Pemerintah mengubah strategi pembangunan kesehatan. Tidak lagi hanya fokus pada investasi sarana dan prasarana, tapi pendidikan masyarakat dan kesehatan lingkungan.
Oleh FRANS OBON
DINAS Kesehatan bikin lokakarya sehari menjelang Hari Kesehatan Nasional di gedung Ine Pare di Jln El Tari, 11 November 2008. Kegiatan ini fokus membahas kesehatan lingkungan, di dalamnya peranan laboratorium kesehatan lingkungan (Labkesling) disoroti secara khusus. Saat ini Labkesling jadi salah satu seksi di Dinas Kesehatan Kabupaten Ende. Sejalan dengan makin meningkatnya kasus-kasus penyakit berbasis lingkungan, Labkesling mendapat kedudukan sentral, sebab pengujian laboratorium mutlak dilakukan.
Tema lokakarya begitu panjang. “Laboratorium Kesehatan Lingkungan dalam Prospek ke Depan sebagai Pelayanan Kesehatan Preventif guna Mewujudkan Masyarakat Ende-Lio Sare Pawe yang Sehat Sejahtera dan Berkualitas”. Materinya mulai dari arah kebijakan hingga standar laboratorium. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dokter Dominikus Minggu Mere, dokter Ellya Dewi (Bappeda), Antonius Yohanes Bata (Sekretaris Komisi C DPRD Ende), dan dari Dinas Kesehatan Hamid Akuba, Petrus H Djata (Kepala Seksi Labkesling), dan Steven Maina. Moderator Frans Obon (Redaktur Pelaksana Flores Pos). Wakil Bupati Ende Bernadus Gadobani membuka kegiatan.
Penelitian Unicef, badan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 2007 menyebutkan bahwa 160.000 anak meninggal akibat diare dan infeksi saluran pernafasan akut. PBB pun menetapkan tahun 2008 sebagai Tahun Sanitasi Internasional. Organisasi bangsa-bangsa ini mendesak negara-negara anggota untuk memperhatikan sanitasi lingkungan dengan fokus utama pada pembangunan sarana air bersih dan penyehatan lingkungan yang berkualitas dan berkelanjutan sebagai langkah memutuskan mata rantai penyebaran penyakit berbasis lingkungan.
Menurut Ketua Panitia, Petrus H Djata sebagaimana disampaikannya pada acara pembukaan, banyak penyakit berbahaya merenggut nyawa manusia karena jeleknya sanitasi lingkungan. Kualitas air bersih rendah. Jamban keluarga tidak tersedia. Pengolaan sampah tidak maksimal. Pembuangan limbah tidak terarah. Indikator optimalisasi pelayanan kesehatan lingkungan hanya dapat diketahui melalui pengujian kualitas lingkungan.
Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, Bab V Bagian Kelima, pasal 22 menyebutkan, “Kesehatan Lingkungan diselenggarakan untuk mewujudkan lingkungan yang sehat. Kesehatan lingkungan dilaksanakan terhadap tempat-tempat umum, lingkungan pemukiman, lingkungan kerja, angkutan umum dan lingkungan lainnya. Kesehatan lingkungan meliputi penyehatan air dan udara, pengamanan limbah padat, limbah cair, limbah gas, radiasi dan kebisingan, pengendalian vektor penyakit dan penyehatan dan pengamanan lainnya”.
Hulu ke HilirUsai acara pembukaan itu, sebagai moderator saya meminta para pemateri mengambil tempat di depan. Mengantar presentasi pemateri, saya bilang bahwa jika kita memperhatikan program bupati dan wakil bupati baik di Flores, di NTT maupun di daerah-daerah lainnya di Indonesia, selalu menempatkan pendidikan, kesehatan, dan ekonomi sebagai prioritas mereka. Implementasi, strategi, dan konkretisasi dari program prioritas ini berbeda-beda pencapaiannya, dengan berbagai alasan.
Sementara di satu sisi, masyarakat mengeluarkan banyak uang untuk mengobati penyakit mereka. Masyarakat tidak peduli dengan persoalan kesehatan lingkungan yang sebenarnya menyumbangkan bagi penyebaran penyakit. Karenanya perlu ada perubahan paradigma dalam menangani bidang kesehatan. Saya ingin menegaskan bahwa sudah saatnya masyarakat diarahkan untuk memperhatikan kesehatan lingkungan.
Dalam konteks pembangunan kawasan terutama Flores sebagai sebuah kawasan pembangunan, Kabupaten Ende memiliki keuntungan dari segi letaknnya. Sejarah pemerintahan daerah Flores telah membuktikannya. Dalam pengertian itulah, peningkatan kapasitas laboratorium kesehatan lingkungan sebagai mimpi bersama ke depan akan sangat strategis.
Karena Kepala Bappeda dokter Domi Mere hendak berangkat ke Kupang, maka saya mempersilakannya untuk mempresentasikan materinya lebih dulu. Sebenarnya juga dari rancangan acara, dia mendapatkan kesempatan pertama.
Dokter Domi bicara “Kebijakan Daerah Kabupaten Ende di Bidang AMPL”. AMPL singkatan dari Air Minum Penyehatan Lingkungan. Menurut dia, ada empat faktor utama dalam membangun bidang kesehatan yakni kelembagaan, sumber daya, pembiayaan, dan aspek pemberdayaan masyarakat. Dia bilang, paradigma pembangunan kesehatan mesti diubah. Paradigma rakyat sehat.
“Telah terjadi kekeliruan strategi bahwa kita tidak mulai dari hulu, melainkan dari hilir. Kita fokus pada tindakan kuratif dan rehabilitasi. Kita lebih fokus pada investasi sarana dan prasarana. Tapi jika kita lihat lagi ke belakang, kita tidak memperhatikan pendidikan masyarakat di bidang kesehatan. Anggaran untuk pendidikan masyarakat mungkin seperseratus dari anggaran kuratif. Kita kembali ke paradigma sehat, yakni menjaga orang agar tetap sehat. Karenanya program preventif jadi hal utama,” katanya.
Menurut dia, Milenium Development Goals (MDGs) sebagaimana dicapai dalam kesepakatan Johanesburg dan deklarasi Kyoto 2003 serta berbagai perangkat peraturan di tingkat nasional, telah membingkai arah kebijakan pemerintah dalam bidang kesehatan.
Pertemuan Johanesburg sepakat bahwa pada tahun 2015 dikurangi separo dari penduduk yang tidak dapat atau tidak mampu memperoleh air minum yang sehat dan proporsi penduduk yang tidak memiliki akses pada sanitasi dasar. Dalam deklarasi Kyoto disebutkan peningkatan akses pada air bersih adalah penting bagi pembangunan berkelanjutan dan pengentasan kemiskinan dan kelaparan. Penambahan investasi pada sektor air minum dan penyehatan lingkungan sangat diperlukan dalam rangka mencapai target pengurangan separo proporsi penduduk yang tidak memiliki akses terhadap air minum yang sehat dan sanitasi dasar pada tahun 2015. Karenanya alur pikir kebijakan air minum penyehatan lingkungan didasarkan pada kesepakatan internasional, yang oleh negara peserta dibingkai dalam hukum nasional sebagai kerangka hukum penyusunan strategi pelaksanaan program. Berkali-kali dokter Domi meningatkan peserta agar strategi program pembangunan bidang kesehatan memperhatikan dengan serius dimensi keberlanjutannya. Investasi sarana dan prasarana tidak akan efektif dan efisien jika faktor keberlanjutannya ini diabaikan.
PartisipatifDalam pandangan dokter Domi, salah satu alasan proyek sarana dan prasarana kesehatan seperti proyek air minum tidak efektif dan efisien serta keberlanjutannya tidak terjamin adalah karena rendahnya partisipasi masyarakat yang menjadi sasaran proyek. Bahkan dia mengatakan bahwa dirinya seringkali berhadapan dengan sikap “menunggu pemerintah” di kalangan masyarakat. Pipa air minum yang patah tidak langsung diperbaiki oleh masyarakat, tetapi sebaliknya masyarakat melaporkan kasus ini ke Dinas Kesehatan. Seharusnya masyarakat sudah bisa memperbaikinya sendiri. “Kita disibukkan lagi dengan urusan naik turunnya pipa,” katanya. Menurut dia, ada kekeliruan di dalam pendekatan. Sebagian besarnya disebabkan oleh berkurangnya partisipasi masyarakat mulai dari perencanaan hingga rehabilitasi proyek pemerintah.
Dia mengatakan, faktor yang menentukan kesehatan adalah lingkungan dan perilaku. Tujuh tahun lagi yakni 2015 merupakan tahun pencapaian milenium goals. Kalau perilaku masyarakat kita tetap seperti sekarang, maka sulit rasanya kita akan mencapai target milenium goals.
Perilaku masyarakat mesti diubah. Karena pengalaman mengajarkan bahwa banyak sarana dan prasarana air minum hanya berlangsung satu dua tahun. Itu karena pipanya jadi tempat tambatan atau ikat kerbau, sapi atau kambing. Kalau air tidak ada, yang paling menderita perempuan. “Banyak perempuan kurus karena ambil air sepanjang tujuh kilometer,” katanya. Karena itu dokter Domi menganjurkan agar usaha mengubah perilaku masyarakat perlu melibatkan tokoh-tokoh agama dan tokoh masyarakat. “Ubah perilaku masyarakat itu, kita tidak bisa bekerja sendiri,” katanya.
Dokter Domi dalam makalahnya menegaskan betapa penting melibatkan masyarakat dan berbagai stakeholder lainnya dalam penyediaan air bersih dan pelayanan kesehatan. Pertemuan-pertemuan tingkat internasional, katanya, juga menekankan partisipasi masyarakat dalam membangun sektor air minum dan penyehatan lingkungan. Karenanya di sini partisipasi itu melibatkan perencana, pengguna, dan pembuat kebijakan pada semua tingkatan.
Pengalaman mengajarkan bahwa pembangunan pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan yang melibatkan masyarakat memiliki efektivitas dan keberlanjutan, menghasilkan partisipasi masyarakat yang lebih besar dalam pelaksanaan dan pemeliharaannya.
Partisipasi perempuan dan kelompok miskin lainnya, katanya, patut pula diperhatikan. Karena keterlibatan perempuan dan masyarakat kurang beruntung lainnya secara seimbang dalam pengambilan keputusan menghasilkan efektivitas penggunaan dan keberlanjutan. Karena perempuan yang paling sulit dan merasakan jika sarana dan prasarana air minum tidak tersedia. “Kalau sarana tidak ada, yang ambil air kan perempuan”. Berkali-kali dia menegaskan pentingnya aspek keberlanjutan di dalam pembangunan air minum.
Dalam masalah kesehatan lingkungan juga, katanya, partisipasi masyarakat lebih penting. Perubahan perilaku membutuhkan kampanye yang serius dan rutin dilakukan. “Ada korelasi antara penurunan kasus malaria dengan pengasapan yang dilakukan di Detusoko. Ini contoh,” katanya.
Perspektifnya juga mesti diubah. Air harus dipandang sebagai benda sosial dan ekonomi. “Selama ini air dipandang sebagai benda sosial yang diperoleh Cuma-cuma. Namun kesadaran bahwa air sebagai benda ekonomi makin meningkat, yang mengakibatkan perilaku masyarakat dalam memanfaatkan air berubah. Masyarakat mulai lebih bijak menggunakan air, lebih efisien, dan punya keinginan berkorban untuk mendapatkan air”.
Berkaitan dengan ini, tumbuh kesadaran baru bahwa pembangunan mesti pula berwawasan lingkungan. Orang mulai sadar agar tidak menebang hutan sehingga mata air tidak mati. Pembangunan berwawasan lingkungan berarti ada upaya sadar dan terencana memadukan masalah lingkungan hidup ke dalam perencanaan pembangunan .
Dia memandang penting jika dalam perencanaan partisipatif itu melibatkan perempuan dan masyarakat miskin. Tidak kalah pentingnya adalah perencanaan pembangunan dan pelayanan air bersih itu mengutamakan pelayanan optimal dan tepat sasar. Optimalisasi pelayanan berarti kualitas pelayanan dan menjangkau seluruh masyarakat. Sedangkan tepat sasar adalah cakupan pelayanan sarana dan prasarana air bersih itu menjawab masalah yang dihadapi masyarakat.
Dokter Domi menyebutkan langkah-langkah strategis pelaksanaan pembangunan sarana dan prasarana air minum dan pelayanan kesehatan lingkungan. Pada tempat pertama, dia menegaskan bahwa dalam perencanaan perlu memperhatikan kerangka peraturan bagi landasan partisipasi mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan. Menjamin keberlanjutannya, diperlukan investasi pada pembangunan sumber daya pengguna, dan menentukan pilihan-pilihan pembiayaan, menempatkan pengguna dalam pengelolaan keputusan, meningkatkan kemampuan mereka di bidang teknik, pembiayaan, dan kelembagaan. Di sini penting mendorong konsolidasi penelitian, pengembangan dan diseminiasi pilihan teknologi. Terakhir pentingnya monitoring dan evaluasi hasil pembangunan sarana dan prasarana air minum dan penyehatan lingkungan.
Undang-undang Kesehatan No. 23/1992 dalam Bab VII pasal 71 menekankan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan kesehatan dan seluruh sumber daya yang dimilikinya. Pelibatan masyarakat dalam pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan memiliki efektivitas dan keberlanjutan. Partisipasi yang terlembaga ini memang penting bagi keberhasilan dan keberlanjutan program.
Dokter Domi memberi optimisme kepada para peserta bahwa latar belakangnya dari bidang kesehatan adalah faktor yang memudahkan dia memahami perencanaan partisipatif di bidang pembanguna kesehatan. “Kami di Bappeda. Kita efektifkan keberadaan kami. Kita bekerja pada sisi yang sama, supaya tujuan kita tercapai kita menggunakan pola partisipatif. Ada banyak jalan menuju Roma,” katanya.
Tidak ada dialog setelah presentasi dokter Domi karena dia keburu mau berangkat ke Kupang. Namun komitmennya membangun bidang kesehatan lebih efektif dan efisien terlihat dari presentasi ini.
Ibarat JantungDokter Ellya Dewi yang selama presentasi dokter Domi duduk di bagian kiri para peserta saya persilakan untuk mengambil tempat di depan. Saya memberi aturan baru. Dialog baru dilakukan setelah semua presentasi diberikan. Saya khawatir proses tidak efektif karena akan terpenggal-penggal bila setelah satu sesi langsung dilakukan dialog. Saya ingin agar peserta mendapatkan gambaran menyeluruh mengenai presentasi pemateri sehingga pertemuan berdaya guna.
Setelah dokter Domi meninggalkan ruangan lokakarya, saya persilakan Sekretaris Komisi C DPRD Ende, Antonius Yohanes Bata – akrab disapa Aries Putra Lawa – membahas kebijakan anggaran di DPRD Ende. Aries mengatakan, selama dia membidangi Komisi Anggaran di DPRD Ende, anggota Dewan komit dengan pembiayaan atau menyetujui penyediaan anggaran yang memadai untuk bidang kesehatan. “Kita belum pernah memotong-motong anggaran bidang kesehatan karena DPRD punya komitmen membangun bidang kesehatan,” katanya.
Menurut dia, kalau anggaran sudah memadai, maka hal lain yang masih harus dikerjakan adalah menyiapkan masyarakat agar mereka terlibat di dalam keseluruhan proses pembangunan kesehatan itu. “Kita bangun kesehatan mulai dari hulu. Kita mesti berbicara di hulu. Ini yang tidak kita lakukan,” katanya.
Dilihat dari sumber pendapatan pemerintah, komponen Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya Rp17 miliar lebih, yang dalam APBD Perubahan dinaikkan menjadi Rp18 miliar lebih. Sedangkan dana perimbangan dari pemerintah pusat sebesar Rp381 miliar lebih. “Pemerintah pusatlah yang menyediakan dana. Yang penting program tepat sasar, berdasarkan kebutuhan bukan keinginan. Harus bisa menentukan prioritas,” katanya.
Menurut dia, program yang dibuat bukan berdasarkan keinginan pembuat program, tetapi sungguh-sungguh merupakan kebutuhan masyarakat sehingga Dewan bisa mengerti. “Kami belum pernah coret anggaran kesehatan. Dewan komit,” katanya.
Sebelum ke sesi berikutnya, saya hanya mengatakan bahwa kontribusi PAD yang kecil tidak perlu mengecilkan hati kita untuk memaksimalkan pelayanan kesehatan. Anggaran yang diberikan pemerintah pusat, apapun alasannya, tetaplah uang republik. Masalahnya adalah bagaimana kita menggunakan dana-dana ini dengan efektif dan efisien serta tepat sasar.
Sesi berikutnya adalah presentasi dokter Dewi. Dia berbicara soal “Rencana Strategis Pembangunan Bidang Kesehatan”. Efektivitas dan efisiensi serta berkelanjutannya pelayanan kesehatan bergantung pada perencanaan. Sering perencanaan, kata dia, tidak didasarkan pada kepentingan masyarakat, melainkan pada kepentingan dinas atau instansi pengusul anggaran. Perencanaan di tingkat Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) atau Renstra SKPD mestinya menjadi pencerminan atau penjabaran Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). “Kalau renstra tidak ada mau kerja apa? Uang mau kemana? Orang mau ke mana?”. Sama halnya dengan efisiensi. Kalau ada perencanaan yang baik, kita bisa melakukan efisiensi dalam penggunaan kendaraan dinas.
Dia bilang, renstra SKPD itu tidak boleh keluar dari RPJMD. Jika misalnya Bupati Ende menginginkan Ende-Lio Sare Pawe, bagaimana dinas mengimplementasikannya. Karenanya dia sekali lagi menekankan perlunya perencanaan yang baik yang dilakukan SKPD.
Perencanaan adalah proses penyusunan berbagai keputusan yang akan dilaksanakan pada masa datang untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Perencanaan bisa juga diartikan sebagai pembuatan serangkaian kebijakan untuk mengendalikan masa depan sesuai yang ditentukan.
Undang-Undang No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional menyebutkan perencanaan itu bertujuan menjamin terjadinya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi antardaerah, antarruang, antarwaktu dan antarfungsi pemerintah serta menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan; menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien dan efektif, berkeadilan dan berkelanjutan. Perencanaan kesehatan adalah proses merumuskan masalah-masalah kesehatan yang berkembang di masyarakat, menentukan kebutuhan dan sumber daya yang tersedia, menetapkan tujuan program yang paling pokok dan menyusun langkah-langkah praktis untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Strateginya adalah menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat, meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas, meningkat sistem surveilens, monitoring, dan informasi kesehatan, dan meningkatkan pembiayaan kesehatan. Sasaran utama program lingkungan sehat adalah penyediaan sarana air bersih dan sanitasi dasar, pemeliharaan dan pengawasan kualitas lingkungan, pengendalian dampak risiko pencemaran lingkungan, dan pengembangan wilayah sehat.
Dokter Dewi memaparkan strategi dan sasaran utama perencanaan pembangunan kesehatan di tingkat nasional dan di tingkat provinsi. Setelah memperlihatkan semua itu, dia masuk ke rekomendasi rencana strategis Dinas Kesehatan Kabupaten Ende 2009-2014.
Dia menegaskan bahwa rencana strategis itu harus memperhatikan visi dan misi kepala daerah masa bakti 2009-2014; penyusunan RPJMD dengan memperhatikan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN); penyusunan Resntra Dinas Kesehatan dengan mengacu pada RPJMD serta memperhatikan RPJMN, Renstra Departemen Kesehatan dan Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan; dan penetapan indikator pencapaian kinerja. Menurut dia, indikator pencapaian kinerja harus menjadi bagian dari Resntra SKPD. Indikator pencapaian itu harus dibuat sebagai kontrak kerja kepala dinas. Dokter Dewi menutup presentasinya dengan mengatakan, “Perencanaan adalah jantung pembangunan”.
Saya menutup sesi ini sekaligus mengantar ke sesi berikutnya dengan mengutip Peter L Berger dalam buku Pyramide of Sacrifices (Tumpukan Para Korban) bahwa rasionalitas program dapat dilihat dari korban (dampak) yang ditimbulkan. Jika korban yang ditimbulkan (dampak negatifnya) lebih besar, maka rasionalitas program rendah. Sebaliknya jika korban yang ditimbulkan (dampak negatifnya) kecil, maka rasionalitas program tinggi.
Tiga presentasi berikutnya bicara tentang profil kesehatan di Kabupaten Ende dan peranan laboratorium kesehatan lingkungan. Sayangnya Steven Maina yang akan bicara mengenai standar laboratorium kesehatan lingkungan tidak bisa hadir karena masih berada di Denpasar. Rencananya hari itu dia terbang dari Denpasar dan mempresentasikan materinya.
Hamid Akuba, sarjana kesehatan masyarakat, bicara mengenai profil pelayanan kesehatan di Kabupaten Ende. Ada empat faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan: lingkungan, genetika, perilaku, dan pelayanan kesehatan. Perilaku termasuk penyebab masalah kesehatan terbesar. Menurut dia, hampir 90 persen kematian anak karena diare disebabkan kurangnya akses air bersih dan sanitasi yang buruk, selain buruknya perilaku higienis. Karenanya menurut badan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 94 persen kasus diare dapat dicegah melalui modifikasi lingkungan melalui peningkatan terhadap akses air bersih, sanitasi, dan perilaku higienis. Namun sampai sekarang akses terhadap air bersih hanya 25 persen dan akses terhadap sanitasi 32 persen. Cakupan air bersih perkotaan 65,3 persen,dan pedesaan 48,8 persen dan cakupan per kabupaten 56,65 persen.
Dari sepuluh deretan penyakit yang dominan, diare , infeksi saluran pernafasan akut, dan malaria klinis menempati urutan teratas. Ini menunjukkan bahwa penyakit berbasis lingkungan paling sering ditemukan. Dinas Kabupaten Ende menetapkan empat kegiatan pelayanan kesehatan lingkungan yang termaktub dalam program lingkungan sehat yakni penyehatan perumahan dan lingkungan, penyehatan air bersih, penyehatan tempat-tempat umum dan tempat-tempat pengelolaan makanan dan minuman, dan laboratorium kesehatan lingkungan.
Labkesling Penting
Presentasi Kepala Seksi Laboratorium Kesehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Ende Petrus H Djata menunjukkan bahwa peranan laboratorium kesehatan lingkungan (Labkesling) teramat penting untuk menentukan intervensi terhadap penyakit berbasis lingkungan.
Petrus mengatakan, di tingkat internasional, sanitasi lingkungan yang buruk telah menimbulkan berbagai penyakit yang membahayakan jiwa manusia. Kasus diare paling tinggi. Karenanya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan tahun 2008 sebagai tahun sanitasi internasional. Di Indonesia juga terjadi hal serupa. Topografi Kabupaten Ende yang jelek, sumber air langka, sanitasi lingkungan buruk menyebabkan sering terjadi kejadian luar biasa (KLB). Masyarakat sering menderita penyakit diare, malaria, dan infeksi saluran pernafasan akut.
Menurut dia, intervensi yang tepat tergantung pada pengujian laboratorium. Hasil pemeriksaan laboratorium memudahkan diagnosa. Seperti kerja para dokter, hasil pemeriksaan laboratorium membantu memberikan diagnosa yang tepat. Demikian pula hasil pemeriksaan laboratorium atas sampel yang diperiksa. Dia akan membantu menentukan intervensi yang tepat.
Dia mencontohkan kasus diare. Kalau diare, fakta utamanya adalah air. Kualitas air. “Kasarnya, kalau ditemukan e-coli berarti di dalam air itu ada tai, berarti ada tai masuk di situ,” katanya.
Contoh lain. Belakangan ramai diberitakan bahwa produk susu asal China mengandung melamin. Hal itu tidak bisa kita lakukan karena kita tidak memiliki alat yang memadai untuk menguji laboratorium. “Kita belum lakukan penelitian,” katanya.
Dia menegaskan manajemen Puskesmas juga ikut mempengaruhi dalam penanganan penyakit berbasis lingkungan. Dia meminta hasil rekomendasi laboratorium ditindaklanjuti.
Petrus menyajikan profil laboratorium kesehatan lingkungan yang sampai saat ini secara kelembagaan masih berstatus salah satu seksi di Dinas Kesehatan. Dalam makalahnya dia memperlihatkan profil kelembagaan Labkesling dan sumber daya manusianya. Sarana dan prasarana terbatas. Dana masih cekak. Sumber daya manusia juga terbatas. Hanya 5 tenaga, dua PNS dan 3 tenaga non PNS. Ruangnya hanya berukuran 6 X 4 m2, dan ruang administrasi 8 X 4 m2, satu unit mobil labkesling, dan satu unit komputer.
Menurut dia, selama ini labkesling telah menangani kasus diare, kasus formalin pada mie basah, kasus air sumur di Mautapaga, air kali Loworongga yang tercemar minyak solar dari aspal hotmiks, air kemasan. Labkesling telah pula menjadi tempat magang bagi petugas labkesling dari Manggarai, Lembata, dan Bappedalda Kabupaten Ende, menjadi tempat pembelajaran bagi para siswa di Kota Ende, dan tempat rujukan sampel air dan makanan dari Alor, Sumba Barat, Manggarai Barat, Manggarai, Ngada dan Nagekeo.
Sampai saat ini labkesling masih menemui masalah seperti tingginya risiko dalam melakukan analisa sampel karena tidak adanya pembagian ruangan secara khusus untuk setiap jenis pemeriksaan sehingga dapat menyebabkan kecelakaan secara fisik karena pemaparan bahan kimia, keterbatasan tenaga ahli dan mendukung analisis sampel, dan tidak adanya dokumen penetapan biaya bagi pelaksanaan magang di labkesling sehingga menyulitkan penentuan biaya pelaksanaan kegiatan, yang sebenarnya menjadi sumber PAD, masih rendahnya respon untuk menindaklanjuti rekomendasi labkesling, dan terbatasnya peralatan dan reagensia.
Mimpi ke depannya adalah secara kelembagaan, labkesling sekarang ini menjadi unit pelaksana teknis daerah (UPTD) atau Balai Teknik Kesehatan Lingkungan (BTKL); disediakannya gedung laboratorium kesehatan lingkungan, dan sumber daya manusia (D3 kesehatan, D3 analis kimia, D3 analis farmasi makanan, S1 mikrobiologis, S1 biologi lingkungan, S1 teknik lingkungan, S1 teknik laboratorium, sarjana/D3/SMU administrasi, sopir, dan cleaning services, dan dana disediakan secara proporsional.
Steven Maina tidak bisa mempresentasikan makalahnya karena masih berada di Denpasar. Saya mendapatkan makalahnya dari Petrus H Djata. Makalah itu ditulis dalam bahasa Inggris, “Standard Laboratory, a System Approach”. Maina membahas laboratorium standar, dengan menggunakan sebuah pendekatan sistem. Dia mengumpamakan tubuh manusia. Jika kita menderita sakit kepala, mungkin disebabkan karena tidak berfungsinya komponen lain dalam sistem. Karenanya dalam membahas laboratorium, perlu memperhatikan semua komponen yang terkait dengan seluruh sistem.
Sistem standar laboratorium terdiri dari tiga komponen utama yakni organisasi, personel, dan sarana dan prasarana. Komponen organisasi mencakup kualitas dan standar-standar kebijakan, definisi peran yang jelas dan akuntabilitas, sumber daya yang memadai, dan kultur organisasi yang komit dengan kualitas. Komponen personel mencakup perencanaan sumber daya manusia, pelatihan, supervisi, dan manajemen performans. Komponen sarana dan prasarana mencakup seleksi, akuisisi, dan pemeliharaan dan perbaikan.
Maina juga menyinggung soal pembelian sarana dan prasarana, proses kontrol, sistem dokumentasi dan pelaporan, manajemen informasi, dan assesment, proses perbaikan, pelayanan, fasilitas dan keamanan fasilitas.
Dialog kemudian hanya berlangsung satu sesi dengan dua penanya. Masalah air minum di fasilitas pariwisata di Moni disinggung para peserta. Menurut mereka, air di tempat wisata itu terlihat keruh. Padahal sudah dilaporkan. Bahkan pada saat kunjungan Bupati Ende ke lokasi tersebut sudah disampaikan. Bupati sudah memerintahkan untuk segera menangani masalah tersebut. Namun sampai saat ini masalah tersebut belum juga teratasi.
Petrus H Djata menjawab masalah ini mengatakan, labkesling bertugas melakukan pemeriksaan laboratorium dan selanjutnya memberikan rekomendasi. Pihaknya telah memberikan rekomendasi dan tugas dinas terkait yang melakukannya.
Menjawab masalah dana untuk Akper yang ditanyakan Kepala Akper Hendrik Mbira, Yohanes Antonius Bata (Sekretaris Komisi C DPRD Ende) mengatakan secara diplomatis bahwa DPRD punya komitmen membantu pendidikan kesehatan di Ende. Tergantung pada Dinas Kesehatan.
Dokter Dewi dalam sesi dialog bertanya ke peserta, sebagian besar penggunaan anggaran selama ini dipakai untuk apa? Sebagian besar dipakai untuk belanja aparatur dan belanja barang dan jasa. Ke mana anggaran publiknya? Menurut dia, penggunaan dana-dana publik yang lebih efektif dan efisien tergantung pada prioritas program yang dibuat. Jika pendekatan perencanaannya tidak komprehensigf, maka sulit juga penggunaan dana itu terarah ke kepentingan publik. “Jangankan lintas lintas sektor, lintas program tidak muncul. Perencanaan kita tidak fokus. Saya tidak setuju salahkan Dewan. Perencanaan SKPD. Kalau Bappeda coret ini, coret itu, itu karena kita lihat proritas, seimbang,” kata Dewi.
Peserta kemudian dibagi ke dalam tiga kelompok untuk mendiskusikan tiga masalah pokok yakni kelembagaan, sumber daya manusia dan sarana, prasarana, dan pendanaan/anggaran.
Usai makan siang dlakukan pleno. Dari pelaporan hasil diskusi pleno itu dibuatlah rekomendasi. Rekomendasi ini kemudian oleh panitia disertai dengan sebuah kesimpulan dari seluruh proses lokakarya. Kesimpulan dan rekomendasi itu merupakan ringkasan yang padat dari apa yang terjadi dalam seluruh proses lokakarya sehingga pertemuan itu memberikan kontribusi bagi peningkatan pelayanan kesehatan di Kabupaten Ende ke depan.
Dalam kesimpulan dan rekomendasi disebutkan bahwa penting sekali mengubah paradigma pelayanan kesehatan masyarakat terutama berkaitan dengan kesehatan lingkungan. Pelayanan tidak pertama-tama difokuskan pada tindakan kuratif dan rehabilitas, melainkan pada preventif dengan melibatkan masyarakat.
Pemerintah mesti merespon ajakan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengimplementasikan dan mengkonkretkan tahun 2008 sebagai Tahun Sanitasi Internasional. Keikutsertaan masyarakat dalam peningkatan kesehatan lingkungan akan menjamin efektivitas dan keberlanjutan program. Keinginan itu didasarkan pada profil kesehatan Kabupaten Ende di mana sepuluh penyakit dominan sebagian besar disebabkan oleh kesehatan lingkungan yang buruk. Sanitasi dasar yang jelek.
Hal yang paling penting disuarakan dalam lokakarya ini adalah instansi atau dinas terkait diminta melaksanakan hasil rekomendasi labkesling. Dengan demikian pemeriksaan labkesling akan dapat membantu para pengambil kebijakan untuk memutuskan secara tepat intervensi apa yang mesti dilakukan. Ada cita-cita besar untuk menjadikan labkesling Ende jadi tempat rujukan di Flores dan Lembata, baik oleh peralatan laboratorim yang lengkap dan statusnya yang dinaikkan, tetapi juga letak Kabupaten Ende di tengah-tengah pulau Flores memungkinkan mimpi itu terwujud.
Lokakarya ini memberikan tujuh rekomendasi yang dialamatkan ke pemerintah dan DPRD yakni meningkatkan status laboratorium kesehatan lingkungan sekarang ini menjadi Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) atau Balai Teknik Kesehatan Lingkungan (BTLK); merekrut, mengangkat, dan menyediakan tenaga-tenaga profesional dan meningkatkan kapasitas para petugas melalui magang, pendidikan, dan pelatihan; meningkatkan kapasitas alat-alat laboratorium dan menjamin ketersediaan peralatan laboratorium; menjamin tersedianya reagensia dan bahan pendukung lainnya; menyediakan sarana dan prasarana yang memadai bagi petugas demi meningkatnya mobilitas di lapangan; rekomendasi laboratorium kesehatan lingkungan perlu ditindaklanjuti; menyediakan anggaran yang memadai.
Asisten II Setda Ende, Don Randa Ma menutup acara. Satu kata saja: mencegah lebih baik daripada mengobati. Tidak dari hilir ke hulu, tapi dari hulu ke hilir.*
Flores Pos /Feature /Kesehatan /15-18 November 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar