Oleh FRANS OBON
DEPARTEMEN Agama Kabupaten Ende tidak ingin kehilangan momentum. Meski belum tuntas seratus persen pengerjaannya, mereka bikin diskusi di kantor mereka yang baru di Jln Katedral. Kantor berlantai dua ini belum dipasang keramik dan gorden. Untuk menutup lantai aula yang masih kasar itu, dua karpet warna hijau dan merah dibentangkan. Tapi kantor ini representatif bagi sebuah kantor pemerintah untuk urusan hubungan antaragama-agama di Indonesia.
Indonesia memang bukan negara agama dan bukan pula negara sekuler. Pemerintah mendirikan Departemen Agama, yang dalam masa reformasi pasca pemerintahan Soeharto tidak termasuk departemen yang diserahkan ke pemerintah daerah, untuk mengurus dan mengatur hubungan antaragama-agama. Departemen Agama adalah konsensus founding fathers (pendiri-pendiri bangsa Indonesia) untuk mengakomodasi pandangan kelompok-kelompok agama dan kelompok-kelompok nasionalis dalam sejarah kemerdekaan Indonesia modern.
“Agama, Etnisitas, dan Demokrasi”, begitu tema diskusi 28 Mei lalu itu menghadirkan sekitar 50 kaum muda dari berbagai agama. Di deretan panelis, dosen Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero Pater Budi Kleden SVD, Pendeta Gereja Syaloom Ende, Y. A. R Tarully, Kepala Departemen Agama Kabupaten Ende Agustinus Tungga Gempa, Ketua Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Ende Fransiskus A R Senda, dan Basirun Samlawi dari Kantor Pengadilan Agama Kabupaten Ende dengan pemandu diskusi Frans Obon dari Harian Flores Pos.
Menurut Ketua Panitia Yosef Nganggo, momentum yang menjadi trigger (pemicu) diskusi adalah Indonesia sedang merayakan seratus tahun kebangkitan nasional, sepuluh tahun reformasi Indonesia, dan dalam usianya yang ke-50 tahun Kabupaten Ende yang dibentuk tahun 1955 akan menggelar pemilihan bupati dan wakil bupati secara langsung. Bersamaan dengan itu, Provinsi NTT menggelar pemilihan langsung gubernur dan wakil gubernur untuk pertama kalinya oleh 2,6 juta pemilih dari 4 juta lebih penduduk provinsi kepulauan ini pada tanggal 11 Juni 2008.
Pemilu kepala daerah yang dilakukan secara langsung, kata dia, menjadi tonggak bagi demokrasi di tingkat lokal, sekaligus menjadi momentum bagi rakyat untuk memilih bupati dan wakil bupati yang berkualitas yang mampu mengelola pemerintahan secara lebih efisien, efektif, dan produktif.
Faktor etnisitas dan agama dalam konteks Indonesia justru berperan penting di dalam pembentukan karakter pembangunan bangsa. Pluralitas jika ditransformasikan secara produktif, akan menyumbangkan pertumbuhan demokrasi, namun sebaliknya bisa memicu konflik kalau setiap kelompok gagal membangun sikap solidaritas sebagai warga negara-bangsa (nation-state).
Agama dan etnisitas, kata Budi Kleden, punya hubungan tak terpisahkan di dalam masyarakat agraris-tradisional. Satu kelompok etnis punya konsep mengenai relasi dengan Yang Ilahi. Ritme keagamaan bersatu dengan ritme sosial. Struktur keagamaan menjadi bagian dari struktur masyarakat secara keseluruhan. Ritus pertanian, misalnya, diawali dan disertai dengan ritus keagamaan suku. Kesatuan kepercayaan dan kebersamaan dalam ritus keagamaan merupakan jaminan keutuhan masyarakat. “Prinsip yang berlaku di sini adalah satu masyarakat, satu kepercayaan”. Agama menjadi sesuatu yang alamiah seperti etnisitas.
Orientasi masyarakat sebagai satu kesatuan ini masih terbilang kuat ketika agama-agama mondial seperti Kristen, Islam, Hindu, dan Budha masuk ke Flores. Tetapi bisa saja orang-orang dari etnis yang sama memeluk salah satu agama mondial yang sama. Namun agama mondial umumnya memisahkan etnisitas dan agama. Hal itulah yang memungkinkan, misalnya, agama Kristen dianut pula oleh orang-orang di luar Yahudi kendati tokoh-tokoh awalnya berkebangsaan Yahudi. Demikian dengan Islam. Di sini agama tidak lagi terikat dengan etnisitas dan bersatu dengan struktur masyarakat awal. Agama lebih sebagai pilihan pribadi seseorang, meski mayoritas dari etnis tertentu memeluk agama lain.
Meski mengandalkan kebebasan pribadi, kata Budi Kleden, tetap saja ada kemungkinan satu etnis memeluk agama tertentu. Pilihan ketua suku, pilihan seorang raja juga menjadi pilihan warganya. Agama diturun-temurunkan bersamaan dengan etnisitas. Dalam kekristenan dikenal dengan apa yang disebut cuius regio eius religio, yang artinya siapa punya wilayah, dia punya agama.
Meski agama di masa modern tidak secara otomatis berkaitan lagi dengan etnisitas, namun bagaimanapun agama dan etnisitas tetap saja menjadi unsur penting dalam menentukan identitas seseorang. Identitas atau kesadaran diri seseorang ditentukan oleh kelompok. Semakin kuat ikatan kelompok, makin kuat pula pengaruhnya pada pembentukan identitas seseorang. Agama dan etnisitas di dalam masyarakat tradisional cukup kuat mempengaruhi identitas seseorang. Karena kuatnya pengaruh kedua unsur ini, maka seseorang bisa mengidentifikasikan dirinya dengan kepercayaan dan etnisitas kelompok.
“Saya adalah anggota suku atau bangsa tertentu dan umat beragama atau kepercayaan tertentu. Apa yang terjadi dengan saya mengundang reaksi dari suku dan orang seagama dengan saya. Apa yang dikatakan orang tentang suku dan agama saya, merupakan pujian atau penghinaan terhadap diri saya,” katanya.
Paradoks
Globalisasi punya dampak besar melonggarkan dan mungkin pula melepaskan ikatan etnis dan agama. Kemajuan komunikasi dan ilmu pengetahuan, kata Budi Kleden, serentak menjauhkan atau mengasingkan dan mendekatkan kita. Ciri mendua dari globalisasi itu dapat terlihat di dalam dua gejala ini. Pertama, terjadi perenggangan ikatan etnis dan religius. Orang dari berbagai etnis dan agama berbeda bisa saja bersatu dan bekerja sama menanggapi keprihatinan kemiskinan, misalnya. Globalisasi mendorong terbentuknya persekutuan-persekutuan baru yang mungkin jauh lebih mengikat daripada kelompok-kelompok tradisional. Kedua, terjadi penguatan ikatan etno-religius. Globalisasi tidak saja melonggarkan, tetapi dapat pula mendorong menguatnya kembali ikatan kesukuan dan keagamaan. Hal itu dimungkinkan dua hal. Pertama, pencarian kepastian dan identitas. Keberagaman orientasi dan nilai membuat orang gamang mengenai identitasnya. Nilai-nilai goyah. Pengetahuan baru dan rombaknya struktur lama membawa kegoncangan identitas. Orang lalu kembali kepada identitas lama. Kedua, reaksi terhadap tekanan dan dominasi yang tidak adil atau pengalaman ketertindasan. Penindasan itu bisa terjadi pada level global, nasional, dan lokal. “Dalam tingkat yang lebih sempit, suku-suku tertentu merasa tertindas secara politik. Maka isu inipun menguat,” katanya.
Basirun Samlawi juga melihat globalisasi telah mempengaruhi identitas kesukuan dan religius masyarakat modern. Migrasi penduduk yang makin cepat oleh penemuan teknologi komunikasi dan transportasi tidak saja menggeserkan nilai-nilai, tetapi juga mengubah komposisi penduduk. Masyarakat yang sebelumnya mayoritas berubah jadi etnik minoritas, katanya.
Akibat dari interaksi ini, katanya, terjadi dialektika pemikiran dan pemahaman yang mendorong terjadinya tafsiran baru mengenai agama, budaya, dan politik. Perubahan ini mengakibatkan disorientasi nilai dan kultural. Tidak banyak orang siap memasuki global village atau global city ini. Mereka mencari bentuk hubungan lama baik budaya maupun agama yang memberi mereka rasa aman dan identitas. Alienasi kultural dan politik diperkuat lagi oleh proyek-proyek kapitalisme yang menindas, yang cukup sulit dilawan secara personal. Modernisasi tidak memberi jawaban terhadap masalah masyarakat, sehingga lahirlah gerakan-gerakan sempalan.
Globalisasi memang membawa paradoks dan ketegangan. Orang jauh bisa terasa dekat, orang dekat bisa terasa jauh, begitu kata Budi Kleden. Ketegangan tidak saja terjadi antarbangsa, tetapi ketegangan terjadi antara kepentingan individu yang mendapat tempat yang wajar di dalam negara demokratis dan kepentingan umum. Seperti terjadi banyak kali, demi kepentingan umum, pemerintah menggilas hak-hak individu. Atas nama kepentingan umum, pemerintah membayar ganti rugi tanah dengan cara yang tidak wajar. Ataupun sebaliknya, demi kejayaan individu, orang mengabaikan kepentingan umum yang lebih besar. Demi menumpuk kekayaan pribadi, misalnya, orang bisa melakukan korupsi sehingga mengabaikan kepentingan umum. Rakyat dirugikan oleh perilaku pengambil kebijakan publik yang tidak pro kepentingan rakyat banyak.
Ketegangan juga terjadi antara universalisme dan partikularisme. Semua agama memiliki dimensi universalitasnya. Tetapi serentak pula agama punya dimensi partikularitasnya di dalam konteks penghayatan dan tafsirannya. Karena agama terikat pula pada konteks dari orang-orang yang menghayatinya.
Basirun menegaskan hal ini dalam sesi diskusi. Menurut dia, agama tidak lahir dalam situasi hampa kultural. Kalau kita mau pahami agama, harus paham pula kultur dan konteksnya. Ilmu pengetahuan, misalnya, adalah produk kultural.
Pelangi Esoterisme
Tema diskusi ini dikeroyok dari berbagai perspektif. Y A Reiwuty Tarully dari perspektif Kristen, Budi Kleden dari perspektif Katolik, Basirun Samlawi dari perspektif Islam, Agus T Gempa dari perspektif pemerintah, dan Frans A R Senda menjelaskan mekanisme demokrasi dari sudut pandang Komisi Pemilihan Umum. Keberagaman perspektif tentu saja akan memperkaya sudut pandang dan melipatgandakan cara-cara baru dalam menafsir realitas kehidupan. Ini sama artinya keberagamaan agama dan etnis akan memperkaya kehidupan bersama. Sekaligus ingin menegaskan lagi bahwa keberagamaan menyumbangkan sesuatu yang berarti bagi pengembangan demokrasi.
Agama, begitu Agus T Gempa, punya sumbangan besar bagi pembangunan masyarakat, mendorong terjadinya perubahan sosial dan perubahan nilai-nilai lama ke nilai-nilai baru. “Agama berfungsi sebagai daya gerak, daya dorong serta sumber inspirasi yang sanggup mengubah hati dan sikap manusia, yang menentukan arah dasar hidup manusia serta menata ulang mentalitasnya,” katanya.
Dia mencontohkan pulau Flores. Pengaruh agama Katolik yang dikembangkan misionaris Eropa begitu kuat mengubah mentalitas dan membangun jati diri orang Flores melalui pendidikan dan dunia kerja. Pengaruh transformatif serupa terjadi oleh perkembangan Islam, Kristen dan Hindu di Flores.
Meski demikian, agama juga perlu menafsirkan ulang perannya ketika menghadapi makin derasnya arus globalisasi, yang mengagungkan kejayaan individu dan kebebasan pribadi serta timbulnya pluralisme akibat dari makin intensnya perjumpaan orang dari berbagai latarbelakang politik, ekonomi, budaya, dan agama. Agama dituntut menafsir ulang perannya sehingga tetap aktual dan relevan. “Agama adalah kekuatan penafsir, pemakna dan pengarti setiap peristiwa hidup penganutnya,” ujarnya.
Pemerintah, lanjutnya, berkewajiban memenuhi hak dasar warganya yakni hak memeluk agama dan beribadat menurut keyakinannya. Departemen Agama adalah institusi negara yang mengatur hubungan dan kepentingan agama-agama tanpa campur tangan soal doktrin, ibadah, dan urusan internal lainnya.
Keberagaman ibarat bunga warna-warni yang biasa menghiasi altar kehidupan manusia. “Kalau hanya kuning, itu tidak indah. Saya kira tidak ada orang yang tidak suka pelangi. Dekorasi di depan meja panelis ini menunjukkan pluralisme,” kata Tarully.
Pada masa Yesus, begitu dia menjelaskan, pelayanan dan dialog Yesus menjangkau orang Yahudi dan bukan Yahudi, menyentuh berbagai lapisan mulai dari akar rumput hingga elite agama. Santo Paulus (1 Korintus 12) menggambarkan jemaat Kristen itu sebagai satu tubuh tapi banyak anggota. “Rasul Paulus melihat dan membaca realitas kehidupan jemaat yang pluralistis, terdiri dari berbagai suku, bahasa, budaya, tradisi, namun dipersatukan di dalam Kristus,” katanya.
Ini artinya secara internal agama Kristen menerima dan mengakui pluralitas suku, budaya, tradisi, dan tingkat ekonomi yang berbeda-beda. Secara eksternalpun, agama Kristen mengakui kepelbagaian agama sebagai realitas sosial yang tidak dapat dimungkiri. “Pluralitas itu dipandang sebagai rahmat Allah yang memperkaya kehidupan internal dan eksternal agama”.
Konsekuensinya, jika secara internal Gereja menolak adanya kepelbagaian, maka akan terjadi konflik. Demikian pula jika agama menolak kepelbagaian agama-agama lain. Karenanya demokrasi adalah jalan yang bisa dilalui untuk mendapatkan kedamaian dan kerukunan.
Jika kepelbagaian itu adalah pelangi indah, maka bagaimana agama-agama menjalin kebersamaan untuk mengeroyok dan menggempur musuh kemiskinan, ketidakadilan, dan otoritarianisme di dalam pemerintahan yang menyalahi prinsip-prinsip demokrasi.
Basirun Samlawi mengusulkan agar nilai-nilai dasar dan terdalam (esoterisme) di dalam budaya dan agama menjadi basis bersama untuk membangun keajekan hubungan antaragama dan etnik demi membangun kebaikan dan kepentingan bersama. “Esoterisme secara instrinsik memang bersifat universal dan terbuka serta meniscayakan pluralisme,” katanya.
Namun, bukanlah berarti pluralitas agama-agama yang sifatnya eksoteris bertentangan dengan esoterisme. Karena dimensi eksoterisme adalah perwujudan dari dimensi historis dari agama-agama. Agama-agama memiliki tradisinya masing-masing dan beragam wajahnya. Karenanya dia menganjurkan agar dimensi esoterisme agama-agama dijadikan pijakan bersama untuk mempererat kerja sama demi membangun kebersamaan sosial yang konstruktif.
Subsidiaritas
Di dalam Gereja Katolik, begitu kata Budi Kleden, orang Katolik didorong untuk terlibat aktif di dalam kehidupan politik. Dalam pidato radionya untuk perayaan Natal 1944, Paus Pius XII mengajak orang Kristen tidak hanya memainkan peran sosial-karitatifnya di dalam tananan negara demokrasi, melainkan mesti lebih tegas dan aktif melibatkan diri dalam kehidupan politik. Orang Kristen perlu menyumbangkan kepada umat manusia, “yang merindukan bentuk-bentuk yang lebih baik dan lebih sempurna dari demokrasi”.
Gereja Katolik melihat partisipasi dalam politik sebagai “panggilan berat namun mulia”. Konsili Vatikan II mengingatkan orang yang mendapat panggilan sebagai politikus berani “menentang setiap bentuk ketidakadilan dan penindasan, melawan kesewenang-wenangan dan intoleransi terhadap kelompok lain”.
Meski Gereja Katolik mendorong demokratisasi kekuasaan, namun Gereja mengingatkan beberapa hal ini. Pertama, melindungi kelompok etnis dan agama dalam negara demokratis. Gereja Katolik selalu mengawasi tendensi sentralisasi kekuasan yang memangkas segala tanggung jawab dan inisiatif warga. Dengan ini Gereja Katolik ingin menegaskan bahwa demokrasi tidak menjadi satu bentuk legitimasi untuk meniadakan kelompok-kelompok warga. Inilah prinsip subsidiaritas, yang menghargai “kemampuan setiap manusia baik pribadi maupun kelompok untuk mengutamakan usahanya sendiri, sementara pihak yang lebih kuat siap membantu”.
Kedua, fanatisme dan fundamentalisme. Menurut Gereja Katolik, kedua hal ini akan membahayakan demokrasi. Fundamentalisme dan fanatisme agama dan etnis juga akan membahayakan demokrasi karena menutup mata terhadap kepentingan umum.
Ketiga, pengerahan suara demi membentuk mayoritas. Demokrasi dilihat sebagai wadah pemerintahan yang menjamin hak-hak asasi manusia. Namun dengan mekanisme yang demokratis, orang bisa mengambil keputusan dengan “tidak mempertimbangkan norma-norma keadilan dan moralitas, melainkan berdasarkan kekuatan jumlah suara yang diperoleh dan kemampuan finansial kelompok-kelompok yang mendukugnya” (Centesimus Annus 47). Di sini Paus Johanes Paulus II mengingatkan dua hal yakni pertama, menggunakan isu-isu tertentu untuk menggalang mayoritas suara. Di sini orang bisa menggunakan etnik dan agama sebagai isu untuk menggalang mayoritas suara. Kedua, kekuatan finansial atau politik uang menjadi salah satu sarana yang banyak kali digunakan untuk merebut dukungan.
Beri-Terima
Demokrasi, kata Budi Kleden, berbasiskan pada rakyat. Kekuasaan dari rakyat yang tercermin dalam seleksi pemimpin, rakyat terlibat di dalam pengambilan keputusan, dan kekuasaan harus diabdikan untuk rakyat. Rakyat di sini dimengerti, pertama, sebagai individu tiap warga negara. Karenanya demokrasi adalah sistem penyelenggaraan kekuasaan yang mendukung penghormatan hak asasi manusia sebagai individu. Individu diberi ruang di dalam negara demokrasi untuk ikut menentukan kepentingan seluruh rakyat. Kualitas demokrasi ditentukan oleh kesediaan dan kesiapan setiap warga untuk menjadi warga yang demokratis. Jika demikian, kita menghadapi masalah serius sebenarnya bila keputusan individu diserahkan kepada pemimpin suku, agama, partai.
Kedua, rakyat dimengerti sebagai kelompok warga. Dalam konteks ini, demokrasi tetap mengakomodasi dimensi sosial dari individu. Di dalam negara demokratis terdapat kemajemukan kepentingan yang tampak di dalam pengorganisasian diri masyarakat. Tiap individu dapat membentuk satu wadah untuk memperjuangkan kepentingan mereka. Dalam konteks demikian, dalam pandangan Budi Kleden, demokrasi sedang terancam bila ada kelompok kepentingan tertentu tanpa alasan mendasar tidak menghendaki kelompok kepentingan lain hidup di dalam negara demokrasi itu. Sebaliknya demokrasi bisa terwujud apabila semua kelompok termasuk kelompok agama dan etnis dibiarkan hidup dan memberikan kontribusinya bagi kehidupan bersama.
“Kita tidak dapat menilai sebuah keputusan sebagai keputusan demokratis apabila isi dari keputusan itu adalah penindasan terhadap kelompok agama tertentu atau pemangkasan etnis tertentu. Perjuangan menuju demokrasi serentak berarti perjuangan untuk mengukuhkan hak-hak suku-suku kecil atau kelompok-kelompok religius yang membentuk minoritas,”katanya.
Agama dan etnisitas bisa berperan positif terhadap demokrasi karena demokrasi mengandaikan adanya nilai-nilai seperti solidaritas, penghargaan terhadap orang lain, kesediaan berkorban, dan kerelaan menerima kekalahan. “Tidak ada demokrasi apabila tidak ada belarasa, kalau yang kuat hanya mau menang sendiri, jika tidak ada kesediaan menerima kekalahan”.
Namun agama dan etnisitas dapat merongrong demokrasi bila ada sikap arogan dan triumfalistis, menindas dan memperlakukan kelompok etnis dan agama lain secara tidak adil. “Egoisme dapat muncul dari arogansi mayoritas atau sakit hati minoritas. Demokrasi terwujud apabila kita sanggup keluar dari arogansi dan sakit hati”.
Dalam sesi diskusi, Budi Kleden menegaskan lagi bahwa karena kita hidup di dalam masyarakat majemuk, maka mestinya ada kerelaan memberi-menerima. Ada konsensi untuk tidak menggunakan apa yang dituntut oleh agama saya. “Salah satu prinsip demokrasi adalah memberi dan menerima. Masyarakat harus saling belajar”.
Hubungan agama dan etnisitas sebagaimana ditunjukkan oleh Budi Kleden memang berjalan evolutif. Pada masyarakat tradisional-agraris, agama dan etnis berbaur menjadi satu. Struktur-struktur sosial kemasyarakatan memperlihatkan relasi yang ajek antara etnis-agama. Tetapi migrasi penduduk terutama di dalam kehidupan masyarakat modern, agama dan etnisitas merenggang, terutama oleh penekanan pada kejayaan dan kebebasan individu. Pilihan terhadap agama-agama mondial melalui jalan pertobatan entah pribadi maupun massal menunjukkan bahwa ikatan etnis-agama mulai longgar.
Namun di pihak lain globalisasi memperlihatkan hubungan yang paradoks. Masyarakat yang kalah mencari imbangan di dalam tata hubungan internasional atau nasional ataupun lokal kembali kepada identitas suku dan agama. Globalisasi tidak sepenuhnya memperlebar ruang bagi bertumbuhnya masyarakat terbuka (open society), tetapi di sana-sini menimbulkan ketakutan kehilangan identitas. Agama dan suku menjadi ruang lama yang terbuka kembali untuk penegasan identitas. Anggur lama etnis dan agama (etno-religio) ditaruh di dalam kerbat baru (konteks baru) masyarakat modern. Idealnya adalah anggur baru, kerbat baru.
Agama dan etnisitas dapat memberikan sumbangan pada demokrasi jika anggur lama etnis dan agama itu difermentasi kembali untuk menghasilkan anggur baru esoterisme yang menekankan nilai-nilai yang sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Sehingga apa yang terjadi adalah kerbat baru globalisasi tidak lagi membuat orang kembali ke identitas lama kesukuan dan agama, melainkan makin terbuka dalam membangun kerja sama untuk kebersamaan sosial yang lebik baik. Dengan itu agama dan etnisitas menyumbangkan bagi kemajuan dan kebaikan bersama dalam tatanan yang lebih demokratis.
Flores Pos Feature Demokrasi 21-23 Juli 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar