Oleh FRANS OBON
DUA hari setelah ditahbiskan uskup, Rabu 10 Juli 1996, saya bersama wartawati majalah Hidup, Sylvia Marsidi mewawancarai Uskup Agung Ende (alm) Longinus da Cunha. Uskup Longinus yang dikenal teratur bicaranya mengambil moto audiens et proclamans (mendengarkan dan mewartakan) menerima kami di ruang tamunya.
Ada satu pertanyaan remeh temeh dari saya. “Bapak Uskup, apa yang akan dibuat untuk sekolah-sekolah Katolik”. Uskup mengatakan, “Kita akan benahi kembali”. Tampaknya Uskup Longinus punya agenda serius membenahi sekolah-sekolah Katolik. Keuskupan menggelar Musyawarah Pendidikan Katolik (Musdikat) di Mataloko.
Gagasan membenahi sekolah-sekolah Katolik ini kemudian bergulir. Eres Kleden melaporkan untuk Mingguan Dian edisi 21 Maret 1997 pertemuan Majelis Pendidikan Katolik (MPK) Keuskupan Agung Ende di Pondok Bina Pengembangan Sosial Ekonomi, 26-28 Februari 1997. Ada tiga langkah yang diambil yakni pertama, MPK melakukan konsolidasi yayasan-yayasan Katolik meski MPK tidak bisa mencampuri urusan internal yayasan-yayasan; kedua, yayasan-yayasan perlu kreatif membaca peluang-peluang yang tersedia; ketiga, reorientasi menyeluruh mengenai pendidikan Katolik.
Pertemuan akbar Musdikat ini dikoordinasi Pusat Pastoral (Puspas) Keuskupan Agung Ende. Direktur Puspas kala itu, Romo Vincent Sensi Potokota Pr diserahi tanggung jawab. Saya bertemu Romo Sensi – sekarang Uskup Agung Ende – tanggal 4 Juni 1997 di ruang kerjanya dan hasil reportasenya dimuat dalam Dian 13 Juni 1997.
Musdikat yang akan digelar Oktober 1997 di Mataloko itu, katanya, mau membahas tanggung jawab umat Katolik terhadap keberadaan sekolah-sekolah Katolik, terutama keberadaan sekolah-sekolah dasar Katolik. “Sekolah umat seharusnya menjadi tanggung jawab umat. Namun harapan itu belum terpenuhi seluruhnya”. Menurut dia, peran Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan (BP3) sebagai perwujudan partisipasi umat belum cukup, kita masih memerlukan partisipasi umat secara keseluruhan. “Peluang kerasulan dalam bidang pendidikan adalah sesuatu yang nyata dan amat vital. Kita jangan menghilangkan peluang untuk berkarya di bidang pendidikan, betapapun kita mengalami kesulitan”.
Pertemuan yang lahir dari keprihatinan keuskupan mengenai kondisi sekolah-sekolah Katolik ini, kata Romo Sensi, mau menghasilkan langkah-langkah konkret antisipatif terhadap tantangan ke depan. Musdikat ini tidak saja berbicara mengenai lembaga pendidikan Katolik, melainkan pendidikan Katolik secara keseluruhan.
Redaktur Pelaksana Dian Thom Wigyanta melaporkan hasil reportasenya dengan Ketua Yayasan Persekolahan Umat Katolik Ende-Lio (Yasukel), Romo Domi Balo Pr di kantornya, 30 Juli 1997 pada Dian edisi 8 Agustus 1997. Menurut Romo Domi, Musdikat itu yang dicuatkan dalam Surat Gembala Uskup mau menyamakan wawasan antara pengelola yayasan dan umat sebagai pemilik sekolah. Umat perlu bicara dan tahu tempat dan tanggung jawab mereka, sehingga yayasan tidak melayang-layang sendirian. “Kami sudah turun ke sekolah-sekolah berbicara mengenai wawasan kekatolikan dan tanggung jawab umat. Karena terlalu banyak sekolah, maka kami putuskan untuk menggelar Musdikat. Apa gunanya kita mengklaim sekolah itu jika kita tidak berbuat apa-apa”.
Sebagai Wakil Redaktur Pelaksana Dian kala itu, saya usulkan ke Pemimpin Redaksi Pater John Dami Mukese SVD untuk menggelar diskusi menjelang Musdikat 15-19 Oktober 1997 di Mataloko. Pater Dami setuju dan diundanglah beberapa tokoh yang dianggap kompeten: Dokter Johanes Bosco Do yang saat itu menjabat Kepala RSUD merangkap Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Ende, Kepala SMK Negeri 2 Ende Stefanus Sugiyono, dosen Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa (STIPAR) Theo Uheng, Ketua Majelis Pendidikan Katolik Keuskupan Agung Ende Thomas Dolaradho, Koordinator Musdikat sekaligus Direktur Puspas Keuskupan Agung Ende Romo Vincent Sensi Potokota Pr. Diskusi berlangsung di Redaksi Dian, 11 September 1997.
“Pendidikan Katolik dalam Dunia yang Berubah,” begitu judul rangkuman diskusi tersebut yang ditulis Thom Wigyanta dalam Dian edisi 19 September 1997. Diskusi ini tidak saja menegaskan kembali pentingnya mempertahankan sekolah Katolik, melainkan juga pentingnya pendidikan Katolik. Dokter Don Bosco Do kala itu menegaskan bahwa Musdikat ini penting dengan dua alasan, pertama, misi sekolah Katolik harus tetap dipertahankan sedangkan visinya akan kita sesuaikan dengan perubahan zaman; kedua, banyak peluang-peluang baru dan kita harus menangkap peluang-peluang ini. “Para penyelenggara dan pelaku pendidikan Katolik harus lebih fleksibel”.
Kesimpulan penting dari diskusi ini adalah kita perlu dan akan tetap mempertahankan sekolah-sekolah Katolik, mempertajam visi dan misinya, menegaskan lagi identitas Katolik, menangkap semangat jaman, dan membangun solidaritas umat untuk menghimpun dana abadi bagi pendidikan Katolik yang akan dikelola secara transparan.
Ketika masalah Korem di Flores lagi hangat, diundanglah tokoh-tokoh Katolik dalam sebuah pertemuan terbatas. Saya hadir saat itu bersama Pater John Dami Mukese. Dari sekian awam Katolik yang diundang, hanya dokter Don Bosco Do dan satu dua awam hadir. Padahal, pertemuan itu sama sekali tidak menjadi forum untuk memutuskan menolak atau menerima. Pertemuan itu hanyalah mendiskusikan dan membahas kecemasan masyarakat mengenai rencana militer membangun Korem di Flores pasca jajak pendapat di Timor Timur, September 1999.
Apa yang ingin saya katakan adalah bahwa di saat dokter Don dibutuhkan untuk memberikan pendapat, dia selalu siap menyumbangkan apa saja yang dia mampu. Dia tidak kikir membagi ide dan gagasannya untuk kebaikan banyak orang. Dalam banyak kesempatan diskusi mengenai masalah-masalah politik dan kemasyarakatan, dia terkesan memiliki kepedulian dan keprihatinan yang terungkap dari kesungguhannya dalam menghadapi permasalahan dan mencari jalan pemecahannya. Dia mampu merasakan kecemasan masyarakat.
Figur yang Bersih
Tanggal 29 Juni lalu, saya kirim email ke Pater John Dami Mukese SVD yang masih mengambil studi doktoralnya di Filipina bahwa dokter Johanes Don Bosco Do berpasangan dengan Theofilus Woghe dicalonkan PDI Perjuangan dalam pemilihan kepala daerah di Kabupaten Nagekeo, yang baru terbentuk setahun lalu. Saya minta pendapatnya mengenai profil dokter Don sejauh dia kenal. Tanggal 7 Juli lalu, dia membalasnya tiga halaman penuh.
Pater Dami bilang, dokter Don adalah seorang cendekiawan. Dia memiliki pengetahuan dan wawasan yang cukup luas. Dia memiliki kemampuan untuk mengasimilasi informasi yang diperolehnya baik dari dunia sekitar melalui pergaulan sehari-hari maupun informasi dari televisi dan surat kabar. Dia mampu mengelola informasi ini bagi kehidupan konkret baik bagi kepentingan pribadinya maupun yang berkaitan dengan profesinya.
Menurut Pater Dami, dokter Don cerdas dalam mengkaji dan mengolah informasi. Satu kemampuan atau skill yang sangat dibutuhkan oleh seorang yang bergerak di bidang politik atau yang berkaitan dengan kepentingan publik (bonum commune). “Dalam banyak kasus ketika bersama di Ende dulu, tampaknya ia tidak naif dalam arti tidak picik dalam memberi tafsiran pada isu-isu atau peristiwa yang dihadapinya.” Dokter Don juga terkesan cukup hati-hati dalam memberikan komentar atau pernyataan dan selalu berusaha bersikap rasional dan arif, tidak terkesan emosional.
Sebagai tokoh politik, kata Pater Dami, dokter Don akan menggunakan politik bagi kepentingan umum. Dia memiliki wawasan dan gagasan tentang pembangunan daerah atau bagaimana membangun daerah dan dia memiliki kemauan baik untuk mewujudkan gagasannya. Ketika menjabat Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Ende, memang terbukti memuaskan. Pengalaman-pengalamannya ini akan menjadi pelajaran terbaik untuk memimpin kabupaten baru itu. Keuntungan lain adalah dokter Don memiliki pengalaman kepamongprajaan. “Sekurang-kurangnya dia tahu atau memiliki latarbekalang bagaimana bekerja dalam birokrasi pemerintah dengan segala seluk beluk dan tetek bengeknya”.
Dokter Don yang saya kenal sejak 1990-an, tegasnya, bukan saja memiliki hubungan yang baik dengan Gereja tetapi juga memiliki rekor atau track record yang baik dalam hidup menggerejanya baik sebagai anggota umat Allah maupun sebagai seseorang yang mewakili sekelompok orang dalam lingkungan kerja atau masyarakatnya.
“Sikapnya yang positif dan responsif terhadap isu-isu yang menyangkut kehidupan atau kepentingan Gereja adalah modal yang baik untuk bisa berdiri sebagai tonggak pemberi arah kepada orang-orang Katolik di Kabupaten Nagekeo. Gereja bisa menaruh kepercayaan kepadanya bahwa dalam hal-hal prinsipil kegerajaan, dia dipastikan tidak akan mudah melawan Gereja atau bertindak bertentangan dengan ajaran Gereja dan tidak bakal menyesatkan banyak orang. Dengan kata lain dia memiliki integritas iman yang bisa diandalkan”.
Pergaulannya juga luas, memiliki kemampuan berbicara yang baik sehingga dia bisa mengkomunikasikan ide atau gagasannya dengan jernih dan mudah ditangkap. “Dia tidak berbicara berbelit-belit, sebaliknya lurus dan bahkan terkesan blak-blakan”.
Dia memiliki public record yang baik. “Sejauh yang saya tahu, Don termasuk pejabat yang cukup bersih dalam perjalanan kariernya. Dengan public record ini, saya yakin dia bakal mendapat kepercayaan dari masyarakat pemilihnya”.
Guru dokter Don di SMAK Syuradikara, Agus Beu Mude mengaku, dokter Don itu orang pintar, tetapi dia bukan tipe yang suka menonjolkan diri. Sifatnya rendah hati dan disipilin. Agus mengatakan kepada saya, 14Juli lalu di rumahnya bahwa sejak masih sekolah, dokter Don punya bakat dan kemampuan memimpin.
“Dia tepat memimpin Nagekeo. Saya lihat anak muda lebih condong memilih tokoh muda yang punya visi dan vitalitas. Saya kira dia cocok, pertama karena fisiknya dan kedua cara dia berpikir. Dia punya wawasan untuk membangun. Orang muda memang lebih mudah menjangkau semua wilayah kabupaten. Nagekeo butuh pemimpin dengan fisik yang kuat dan vitalitas tinggi. Saya kira keduanya (Don dan Theo) punya fisik yang kuat dan sehat dan vitalitas tinggi,” katanya.
Pemimpin Nagekeo, kata Agus, harus punya ote dan ate (otak dan hati). Dokter Don memiliki dua hal ini. Dia pintar, cerdas, dan punya hati. Dia bergaul dengan siapa saja dan tidak ingin menonjolkan diri. Dia punya prinsip. Mungkin karena itu orang menganggap dia sombong. Tapi punya prinsip adalah juga ukuran kualitas seorang pemimpin. “Dia juga orang jujur dan figur macam itulah yang dibutuhkan rakyat.”
Nagekeo sebagai kabupaten baru pasti punya masalah dengan tanah. Menurut Agus Beu, kalau terpilih jadi bupati, dokter Don punya kemampuan untuk mengatasi masalah tanah. Pendekatannya pasti bisa diterima oleh masyarakat.
Don adalah tokoh yang menonjol dari utara dan dia bisa berperan mempersatukan masyarakat Nagekeo menuju visi kesejahteraan bersama. Tugas keduanya nanti adalah membangun etos kerja masyarakat dan keduanya harus memberikan contoh dan teladan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
“Pasangan ini ideal. Kalau jalan dari utara ke selatan, misalnya perlu fisik yang kuat. Orang muda lebih mudah toh. Keduanya punya ote dan ate”.
Theo sendiri adalah pribadi otodidak, katanya. Dia wakil ketua Induk Koperasi Kredit (Inkopdit) Jakarta. Kopdit di wilayah Ngada dan Ende maju. “Saya bangga dengan kemajuan kopdit ini. Saya kira dia punya tempat di hati insan-insan kopdit,” katanya.
TANGGAL 30 Juni lalu, saya mewancarai dokter Don. Bicaranya jernih dengan nalar yang runtut. Sebelum jadi pemimpin, begitu dia membuka pembicaraannya, orang harus tahu siapa dirinya, who are you atau who am I. Siapa Anda? Siapa saya? Mengenal diri itu penting.
Saya bertanya mengenai impiannya tentang Nagekeo. “Saya ingin masyarakat sehat, cerdas, sejahtera, dan berbudaya”. Seorang pemimpin harus jujur, cerdas dan tegas. Dia harus cerdas menyerap banyak hal, berani membawa orang-orang yang punya keahlian dalam bidangnya ke dalam satu visi dan misi, dan jujur kepada diri sendiri dan terhadap orang lain. Karena banyak kali pemimpin bertindak hanya mau menguntungkan kliknya, tetapi lupa pada panggilan dasarnya. “Kalau sekadar cita-cita mau jadi bupati tapi tidak buat apa-apa untuk masyarakat, buat apa kita jadi bupati”.
Orang Kecil
Dia terkesan dengan pertanyaan guru SMP Negeri 2 Mbay, Moses Boo usai pendaftaran di Komisi Pemilihan Umum. “Saya bertanya buat kalian berdua,” kata guru itu, “ kalau guru dalam menghayati profesinya, tabernakelnya adalah murid. Kalian berdua?”
Ini pertanyaan mendasar. Metafora ini sangat indah dan menyentuh dan menggugah kesadaran agar kami melihat pencalonan ini sebagai panggilan. Tabernakel pemimpin Nagekeo ke depan adalah rakyat Nagekeo. Metafora ini mengajarkan kami untuk menangani masyarakat Nagekeo itu seperti kita makan bubur panas. “Kalau kita makan bubur panas, kita tidak mungkin mulai dari tengah kan? Kita mulai dari pinggir”. Ini juga mengajarkan kepada kami nanti bahwa membangun masyarakat Nagekeo itu mulai dari masyarakat yang terpinggirkan, masyarakat yang terisolasi, masyarakat kuju noe, yang lemah dan tak berdaya.
Kalau kita bekerja dengan anggaran yang bertumpuk-tumpuk, itu sangat mudah karena tinggal kita atur dan pakai saja. Tetapi kita bekerja dengan anggaran yang sedikit (kecil). Siapa yang didahulukan dalam menggunakan anggaran yang sedikit ini? “Mereka yang terpinggirkan. Adil itu kan bukan berarti bagi rata, melainkan kita menolong yang belum mampu, yang tidak bisa. Kita akan berusaha memenuhi kebutuhan dasar dengan anggaran yang terbatas itu. Pilihan kita kepada petani karena hampir 80 persen penduduk Nagekeo adalah petani,” katanya.
Ini pilihan cerdas. Karena petani punya tanah untuk digarap, mereka bisa beternak di atas lahan pertanian itu. Dari riset penerima hadiah Nobel dari Bangladesh Muhamad Yunus, kita mendorong masyarakat untuk menabung, menyimpan uang dari hasil pendapatannya. Muhamad Yunus berkeyakinan bahwa kita menolong masyarakat yang belum bisa mereka lakukan. “Prinsip kita adalah hanya orang miskin yang bisa menolong orang miskin. Saya tidak mengingkari bahwa ada orang yang sudah jadi kaya memberikan amal kepada orang miskin, seperti Bill Gates”.
Pilihan itu mengharuskan dirinya untuk membangun kultur, budaya Nagakeo. Dokter Don mengatakan, dia tidak akan menggunakan teori-teori yang abstrak dan kerangka kerja konseptual yang tidak dapat diterapkan. Kita hidupkan saja praktik-praktik sederhana yang telah hidup di kalangan masyarakat. Orang di dalam komunitas setempat itu saling menolong. Tentu kita tidak menafikan pengaruh modern sekarang. Tetapi apa yang saya maksudkan adalah dari amatan saya kita bisa menolong orang lain melalui cara share (syering), saling membagi. Kita beli bibit kayu, bibit ternak, kita share. Inilah yang saya sebutkan kita sendirilah investornya. Solidaritas adalah nilai yang akan selalu kita hidupkan terus di dalam komunitas kita. “Mereka akan saling awasi di dalam komunitas mereka. Kalau orang itu tidak bisa dipercaya lagi untuk pimpin komunitas, kepercayaan itu diambil kembali”.
Prakarsa rakyat ini jauh lebih penting untuk dijaga dan terus menerus dibangkitkan. Karena kalau kita hitung, jalan raya yang dibangun masyarakat jauh lebih besar daripada yang dibangun pemerintah. “Jadi, kita tidak sepenuhnya menganut paham bahwa pemerintah punya kewajiban penuh menyediakan semuanya”.
Birokrasi
Secara teoritis, organisasi itu bergerak dan hidup seperti organisme yang memiliki daya untuk bertahan hidup dan berkembang menjadi lebih besar. Birokrasi (PNS) juga bergerak dengan cara seperti itu yakni bertahan hidup dan berusaha bertumbuh besar. Namun dia lupa kehadirannya untuk apa. Sampai sekarang ini memang yang tidak jalan adalah reformasi birokrasi. Sesungguhnya reformasi birokrasi itu dapat dipermudah oleh kemajuan teknologi informasi (IT).
Prinsip dasarnya adalah birokrasi itu melayani rakyat. Apa yang bisa kita lakukan adalah merampingkan struktur di kabupaten, membuat gemuk di kecamatan. Satuan kerja perangkat daerah yang karena skill-nya diperlukan oleh masyarakat, maka dia tidak perlu jauh-jauh dari masyarakat. Guru, tenaga kesehatan harus ada di desa. Bagaimana membuat mereka betah di desa, seluruh fasilitas akan dibangun sesuai dengan prinsip tersebut. “Kita akan melihat orang-orang yang punya pengalaman di lapangan dan punya bakat-bakat khusus tidak perlu ada di kabupaten. Orang-orang yang ada di kabupaten adalah orang-orang yang punya kemampuan analisis, sehingga kita tidak perlu kantor besar dan ruang yang besar di kabupaten. Kita manfaatkan bersama saja ruang yang ada,” katanya.
Dokter Don bilang pada saya bahwa dia akan mengembangkan kepemimpinan suportif. Hal ini mengharuskan dia dan wakilnya berlaku sebagai teladan. Tidak perlu perbuatan besar sekali untuk mengimplementasikan prinsip ini. Ketika makan, tidak perlu kita tunggu orang lain ambil piring untuk kita. Sebaliknya kita bisa ambil piring untuk orang lain.
Pilihannya untuk terjun ke politik pilkada boleh dibilang sebuah peralihan. Bergerak dari spesialis ke generalis. Dari urus pasien ke urus rakyat sekabupaten. Memang sudah banyak contoh politisi dan pemimpin dengan latarbelakang profesi dokter. Meski begitu, saya bertanya apa yang bisa dia pelajari dari profesi dokter dalam mengelola pemerintahan, merancang pembangunan masyarakat dan membawa rakyat menuju kesejahteraan.
Dia bilang mari kita lihat cara kerja dokter. Begitu pasien datang, seorang dokter dengan tekun mendengar keluhan pasiennya. Dari keluhan itu, dia mulai periksa. Jika dokter perlu bantuan laboratorium, dilakukan pemeriksaan laboratorium. Semua itu hanyalah alat bantu bagi seorang dokter untuk melakukan diagnosa. Itupun differential diagnosis (kemungkinan diagnosa). Dokter memilih diagnosa yang paling dekat dan paling mungkin (working diagnosis), lalu ambil tindakan. Diagnosa itupun diuji lagi dengan memberikan rentang waktu untuk melihat efeknya pada pasien.
Sistem kerja ini sedikitnya akan berpengaruh ketika kita melihat persoalan masyarakat. “Dalam dua tahun terakhir, saya keliling dari kampung ke kampung untuk ‘mendiagnosa’ masalah masyarakat Nagekeo. Saya berbicara dan bertanya kepada banyak orang. Sedangkan 4-5 bulan terakhir baru saya bertemu dengan kader partai PDI Perjuangan. Saya datang dan melihat sendiri situasi masyarakat”.
Ketika saya kunjung ke Mauwelu dan Boamau, mereka berkata, ”Suara kami terlalu sedikit, mengapa dokter datang?” “Justru karena kamu sedikit dan terpencil maka saya datang,” jawabnya. “Saya juga pergi ke Kelimari yang ditempuh tiga jam berjalan kaki. Kalau tidak sampai di kampung ini, tidak usah jadi dokter,” katanya. “Saya juga minta Pak Theo (Theofilus Woghe calon wakilnya) untuk meninjau Ujian Nasional (UN) sekolah dasar di Kelimari dan Ngera. Saya pikir kalau hanya menggunakan data statistik 2005, data itu tidak mewakili kondisi sekarang”.
Kunjungan ini merupakan bagian dari prinsipnya bahwa pemimpin harus ada di tengah rakyat (leader among the people). Bupati dan wakil bupati harus ada di tengah rakyat, sedangkan Sekretaris Daerah bertugas menjadi penggerak birokrasi. Karena pelaku utama pembangunan adalah rakyat sendiri. Dengan kemajuan teknologi, katanya, urusan administrasi bisa dilakukan di lapangan.
Dia bilang, sederhana saja masyarakat Nagekeo hanya menginginkan hal ini: tuka kami boo (ekonomi), weki kami sehat (kesehatan), dan anak kami sekolah (pendidikan).
Dokter Johanes Don Bosco Do lahir di Watuapi, Nagekeo, Flores 14 April 1957. Dia tamat dari Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada 1985. Tahun 2004 dia mengambil Program Magister dengan spesialisasi Kebijakan dan Manajamen Pelayanan Kesehatan di Universitas Gajah Mada. Dia memulai kariernya dari bawah: dokter pada pengeboran minyak lepas pantai Pertamina 1985, menjabat Kepala Puskesmas Danga, Mbay 1986-1987, Kepala Puskesmas Boawae 1987-1988, Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Bajawa 1988-1993, Direktur RSUD Ruteng 1993-1995, Direktur RSUD Ende 1995-1997, dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Ende 1997-2001, dan staf Dinas Kesehatan Provinsi NTT 2001-sekarang.
Flores Pos Profil Politik Juli 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar