapatkan kekuatan dari orang tuanya agar dia tidak putus asa. Dia punya kesempatan seperti anak-anak lainnya. Kakinya yang cacat – karenanya harus menggunakan tongkat kayu – bukan halangan.
“Orang tua saya dukung saya, padahal saya malu. Orang tua saya bertanggung jawab. Dia pikul saya ke sekolah. Di kelas III saya sudah punya kemauan. Setelah tamat sekolah dasar, saya minta agar saya lanjutkan ke sekolah menengah pertama. Ayah saya setuju. Kemudian saya ke sekolah menengah atas. Setelah tamat, saya bilang saya sudah tamat. Bagaimana. Orang tua saya tidak mampu,” katanya.
“Saya pusing, mau bagaimana saya sekarang. Ke mana saya lari.”
Ketika itu ada program transmigrasi ke Kalimantan. Yani ikut ke sana. Ada harapan. Di sana ternyata para transmigran ini bekerja di perkebunan dengan topografi berbukit. Yani kesulitan. Dia minta tangani tanaman di daerah dataran saja. “Saya berjuang dan saya selalu yakinkan diri bahwa saya bisa”.
Yani kembali ke Flores. Kemudian ia ke Bima, Nusa Tenggara Barat. Di Bima ia bekerja di Percetakan yang disediakan bagi anak-anak cacat.
Kembali ke Ende. Pemerintah Kabupaten Ende mengirimnya ke Ujung Pandang (Makassar) Sulawesi Selatan (1992-1994) untuk belajar menjahit. Kembali dari sana, ia mendirikan usaha jahit. Usahanya itu bisa hidupkan diri dan keluarganya. Dia bisa bangun rumah walau belum selesai.
Dia bilang, Departemen Sosial itu hanya beri umpan. Tanggung jawab utama adalah pemerintah daerah. “Sudah saatnya pemerintah daerah bertanggung jawab. Saya sudah buat proposal, namun sampai saat ini tidak ada jawaban dari pemerintah,” katanya.
Dia bersyukur tahun 2008 dia mendapat proyek latihan bagi 15 penyandang cacat lainnya. Dia jadi instruktur. “Saya kasih praktik menjahit. Hari ini juga selesai. Mereka cepat selesaikan pekerjaan. Tidak tunda-tunda”.
Dia mengeluh adanya diskriminasi terhadap penyandang cacat dalam kesempatan bekerja terutama di sektor birokrasi pemerintah. Undang-Undang No. 4/1997 tentang Penyandang Cacat menegaskan adanya persamaan kesempatan mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Namun praktiknya dalam seleksi pegawai negeri, dipasang syarat sehat fisik dan mental. Padahal melihat kerja pegawai negeri, kata dia, tidak semua sulit bagi orang cacat. “Kalau datang hanya main kartu dan game, kami juga bisa,” katanya.
Dia tidak setuju orang cacat menerima uang dari pemerintah untuk membiayai hidup mereka. Ada kategori cacat yang memang tidak bisa kerja sama sekali sehingga negara bisa memberikan santunan. Tapi dia bilang, pendekatan membagi-gai uang seperti itu hanya merugikan uang negara. “Beri kami pelatihan dan bantuan modal. Saya bisa bina teman-teman. Saya sudah rasakan. Kalau saya tidak sekolah, saya tidak tahu lagi. Mungkin saya pilih remah-remah nasi,” katanya.
Memperjuangkan kepentingan orang cacat, katanya, perlu dibentuk organisasi penyandang cacat. Karenanya dia minta pemerintah bentuk forum. “Kalau kami tidak punya organisasi, berarti belum beres”.
DOKTER Ellya Dewi yang didaulat bicara pertama dalam diskusi ini membahas tema “Pelayanan Publik Berprespektif Kecacatan”. Data badan kesehatan dunia WHO (World Health Organisation), 10 persen populasi penduduk dunia penyandang cacat. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, 65,6 persen penyandang cacat tinggal di pedesaan, 34,2 persen tinggal di kota. Sekitar 55,7 persen adalah perempuan.
Undang-Undang No. 4/1997 tentang Penyandang Cacat pasal 6 mengatakan, setiap penyandang cacat berhak memperoleh pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis dan jenjang pendidikan; berhak memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan derajat pendidikan dan kemampuannya, berhak mendapatkan aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya, berhak mendapatkan rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.
“Implementasinya kurang dari sisi pendidikan, kesehatan dan hak atas kerja,” katanya.
Dalam hal pekerjaan, katanya, belum tersedia kesempatan yang sesuai dengan keahlian dan jenis kecacatannya. Undang-undang ini, dalam pasal 10 menegaskan perlunya menyediakan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dengan menyediakan aksesibilitas baik yang disediakan pemerintah maupun oleh masyarakat. Demikian kesamaan dalam menikmati pendidikan. Kesempatan yang sama dalam memperoleh pekerjaan. “Semua hal ini belum dilakukan di daerah kita. Padahal dari situ kita tahu mana apa yang mungkin dan tidak mungkin kita lakukan untuk penyandang cacat”.
Fasilitas-fasilitas publik belum mengakomodasi kepentingan penyandang cacat. Pemerintah sebagai penyedia pelayanan publik punya tugas untuk memberikan aksesibilitas kepada mereka. Menurut dia, jika itu dilaksanakan oleh swasta, maka tetap saja di bawah kontrol negara. “Semua fasilitas publik belum friendly dengan penyandang cacat. Trotoar, gedung, kereta api dan pelayanan publik yang belum begitu friendly dengan penyandang cacat”.
Menurut dokter Dewi, aksesibilitas itu penting disediakan pemerintah, yakni akses terhadap lingkungan fisik baik di perumahan, bangunan, pelayanan transportasi, jalan raya dan lingkungan luar ruangan. Akses juga mesti terbuka bagi orang tua penyandang cacat agar mereka mendapatkan informasi lengkap tentang diagnosis, hak-hak, pelayanan dan program-program yang tersedia.
Kesempatan mendapatkan pekerjaan perlu dibuka. Program jaminan sosial yang diberikan pemerintah selama ini hanyalah kepada orang cacat yang tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Tapi bagaimana dengan penyandang cacat lainnya. Mereka diberi pendidikan dan pelatihan. “Kita berikan kesempatan dulu sehingga dapat memotivasi orang cacat lainnya”.
Di bidang kebudayaan, para penyandang cacat diberi kesempatan untuk mengembangkan potensinya seperti di bidang seni, intelektualitas, dan mengembangkan budaya sehingga memperkaya khazanah budaya.
Di beberapa daerah seperti Jawa Timur dan Purbalinggo, pemerintah daerah telah menerbitkan peraturan daerah tentang pelayanan publik. Di Jawa Timur Perda No. 11/2005 tentang Pelayanan Publik. Di Purbalinggo Perda No. 1/2008 tentang Pelayanan Publik. Perda di dua daerah ini mengatur secara khusus pelayanan publik bagi penyandang cacat di bawah judul pelayanan khusus. Perda ini mewajibkan pemerintah daerah menyediakan sarana dan prasarana yang diperuntukkan bagi penyandang cacat, lanjut usia dan wanita hamil.
Menurut dia, sudah saatnya di daerah kita pelayanan publik juga berprespektif kecacatan, membangun kesadaran publik tentang kepentingan orang cacat, membuka luas kesempatan, pendidikan, dan pelatihan bagi orang cacat, dan mengikutsertakan penyandang cacat sebagai pengontrol pelayanan publik.
Dia melihat penting terbentuknya organisasi penyandang cacat, sehingga mereka bisa ikut menentukan kebijakan publik. Kalau belum ada organisasi, itulah sebabnya pemerintah belum beri perhatian pada masalah orang cacat.
Anggota DPRD Ende Yohanes Antonius Bata jadi pembicara kedua. Dia bicara soal kebijakan anggaran di legislatif bagi para penyandang cacat. Jujur dia bilang masalah ini belum menjadi isu di kalangan DPRD. “Kalau mau jujur kita belum berkonsentrasi untuk bicara soal penyandang cacat,” katanya.
Pemerintah sudah mengirim para penyandang cacat ke daerah lain untuk dilatih. Namun ketika kembali ke daerah, pemerintah tidak memberikan bantuan modal agar para penyandang cacat itu bisa mandiri. “Setiba di sini mereka butuh dana sebagai modal kerja. Mestinya kita diberitahu bahwa para penyandang cacat yang telah dilatih di daerah lain itu butuhkan dana berapa. Meski begitu pada forum ini kita tidak perlu saling mempersalahkan, tapi kita bicarakan bersama,” katanya.
Dia mengkritik orientasi pembangunan pemerintah selama ini yang lebih banyak pada soal pembangunan sarana fisik. Namun dia juga mengingatkan bahwa bantuan yang diberikan kepada para penyandang cacat disesuaikan dengan keuangan daerah. “Kita mesti bantu dan mempromosikan karya-karya orang cacat ini. Kita tidak hanya berhenti sampai pada pelatihan,” katanya.
Direktur Flores Institute for Resources Development (FIRD) Ende, Ronny So yang duduk di deretan paling kiri adalah pembicara ketiga. FIRD telah dua tahun menangani masalah penyandang cacat ini, melakukan assesment dan pendampingan di desa-desa. Sampai sekarang ada 11 desa dampingan FIRD, khusus mengenai penyandang cacat.
FIRD menggunakan rehabilitasi berbasis masyarakat (right based management). Menurut Ronny, rehabilitasi berbasis masyarakat lebih menekankan hak para penyandang cacat, hak-hak dasar difabel. Dia lebih menyetujui istilah kaum difabel daripada para penyandang cacat. Sebab para penyandang cacat adalah anak-anak dengan kebutuhan khusus. “Ini hanya karena perbedaan kemampuan,” katanya.
Menurut data FIRD, dari jumlah penduduk Kabupaten Ende 250.328 jiwa, sekitar 1,8 persen atau 4.549 jiwa adalah penyandang cacat dengan rincian laki-laki 2.011 jiwa, perempuan 2.538 jiwa, dengan jenis kecacatan fisik 2.121 jiwa, cacat mental 439 jiwa dan cacat fisik dan mental 1.689 jiwa.
Dari pertemuan dengan masyarakat, FIRD berkesimpulan bahwa pengetahuan masyarakat masih minim soal kecacatan dan penanganannya. Masih ada anggapan bahwa kecacatan lebih karena perilaku orang tua. “Kita masih butuhkan kampanye bahwa ini masalah kesehatan,” katanya. Jika lihat pendapatan ekonomi rumah tangga orang tua, umumnya Rp21.000 hingga Rp150.000 per bulan.
Rehabilitasi penyandang cacat ini mesti terintegrasi dengan masyarakat. Karenanya kapasitas masyarakat perlu dibangun agar mereka bisa menyelesaikan dan menangani lebih baik. “Alat-alat bantu bagi para penyandang cacat dibuat dari bahan-bahan lokal oleh masyarakat sendiri. Kita gunakan potensi lokal,” katanya.
Dalam bidang ekonomi, FIRD tengah membentuk kelompok dan melatih para penyandang cacat ini soal pembukuan keuangan dari usaha bersama mereka. FIRD membentuk kelompok-kelompok usaha produktif ini di 11 desa.
Pada sesi diskusi, seorang peserta Hiro bicara soal pendekatan penanganan orang cacat. Dia mengkritik penanganan orang cacat dengan menggunakan pendekatan belaskasihan seperti halnya pemberian bantuan langsung tunai. Sampai saat ini tidak ada regulasi di tingkat daerah yang mengatur alokasi anggaran bagi kepentingan orang cacat. Dia ingin ada titik temu dan kerja sama antara lembaga swadaya masyarakat dan pemerintah sehingga penangangan terhadap penyandang cacat lebih efektif.
Yohanes Antonius Bata yang akrab disapa Aries menjawab masalah ini mengatakan, “Jujur saja kita belum beri kesempatan yang lebih besar kepada penyandang cacat. Anggaran kita juga tidak menyentuh langsung tapi dialokasikan pada anggaran Dinas Sosial yang sifatnya umum saja. Artinya alokasi anggaran bagi penyandang cacat hanya sebagian kecil dari program Dinas Sosial”.
Dia setuju jika ada Peraturan Daerah yang mengatur hal ini, tapi mesti dibicarakan bersama dengan para penyandang cacat.
Dokter Dewi bilang penanganan orang cacat selama ini di bawah koordinasi Dinas Sosial. Pemerintah pusat mengambil kebijakan, penderita cacat yang tidak bisa berbuat apa-apa mendapat bantuan Rp300.000 per bulan dari pemerintah. Sedangkan lainnya tidak ada. Sampai sekarang organisasi penyandang cacat belum ada. Akibatnya akses penyandang cacat ke pemerintah tidak ada. Organisasi ini yang akan membantu membahas apa persis kebutuhan para penyandang cacat, sehingga alokasi anggaran juga lebih terfokus. Momennya pas karena pemerintah lagi membahas anggaran tahun 2009.
“Kalau bicara anggaran, kita tentukan prioritasnya. Apa yang dilakukan dinas, kita rumuskan. Pembentukan organisasi penyandang cacat penting sehingga pendekatan tidak dilakukan orang perorangan, melainkan program. Kita harus tahu siapa yang dapat kita ajak bicara,” katanya.
Titik temu dari keprihatinan bersama soal penyandang cacat ini, kata Ronny So, adalah Perda. Namun, perda inisiatif ini tidak gampang. “Kita tahu ada banyak Perda yang disahkan begitu cepat dan kita tahu di-copy paste dari mana”. Dia mencontohkan Ranperda TB yang pernah disiapkan tidak pernah jadi Perda. Karena itu dia bilang, perspektif difabel ini mesti masuk dalam Satuan Perangkat Kerja Daerah (SKPD) sehingga masalahnya bisa dibicarakan mulai dari perencanaan di desa hingga kabupaten. Dengan masuknya perspektif difabel ini dalam SKPD, maka kita akan dapat berlangkah lebih jauh. Di tingkat masyarakat sendiri, perlu ada dorongan. Ada pertemuan. Ada anggaran. Ada biaya. “Konkretnya ada biaya untuk memfasilitasi kaum difabel”.
Dikson dari Dinas Sosial mengatakan, penanganan para penyandang cacat pada Dinas Sosial ada di Bidang Rehabilitasi. Soal anggaran, dari seluruh dana yang diberikan ke Dinas Sosial dibagi ke bidang-bidang. Dana yang diplotkan bagi para penyandang cacat juga dipakai untuk memantau kegiatan. Dia anjurkan agar ke depan sesering mungkin dibangun diskusi sehingga dibangun pula satu komitmen bersama. Sampai saat ini Dinas Sosial memberi jaminan sosial seumur hidup kepada 163 orang cacat yang tidak mampu berbuat apa-apa lagi.
Masalah regulasi masih muncul lagi pada sesi diskusi berikutnya. Dokter Dewi mengakui bahwa masih minim perspektif kecacatan di kalangan pemerintah. Hal ini terjadi karena belum terpapar dengan baik mengenai masalah ini kepada pemerintah. Karenanya dia anjurkan agar masalah ini perlu dipaparkan dengan lebih baik ke legislatif dan pemerintah. “Momennya pas sekarang, pemerintah dan DPRD lagi membahas anggaran tahun 2009. Kita bisa manfaatkan momen ini dan beri perspektif kepada SKPD. Ini lebih baik daripada kita ngotot (force) bicara soal regulasi. Mungkin kita suarakan itu dulu. Pemerintah perlu pemaparan mengenai masalah ini sehingga terakomodasi di dalam perencanaan,” kata Dewi. Untuk fasilitasi soal ini, kita minta FIRD.
Pada sesi kedua diskusi, Regina bicara soal jaminan sosial kesehatan para penyandang cacat. Menurut dia, pemerintah mengakomodasi kepentingan para penyandang cacat dalam program jaminan kesehatan masyarakat. Kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) segera diurus . Yohanes Antonius Bata mengatakan, dia sering mendengar keluhan tidak terakomodasinya para penyandang cacat dalam program Jamkesmas ini, namun dia bilang, dia sering meragukan. Karena umumnya masyarakat lalai mengurusnya baik karena minimnya informasi maupun karena tidak adanya sosialisasi yang cukup soal program tersebut. “Saya sering dapat keluhan. Setelah dicek, masyarakat sendiri lalai mendaftar untuk mendapatkan kartu pengobatan gratis”.
Dokter Dewi bilang, pemerintah punya komitmen untuk menyediakan kesehatan gratis. Komitmen Menkes adalah “Health for All”, sehat untuk semua. “Ini kuncinya bahwa tiap orang punya kartu tanda penduduk dan esok harus daftar. Jangan tunggu lagi”.
Ilona Iskandar mengatakan, sebelum para penyandang cacat ini membentuk organisasi, apa saja yang mereka perlukan. Selain itu penting sekali meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai isu-isu kecacatan karena belum tahu intervensi apa yang mereka perlu peroleh dari pemerintah. “Bisa saja mereka tidak tahu. Karena program baru sering membutuhkan data baru lagi”.
Masalahnya para penyandang cacat ini tidak terdata dengan baik karena jarang sekali mereka dibawa ke Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas). Mercy Bhara mengatakan, penting kita memberikan informasi kepada para penyandang cacat bahwa mereka mendapatkan pengobatan gratis dari pemerintah.
Pengetahuan orang tua mengenai kecacatan juga menjadi kendala. Karena pengetahuan yang tidak memadai mengakibatkan kemauan orang tua untuk membawa anaknya ke Puskesmas lemah. Apalagi kalau anak mereka beranjak dewasa.
Lingkungan sekolah dasar luar biasa (SDLB) di Ende juga dibicarakan. Letaknya dekat lapangan terbang dianggap mengganggu ketenangan para siswa SDLB. “Tiap hari raungan pesawat di bandara. Anak-anak juga terganggu. Lokasinya tidak pas. SDLB itu dipindahkan ke lokasi yang lebih aman,” kata Ronny.
Belum lagi soal fasilitas di lembaga tersebut. Infrastruktur perlu diperbaiki. “Berulang kali kita bicarakan. Katanya ini tanggung jawab pemerintah Provinsi. Ini kan warga Ende juga. Pemda belum beri perhatian. Mereka hanya bicara soal pelayanan di sekolah umum,” katanya.
Yohanes Antonius Bata mengatakan, kita salah kaprah. SDLB itu ada di sini dan kebutuhannya ada di kabupaten ini. “Pertemuan hari ini membuka cakrawala bagi Dewan. Kita bisa perjuangkan baik melalui alokasi dana daerah maupun melakukan lobi ke pemerintah provinsi. Karena ini juga mendidik anak-anak Ende”. Menurut dia, banyak sekali dana daerah ini digunakan untuk apa yang sebenarnya menjadi tanggung jawab pemerintah Provinsi.”Ini juga tidak tabu”.
Sedangkan dokter Dewi kembali menegaskan bahwa pemerintah sering belum tahu apa persis kebutuhan para penyandang cacat. “Kita belum tahu apa kebutuhan mereka”. Apa benar ini menjadi kebutuhan para penyandang cacat. Tugas kita adalah mengkomunikasinya dan forum ini perlu memfasilitasinya.
Dia minta Dinas Kesehatan proaktif mensosialisasikan program-program kesehatan gratis yang disediakan pemerintah. “Sudah saatnya juga Dinas Kesehatan go public”.
Menurut dia, banyak sekali isu kecacatan ini yang belum digarap dengan lebih baik, sehingga tidak perlu dibentuk lembaga baru. Anak-anak cacat perlu juga bergaul dengan orang lain meski ada hal-hal spesifik. Kalau bisa berbasis masyarakat.
Dalam diskusi ini, Ana dari terra de homes, sebuah lembaga swadaya masyarakat berbasis di Jakarta menyeringkan pengalamannya melakukan fisioterapi kepada para penyandang cacat. Dia bekerja dua minggu di Manggarai dan dua minggu di Ende. Pendekatannya adalah membangun kapasitas masyarakat lokal, terutama orang tua para penyandang cacat agar mereka bisa melakukan sendiri terapi bagi anak mereka. Menurut dia, orang tua para penyandang cacat membutuhkan informasi. Karena mereka tidak tahu banyak informasi mengenai kecacatan. “Orang tua mesti melakukan apa saja agar orang-orang cacat ini bisa melakukan sesuatu,” katanya.
KEESOKAN harinya, seminar digelar di Baranuri. Pembicaranya Wakil Ketua DPRD NTT Kristo Blasin, Dekan Fakultas Hukum Universitas Flores Alfons Sakura, Ahmad Yani, dan Ronny So. Moderator dosen Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat (STPM) Santa Ursula Ende, Elias Cima. Seminar ini dibuka Sekretaris Daerah (Sekda) Iskandar Moh Mberu.
Kristo Blasin mengatakan, anak-anak cacat ini tidak boleh hanya disimpan di rumah. Orang tua punya kewajiban untuk mengembangkan kemampuan anak-anak ini. Orang tua didorong mencari solusi. “Masih ada sikap diskriminasi. Kita belum melakukan yang terbaik,” katanya.
Para penyandang cacat tidak ingin diperlakukan sebagai orang sakit. Mereka punya kemampuan. “Ke depan orang tua ambil peran lebih besar, keluar dari cara pandang yang keliru. Pikiran kita harus dibersihkan. Jangan serahkan kegagalan orang tua ini ke orang lain”.
Alfons Sakura yang membahas masalah ini dari aspek hukum mengatakan, perlu ada perubahan pendekatan pemberian bantuan dan jaminan sosial kepada orang cacat. Pemberian bantuan karena belas kasihan atau bantuan sosial dihilangkan tapi diganti dengan memberikan pekerjaan. Orang cacat perlu diberi kesempatan mendapatkan pekerjaan yang layak dan membuka kesempatan mereka merebut kerja di sektor birokrasi pemerintah dengan testing menjadi pegawai negeri dengan spesifikasi kerja berdasarkan kemampuannya. Karenanya para penyandang cacat perlu pula diberi pelatihan dan pendidikan.
Selain itu ke depan perencanaan pembangunan perlu berprespektif kecacatan. Artinya pemerintah membangun fasilitas-fasilitas publik yang bisa mengakomodasi kepentingan penyandang cacat. “Hingga saat ini Kabupaten Ende belum membangun taman hiburan anak-anak cacat,” katanya.
Perilaku berlalu lintas juga tidak memperhatikan kepentingan orang cacat. Mestinya pengendera sepeda motor memprioritaskan para penyandang cacat di jalan raya.
Presentasi Ronny So dan Ahmad Yani pada kesempatan ini tidak jauh berbeda dengan presentasi pada saat diskusi sehari sebelumnya.
Baik diskusi terbatas di aula Bung Karno maupun seminar sehari tersebut, sama-sama menyodorkan fakta bahwa sampai saat ini belum ada komitmen membantu para penyandang cacat. Masalah kecacatan belum menjadi isu publik di kalangan masyarakat dan belum masuk dalam kebijakan dan perencanaan pembangunan. Masih ada diskriminasi dalam pekerjaan, di lembaga pendidikan, dan di dalam keluarga sendiri. Model pendekatan terhadap penyandang cacat pun lebih pada model belas kasihan dengan memberikan jaminan sosial. Padahal para penyandang cacat punya kemampuan, meski berbeda dengan kemampuan bukan penyandang cacat. Karena keteledoran kita tidak memberi kesempatan melatih dan mendidik mereka, maka kemampuan mereka ini ibarat talenta yang ditaruh di bawah bantal. Bukan oleh kesengajaan, melainkan karena desakan situasi yang tidak punya kepedulian terhadap kehidupan mereka. Penyandang cacat akhirnya jadi masyarakat terpinggirkan.
Flores Pos /Feature / Penyandang Cacat /
16-18 Desember 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar