Oleh FRANS OBON
Natal datang lagi. Kita sambut dengan gembira. Lagu-lagu Natal menggema di gereja-gereja. Di rumah-rumah. Ada kunjungan ke rumah-rumah. Ada iklan ucapan selamat Natal. Ada sedekah ke panti-panti asuhan. Ada seribu macam aksi lahiriah lainnya
Sudah amat lazim kita dengar bahwa Natal adalah sebuah bentuk solidaritas Allah dengan manusia. Allah mengambil rupa seorang manusia, mengalami situasi manusia, dan menebusnya agar manusia mendapatkan kembali kemuliaannya sebagai anak-anak Allah di dalam Anak (filii in Filio). Cara Allah masuk dalam situasi manusia mengambil cara yang paling hina dan sederhana. Dia dilahirkan di kandang hina. Dalam serba keterbatasan. Dari keluarga sederhana.
Jika Allah solider dengan manusia, maka sudah seharusnya manusia solider dengan sesamanya. Merasa senasib dan sepenanggungan dengan sesama yang menderita, yang hina, yang terpinggirkan, dan yang menjadi korban dari ketidakadilan politik, ekonomi, budaya dan sosial. Mesti ada usaha yang kuat untuk memihak kepada orang-orang yang lemah dan hina. Orang-orang yang tidak bisa membela diri mereka.
Natal dalam arti tertentu adalah perayaan keluarga. Allah datang mengunjungi keluarga-keluarga kita masing-masing. Allah membarui keluarga-keluarga kita, agar di dalam keluarga-keluarga kita tumbuh dan mengakar hal-hal rohaniah. Anak-anak kita tumbuh dalam jiwa yang penuh sukacita, dalam semangat kegembiraan, dan semangat solider dengan orang lain. Keluarga kita menjadi tempat tumbuhnya iman yang benar, sehingga kita menyembah Allah dengan cara yang benar.
Kalau kita membaca seluruh kisah Yesus di dalam Perjanjian Baru, kita jumpai suatu tuntutan untuk membarui diri dari cara kita beragama dan melaksanakan ritus-ritus keagamaan. Yesus mengkritik dengan pedas cara beragama yang sifatnya formalitas belaka. Dia ingin ada komitmen sosial dari perayaan keagamaan kita.
Sudah banyak sekali kritikan dikedepankan mengenai cara beragama kita, yang lebih mementingkan formalitas daripada penghayatan riil dalam kehidupan sosial kita. Perayaan-perayaan kita meriah. Tetapi sepi di dalam penghayatannya. Lagu-lagu kita gegap gempita, tapi sikap kita tidak gegap gembita. Kehidupan politik kita belum menampakkan adanya pembaruan. Kehidupan sosial kita masih bopeng oleh ketidakadilan. Oleh praktik politik yang tidak manusiawi. Iklan ucapan Natal kita lebih untuk menarik pemilih daripada ekspresi politik yang penuh etika yang berjalan di atas nilai-nilai Injili.
Inilah momennya. Natal hendaknya membarui diri kita, membarui lingkungan sosial, politik, dan budaya kita. Natal adalah sebuah teks yang selalu memberi kita makna, yang tidak pernah ada habisnya.
Flores Pos | Bentara Natal
30 Desember 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar