27 November 2008

Anakmu, Anakku

Oleh FRANS OBON

Lembaga Perlindungan Anak Kabupaten Ende mengkampanyekan perlindungan anak dari kekerasan di pedesaan-pedesaan dan sekolah-sekolah.


Udara segar pegunungan dan aroma cengkeh menyambut kami di ujung akhir pendakian menuju Nuabosi, Sabtu pekan lalu – sebuah perkampungan yang amat terkenal dengan ubinya yang paling enak di Kabupaten Ende. Barangkali juga untuk Flores. Karena ubi nuabosi sudah jadi oleh-oleh ketika orang pergi atau kembali dari Ende. Mulai dari Woloare di pinggir Kota Ende hingga puncak perkampungan Nuabosi jalan berkelok mendaki. Di beberapa tempat Anda akan menjumpai penggali pasir. Ibu-ibu dan beberapa gadis memecahkan batu. Bapa-bapa menambang pasir. Semua itu memberikan kita gambaran bahwa hidup bukanlah perkara mudah.

Begitu berada di puncak pendakian itu, Anda harus berjalan menurun berkelok satu dua tikungan sebelum Anda berada di dataran yang subur Nuabosi. Rumah-rumah tembok penduduk ada di pinggir kiri kanan jalan. Kakao, cengkeh, kelapa dan ubi. Ini daerah cukup subur.
Sekitar 50-an orang telah menanti kami di Sekolah Dasar Inpres Kekawii. Sebagian besar perempuan sudah menunggu di ruangan kelas. Kami berhenti sejenak di ruang kepala sekolah, lalu menuju tempat pertemuan. Kepala Sekolah SDI Kekawii Darius Senda membuka pertemuan. “Ini pertemuan sosialisasi berkaitan dengan anak-anak kita, berkaitan dengan keamanan anak-anak kita di rumah,” kata Darius, yang telah 30-an tahun bekerja sebagai guru.
Dia minta kami perkenalkan diri sebelum bicara. Perkenalannya singkat saja. John Ire bicara kesempatan pertama. John bilang, Lembaga Perlindungan Anak Kabupaten Ende dibangun karena kepedulian bersama untuk menciptakan lingkungan yang lebih baik bagi anak. Orang-orang yang terlibat di lembaga ini berasal dari berbagai latarbelakang profesi. Ada wartawan, tokoh agama, aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat, pengacara, para pendidik, dan lain-lain. Lembaga ini sudah hampir dua tahun dari satu tempat ke tempat lainnya di seluruh kecamatan di Kabupaten Ende bicara mengenai Undang-Undang Perlindungan Anak. Bicara mengenai situasi anak dan pentingnya memberikan perlindungan demi terciptanya situasi yang kondusif bagi anak. Anak dalam UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak adalah orang yang berusia di bawah 18 tahun.
John bicara mengenai empat hak anak. Pertama, hak hidup. Tidak seorangpun boleh merampas hak hidup anak. Kedua, hak tumbuh kembang. Hak atas pendidikan, hak mendapatkan makanan. NTT lebih dikenal dengan busung laparnya. Busung lapar menghambat hak tumbuh kembang anak. Usia emas (golden age) anak mulai 0-5 tahun. Dalam usia itu, kecerdasan orang anak terbentuk. Kalau dalam rentang usia 0-5 tahun anak tidak mendapatkan cukup gizi untuk membentuk otaknya, maka anak itu tidak akan menjadi anak yang cerdas. “Biar kita potong ayam tiap hari untuk anak usia di atas 5 tahun, itu hanya untuk besarkan badannya. Otaknya mungkin akan kosong. Kalau otaknya kosong, anak-anak kita tidak bisa bersaing. Kalau dia ke Malaysiapun, dia tidak akan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik karena tidak bisa bersaing dengan pekerja lainnya,” katanya. Ketiga, hak atas perlindungan dari ancaman kekerasan dan kekerasan baik fisik maupun mental. “Ketika kasus kekerasan terhadap anak terjadi, penyelesaiannya bukan berorientasi pada kepentingan anak, melainkan kepentingan orang dewasa,” katanya. Hak atas perlindungan ini adalah tanggung jawab semua orang. Sebelum UU No. 23/2002, anak milik domestik, namun setelah muncul undang-undang ini anak jadi milik publik. Anak tidak lagi hanya milik keluarga, melainkan milik masyarakat. Konsep ini mewajibkan semua orang bertanggung jawab terhadap anak.
Kasus kekerasan tidak saja ditemui di keluarga, tapi juga di lingkungan sekolah. Kasus penganiayaan terhadap anak didik terjadi. Beberapa kasus kekerasan di lingkungan sekolah telah dilaporkan ke polisi dan disidangkan di pengadilan. Ada yang dikenai hukuman percobaan dan hukuman kurungan. “Tapi orang tua jangan ambil kesimpulan keliru dengan undang-undang ini. Guru cubit murid, orang tua lalu serang sekolah, atau lapor ke polisi. Sepanjang tindakan itu tidak dikategorikan sebagai penganiayaan,” kata John.
Orang tua tidak hanya tuntut guru untuk mendidik anak-anak, melainkan orang tua juga bertanggung jawab terhadap pendidikan anak-anak di rumah. “Kalau hanya tuntut sekolah, itu tidak bisa. Mendidik anak itu harus melibatkan orang sekampung,” ujarnya.
Keempat, hak partisipasi dan non diskriminasi. Anak punya hak untuk berpendapat, punya hak untuk memilih, hak untuk didengar. Tidak boleh bersikap diskriminatif tapi diperlakukan sama.
Undang-undang ini tidak boleh membuat kita takut. Bersikap tegas itu perlu, tapi tegas yang bersifat mendidik.
Jika kita meneliti kekerasan di dalam rumah tangga, akan tampak bahwa pelakunya merupakan bagian dari lingkaran kekerasan di masa kecilnya. Dia pernah jadi sasaran kekerasan. Anak adalah mesin fotokopi yang paling canggih. Dia akan memfotokopi tindakan orangtuanya. Jika anak diperlakukan dengan kasar atau mendapat kekerasan, dia akan mengalami luka traumatis.
John kemudian menggunakan analogi bibit tanaman komoditas. “Kita pilih bibit yang baik. Ditaruh dalam koker dan disiram agar bertumbuh subur. Begitu juga dengan anak-anak kita. Kita menjaganya dan memeliharanya agar dia menjadi anak yang berkualitas,” katanya.
Saya kemudian menjelaskan undang-undang perlindungan anak ini dan membacakan pasal-pasal berkaitan dengan perlindungan anak dari tindakan diskriminasi, eksploitasi ekonomi dan seksual, penelantaran, dan perlakuan tidak manusiawi lainnya. Soal larangan pelibatan anak-anak dalam kegiatan politik, kerusuhan sosial, dan peperangan. Yang paling menarik perhatian dan mungkin pula menimbulkan “kegentaran” adalah pasal-pasal pidana dalam undang-undang ini.
Tidak banyak soal jawab dalam diskusi. Selain ajakan kepala sekolah untuk memperhatikan pendidikan anak-anak dan keterlibatan orang tua dalam proses belajar dan pendidikan anak di sekolah.
Pertemuan berakhir. Kami kembali menyusuri jalan menurun berliku menuju Ende. Hujan rintik-rintik. Penambang pasir di pinggir jalan terus saja sibuk. Sesekali kami bel.

SEPANJANG jalan menuju Detusoko, arah timur Kota Ende di pinggir kiri dan kanan jalan bertaburan bendera partai dan baliho para calon anggota legislatif. Tidak ada aktivitas politik yang lebih kentara daripada pemancangan bendera partai dan baliho para caleg. Yang paling besar dan menonjol adalah baliho para caleg DPR RI dan caleg provinsi.
Kami bertiga, saya, John Ire, dan Cornelis Fromentius Rega—akrab disapa Frus – seakan menyusuri jalan dengan kawalan bendera partai dan baliho para caleg. Sementara di SDI Detusoko telah menunggu 60-an peserta pertemuan sosialisasi Undang-Undang Perlindungan Anak. Sekolah dasar ini masuk dalam kategori sekolah ramah anak. “Bicara anak” begitu kata John Ire, “tidak pernah usang. Ada banyak kasus kekerasan anak terjadi di wilayah ini”. Pelaku-pelaku kekerasan itu masih punya hubungan dekat dengan para korban. Pelaku yang seharusnya memberikan perlindungan kepada anak-anak.
Pada kesempatan ini, John Ire menegaskan lagi bahwa Lembaga Perlindungan Anak adalah kumpulan orang-orang yang peduli dengan masalah anak. Para relawan yang bekerja di luar tugas utama mereka. Komitmen hanya satu yakni bagaimana kepedulian terhadap masalah anak menjadi kepedulian bersama. Dia mulai menjelaskan prinsip-prinsip dasar dari undang-undang perlindungan anak ini. Sesekali ia memberi contoh dalam bahasa Lio. Contoh yang menarik dan lucu membuat peserta tertawa. Suasana menjadi cair.
Dia bilang bahwa Indonesia sebagai negara peserta konvensi hak-hak anak wajib mengimplementasikan kesepakatan negara peserta dalam undang-undang negara. Undang-undang perlindungan anak inipun bagian dari implementasi kesepakatan tersebut. John satu persatu menjelaskan empat hak anak. Dia menekankan bahwa undang-undang ini menempatkan anak sebagai milik bersama. Dalam pengertian, semua orang bertanggung jawab terhadap masalah anak. Anak tidak lagi milik domestik, melainkan milik publik. Perubahan paradigma dalam melihat anak ini menuntut semua orang bertanggung jawab terhadap masalah anak.
Saya diberi kesempatan untuk menjelaskan pasal-pasal pidana dalam undang-undang tersebut. Saya membacakannya satu persatu. Tampaknya pasal-pasal pidana inilah yang selalu menarik minat masyarakat.
Dalam sesi dialog, banyak pertanyaan diajukan peserta. Salah satunya mengenai definisi anak dalam undang-undang ini. Dalam undang-undang ini anak adalah orang yang telah berusia di bawah 18 tahun termasuk anak dalam kandungan. Masalahnya dalam beberapa kasus, anak belum berusia 18 tahun menikah setelah melalui proses adat. Padahal dia masih dikategorikan anak.
Menjawab masalah ini, prinsip yang mesti dipegang adalah apa yang terbaik untuk anak. Ada beberapa kasus, kedua calon pengantin belum mencapai usia 18 tahun. Namun seluruh proses (adat) telah diselesaikan. Langkah yang perlu diambil adalah bagaimana di dalam komunitas masyarakat mencegah terjadinya pernikahan anak yang belum cukup dewasa. Ini jauh lebih penting karena kita membangun kesadaran di kalangan masyarakat.
Hal yang juga mendapat perhatian adalah kekerasan yang dilakukan oleh para guru. Di beberapa tempat peserta yang dari guru sering mengatakan bahwa undang-undang ini membuat mereka tidak bisa mengambil tindakan terhadap anak-anak. Bagi mereka, tindakan yang mereka ambil adalah bagian dari pembinaan terhadap anak didik.
Kita menjawab bahwa sebagai manusia anak didik pasti berbuat salah. Apalagi anak yang masih berkembang. Masalahnya adalah bentuk tindakan yang diberikan sebagai bagian dari aspek pendidikan. Tindakan kekerasan yang melampaui batas, bahkan ketika dilaporkan ke polisi kasus tersebut memenuhi adanya unsur penganiayaan, maka tindakan itu tidak lagi dilihat sebagai aspek pembinaan dan bagian dari pendidikan. Tindakan itu sudah masuk dalam kategori penganiayaan. Untuk menimbulkan efek jera maka kasusnya mesti disidangkan. Beberapa kasus kekerasan terhadap anak didik telah diselesaikan di pengadilan. Pelakunya telah dihukum.

KEESOKANNYA saya dan Frus melakukan sosialisasi ke SDI Woloara. Kepala Sekolah SDI Woloara Bertolomeus Bere, asal Kabupaten Belu dan telah lama mengabdi di daerah ini, membuka pertemuan. Sebelumnya mereka menggelar pertemuan dengan Komite Sekolah. Pesertanya sekitar 70-an lebih.
Saya menjelaskan lagi empat prinsip dasar dari undang-undang ini dan konvensi hak-hak anak sekaligus membacakan pasal-pasal pidana. Dari satu tempat ke tempat lain, pasal-pasal pidana dalam undang-undang ini selalu menarik perhatian.
“Kami telah lama mendengar soal LPA dan kami berterima kasih telah mendapatkan sosialisasi mengenai undang-undang perlindungan anak,” kata Nurjaya, seorang peserta dalam sesi dialog.
Seorang ibu Katarina Mbulu mengatakan, mereka melihat tetangga mereka memukul anak-anaknya. “Kita mau tegur takut disalahkan. Mereka bilang kami pukul anak sendiri”. Ini menunjukkan bahwa belum terjadi perubahan paradigma dalam melihat anak. Kita ulangi kembali bahwa semua orang bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak.
Dalam diskusi kita juga mendapatkan gambaran bahwa anak-anak di daerah ini sering disuruh orang tuanya membawa sayur ke pasar dulu baru ke sekolah. Keterlibatan orang dalam proses belajar mengajar masih terbatas. Juga ada kecemasan di kalangan para guru jika memberikan “tindakan tegas” terhadap para murid. Mereka takut dilaporkan ke polisi.

ANAK-ANAK lagi bermain di halaman. Para guru lagi menyiapkan pertemuan sosialisasi. Kepala Sekolah SDI Numba Mohamad Nur menerima kami di ruang para guru. Saya, Servas Goa, dan Frus pagi-pagi berangkat dari Ende menuju SDI Numba. Sekolah ini letaknya di pinggir jalan. Peserta pertemuan sekitar 50-an orang.
Saya minta Servas Goa bicara pertama. Dia bicara prinsip-prinsip dasar dari undang-undang ini. Mulai dari hak tumbuh kembang anak, hak hidup, hak partisipasi, dan segala macam hal lainnya. Tugas saya adalah membacakan pasal-pasal pidananya.
Dalam sesi dialog banyak pertanyaan soal penelantaran anak dan tanggung jawab orang. Pertemuan di tempat ini paling ramai. Banyak peserta mengajukan pertanyaan. Kami amat dengan hati-hati menjawab karena sebagian besar pertanyaan peserta punya kaitan dengan masalah yang tengah dihadapi di kampung ini. Kami tidak ingin terjebak dalam masalah-masalah kasuistis.
Di sini juga muncul kecemasan para guru dalam soal tindakan yang mereka berikan terhadap anak didik mereka. Mereka khawatir tindakan yang mereka ambil menimbulkan kemarahan para orang tua dan membawa kasus tersebut ke polisi. Namun kita meyakinkan mereka bahwa kecemasan itu berlebihan.
Hari makin panas. Kami menggunakan salah ruang kelas. Sekolah ini terletak di pinggir laut. Angin laut berembus menusuk dada menimbulkan kesegaran. Tengah hari pertemuan selesai. Kami diundang ke ruang kepala sekolah. Lalu kami pamit. Inilah serangkaian dari berbagai pertemuan yang kami lakukan untuk mengkampanyekan lingkungan yang lebih baik bagi anak-anak. Anakmu, anakku adalah bagian dari komitmen untuk melibatkan diri dalam menciptakan lingkungan yang lebih baik bagi anak.

Flores Pos / Feature / LPA
26-28 November 2008

Tidak ada komentar: