18 Juli 2008

Kerikil Budaya dalam Sepatu Bupati

Bupati Flores Timur, Simon Hayon (kiri) dan P. Charles Beraf, SVD


Bupati Flotim membantah tuduhan bahwa dia telah menyebarkan ajaran sesat

Oleh FRANS OBON

SABTU, 12 Juli lalu, Bupati Flotim Simon Hayon bicara mengenai kebijakannya mengurus rakyat di ujung timur pulau Flores. Simon Hayon diundang Flores Pos ke dalam ruang diskusi untuk membahas kebijakan pemerintahannya. Februari 2007, Flores Pos mengundang Wakil Bupati Flotim Yoseph Lagadoni Herin untuk bicara soal perampingan struktur di birokrasi Flores Timur. Kata Yosni Herin kala itu, dampak positif perampingan struktur birokrasi, pemerintah bisa menghemat miliaran dana.

Pemimpin Redaksi Flores Pos Frans Anggal mengatakan pada awal diskusi bahwa diskusi bersama Bupati Flotim ini digelar agar publik Flores dan Lembata tahu bagaimana sebuah pemerintahan mengurus rakyatnya. Merampingkan struktur birokrasi sebagai bagian kecil dari reformasi birokrasi telah dilakukan oleh Simon Hayon-Yosni Herin. Namun, publik juga ingin tahu apa yang terjadi dengan Flores Timur pasca perampingan dan gagasan pembangunan yang dirancang pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya. Karenanya tema diskusinya, “Seputar Kebijakan Pemkab Flotim”.
Pastor Charles Beraf SVD ditunjuk sebagai moderator. Pastor kelahiran Lamalera, Kabupaten Lembata ini mengerti kultur lamaholot. Lantaran juga Bupati Simon Hayon merancang pembangunan di tanah nagi berbasis kultur lokal. Itu juga alasannya sebagian besar peserta diskusi orang-orang Flores Timur di Ende.
“Guru politik saya adalah Bung Kanis,” kata Bupati Simon pada awal diskusi. Bung Kanis yang dimaksudkan Bupati Simon adalah Kanis Pari, politisi PDI yang telah mengkaderkan banyak mahasiswa NTT untuk tertarik dan terjun dalam kancah politik. Kanis Pari meninggal saat lagi masih aktif jadi anggota DPR RI, beberapa tahun lalu. Orang-orang yang pernah mengenalnya mengumpulkan tulisan, ceramah, karyanya, dan pidatonya dalam berbagai kesempatan dalam sebuah buku.
Bung Kanis, kata Simon, mengajarkan dirinya untuk melihat politik sebagai medan kerasulan awam. Ini istilah di dalam Katolik yang membedakan tugas seorang imam Katolik dan yang bukan imam. “Saya berusaha memenuhinya”. Dengan persepsi begini, politik pembangunan adalah juga bagian dari wilayah kerasulan. Dia bilang, mestinya medan kerasulan ini mendatangkan kesejahteraan bagi rakyat. Rakyat hidup makin baik. Namun sebaliknya yang terjadi ketidakadilan. Lalu, pembangunan itu untuk apa? “Ada kontradiksi antara apa yang kita ucapkan dan kenyataan yang kita lihat. Kalau terjadi ketidakadilan dan kemiskinan, berarti diri kita sebagai citra Allah direndahkan,” katanya.
Kemiskinan dan ketidakadilan terjadi karena lemahnya leadership (kepemimpinan) dan konsep pembangunan yang keliru. Pemimpin lebih menonjolkan aspek kekuasaan daripada kepemimpinan. “Saya tidak percaya kalau ada yang bilang bangsa kita tidak punya uang. Uang ada, tapi yang diperlukan adalah leadership yang mengelola uang itu”.
Konsep modernisasi bikin orang terperangkap dalam sistem yang rakus. Manusia disubordinasikan dalam sistem yang rakus itu. Ukuran kemajuan dalam sistem modernisasi adalah berapa sekolah yang dibangun, berapa panjang jalan yang diaspal, berapa rumah sakit dan pusat kesehatan masyarakat yang dibangun. “Kadang-kadang angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu direkayasa”. Ukuran keberhasilan adalah apakah ada lapangan kerja baru yang diciptakan dan apakah ada perluasan usaha dan kesempatan berusaha. “Pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu omong kosong,” kritiknya.
Konsep pembangunan kita sekarang menggunakan standar Barat. Kebudayaan ditempelkan pada pariwisata. “Semuanya lari ke ekonomi. Kita menjadi bangsa yang keropos. Kita kehilangan jati diri. Sekarang ini kita alami krisis 3F (food, fuel, finance/pangan, energi, dan keuangan). Bangsa kita hancur dan tak punya harga diri,” katanya.

Lalu, Bupati Simon bicara konteks Flotim. Dia bilang, dia bangun Flores Timur dengan paradigma budaya. Orientasi pijakannya budaya setempat. Budaya lamaholot yang bening, yang jujur, dan adil. Orang-orangnya bisa membedakan mana ujung, mana pangkal. Kekuasaan diabdikan sepenuhnya untuk rakyat. Karenanya sejak awal dia menghindari kesan pemerintahannya memperjualbelikan kekuasaan. Menyitir Injil, “Carilah dahulu Kerajaan Allah, yang lain akan ditambahkan padamu”.
Implementasi dari ini adalah dia mengutamakan pembangunan sumber daya manusia. Manusia Flotim yang baik, jangan diusir seperti hewan. Namun pembangunan itu juga berkeadilan yang berkelanjutan. Dia mau rakyat Flotim itu punya daya saing, punya fitrah yang baik, dan ada kompetisi yang sehat. Karena itu, dalam memenangkan tender proyek, dia sungguh memperhatikan aturan. Kalau kontraktor menangkan tender proyek, itu karena aturan ditegakkan.
Tata kelola keuangan juga dia buat transparan dan akuntabel. Dia menyebutkan program alokasi dana desa (ADD) berkisar Rp70 juta hingga Rp100 juta. Dia menuntut agar pengelolaan dana ini proporsional dalam arti tidak hanya kemajuan fisik, tetapi juga dalam pengelolaannya harus ada kejujuran, keterbukaan, dan gotong royong. “Kalau Anda tidak jujur kelola uang ini, Anda gagal kata saya kepada masyarakat”.
Bupati Simon mengatakan, dia utamakan pembangunan di desa-desa. Kalau orang ke Kota Larantuka dia melihat jalan-jalan di kota kurang baik, itu karena dia mulai dari desa. “Yang sengsara itu desa”. Dampak positif dari memprioritaskan masyarakat pedesaan itu sudah mulai tampak. Di Solor sudah mulai kelihatan.
Dia juga bicara uang lauk pauk yang sempat diprotes para guru. Dia bilang, pemerintah sudah sediakan dana Rp10 miliar untuk uang lauk pauk para pegawai negeri sipil dengan besarnya per hari Rp7.500. Kalau ditambah Rp2.500 lagi, itu berarti pemerintah mesti cari dana tambahan Rp3 miliar. Keputusan untuk memberikan uang lauk pauk itu kita ambil, katanya, karena pemerintah prihatin dengan para pegawai. Tetapi tidak ada uang dari Jakarta. “Meski DPRD sudah setuju, tetapi sebagai pemegang otoritas saya tidak akan lakukan”. Jangan sampai ada tirani minoritas di dalam soal ini. “Kalau 50 persen tambah satu minta saya berhenti karena hal ini, saya berhenti”.
Seorang peserta, John Philipus dalam sesi diskusi bilang, apa yang sedang terjadi di Flores Timur saat ini adalah bagian dari dendam politik dan dalam konteks Pilkada berikut. Bupati Simon jawab, “Jangan kita wariskan dendam politik”. Soal pilkada, “Saya secara pribadi tidak bisa berdiri kangkang. Kaki saya yang satu untuk periode sekarang, satu kakinya lagi untuk periode berikut.” Dia tetap konsentrasi urus rakyat sekarang. Karena itu dia katakan, “Kalau mau jadi bupati, pergi ke rakyat”.
Menurut dia, banyak tokoh adat di kampung-kampung bilang kepadanya bahwa kalau proses penganiayaan ini terus berlangsung, mereka akan turun. “Tetapi saya tidak mau membenturkan mereka. Mungkin orang-orang ini sedang berkelahi dengan dirinya sendiri,” katanya.
Bupati Simon sedikit terenyuh ketika bicara soal lunturnya nilai-nilai lokal. “Maaf, saya terenyuh kalau bicara soal nilai-nilai yang telah hilang”. Berkali-kali ia menegaskan bahwa tidak benar tuduhan ia telah menyebarkan ajaran sesat. Dia menggali tradisi lamaholot untuk menemukan kembali hawa bening yang telah terganggu. “Saya bicara sejarah, bukan ajaran. Sejarah itu kan masih berevolusi. Nanti saya dibilang menyebarkan ajaran sesat”. Hawa bening ini terganggu karena kita terikat dengan hal-hal material. Kita sekarang ibarat sedang diayak. “Yang kita temukan banyak orang punya pengetahuan, tetapi kurang miliki kebijaksanaan”.
Kesulitan saat ini, katanya, adalah kita kehilangan jati diri. Ketika kita angkat, orang kaget. Sekarang pemerintah sedang menyusun sistem lokal (sislok) yang mengeksplorasi potensi budaya lamaholot. Sistem lokal ini akan menjamin keberlanjutan pembangunan nilai di Flotim. “Sehingga ketika saya tinggalkan, hal itu akan berjalan dalam sistem. Bangun sistem juga adalah pembangunan. Jangan kita bicara koordinasi tapi sistemnya tidak ada”.
Dia tidak tertarik membentuk lembaga pemangku adat, sebagaimana dianjurkan seorang peserta diskusi. Dia menghidupkan saja tradisi-tradisi luhur yang tengah dipraktikkan masyarakat di desa-desa yang lahir secara spontan. Kalau pemerintah hidupkan sanggar-sanggar seni, tentu perlu biaya. “Saya lebih suka dengan syair-syair dulu yang lahir secara spontan”.
Sekarang ini sulit membentuk banyak lembaga budaya karena orang bergerak kalau ada uang. Di partai politik, orang lebih pragmatis, sehingga orientasi ideologis jadi lemah. “Orientasi jangka pendek semua”.
Bupati Simon tampaknya begitu terobsesi untuk menghidupkan budaya lokal lamaholot dan menggali nilai-nilai luhur yang hidup di tengah masyarakat. Namun ketika obsesi “meluruskan sejarah” itu bersentuhan dengan sensus religiosus yang hidup di masyarakat, ada kemungkinan dia disalahtafsir. Itu disebabkan karena dia berbicara di depan orang-orang yang tingkat pemahaman dan tingkat pendidikannya beragam. Apalagi ketika analisis “sejarah” untuk memahami buana alit dan buana agung itu didasarkan pada kemiripan nama, yang bisa saja hanya sebuah kebetulan belaka. Meski Bupati Simon mengatakan, semua yang dia katakan sebagai “kawasan sejarah” itu masih perlu diteliti secara empiris oleh lembaga penelitian ilmiah. Sejarah memang terbuka untuk pencarian terus menerus. Namun jangka waktu lima tahun kekuasaannya terlalu singkat untuk “pencarian dan pelurusan sejarah” yang begini rumit. Apalagi kalau pencarian ini melibatkan publik dengan beragam kepentingan. Pencarian historis kultural dengan cara begini rumit sama dengan menempatkan kerikil di dalam sepatu sendiri. Kerikil budaya ini yang akan mengganggu Bupati Simon.

Flores Pos Feature Flotim 19 Juli 2008

Tidak ada komentar: