Para jurnalis dan aktivis anti korupsi buat diskusi memberantas korupsi dana publik. Terbersit pesimisme karena publikasi media gagal mendorong pelaku korupsi dibawa ke pengadilan.
Oleh FRANS OBON
Di sebuah ruang ber-AC di aula Bung Karno Penerbit Nusa Indah, Sabtu pekan lalu para wartawan dan aktivis anti korupsi mendiskusikan keterlibatan mereka melawan korupsi, yang oleh beberapa kritisi menilai bahwa korupsi di Indonesia tidak lagi berada di bawah meja ataupun di atas meja, tetapi mejanya sekaligus dikorupsi.
Tampaknya para wartawan yang sering belepotan keringat di lapangan tak terlalu betah dengan pendingin ruangan, yang telah dibuka sejak semalam sebelumnya. Belum berapa lama diskusi dimulai, AC dimatikan dan jendela dibuka. Sebentar saja ruang dipenuhi asap rokok. Yang tak merokok harus sesuaikan diri.
Diskusi ini digelar Yayasan Pantau, sebuah lembaga nirlaba berbasis di Jakarta, bekerja sama dengan Persatuan Wartawan Flores (PWF) dan Harian Umum Flores Pos. Diskusi dengan tema “Anggaran Publik, Sumber Korupsi?’ menurut Koordinator Pantau di Ende Ahmad Yunus akan menjadi kesempatan syering di antara para jurnalis dalam meliput korupsi, sekaligus ajang saling belajar bagaimana mengawasi penggunaan anggaran publik oleh pemerintah dan oleh berbagai pihak yang ikut terlibat mengelola dana publik.
Paul SinlaEloE dari PIAR, sebuah lembaga swadaya masyarakat di Kupang, mengantar diskusi. Sebuah makalah kecil tujuh halaman, “Korupsi dalam Pengelolaan Anggaran Publik” dibagikan ke peserta.
Di situ Paul membeberkan temuan BPKP Provinsi NTT jumlah dana yang terindikasi diduga “dikorupsi” yang belum dikembalikan ke kas negara. Data selama periode 2003-2007 yang dipublikasikan 30 Mei 2007, terdapat 1.967 kasus dugaan korupsi dengan kerugian negara sebesar Rp50.061.226.820. Kasus yang sudah ditindaklanjuti 1.080 kasus dengan nilai kerugian Rp32.437.826.139. Sedangkan 887 kasus dengan nilai kerugian negara Rp17.633.400.680, yang tersebar di 16 kabupaten/kota di NTT belum diselesaikan.
Jika dirincikan per kabupaten/kota, tertinggi di tingkat provinsi terdapat 239 kasus dengan indikasi kerugian negara Rp5.007.695.849; Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) jumlah kasus 73 tetapi kerugian negara Rp2.177.528.592; Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) 109 kasus dengan kerugian negara Rp1.984.437.629; Kabupaten Sikka jumlah kasus 57 dengan kerugian negara Rp1.522.773.445; Kabupaten Manggarai 37 kasus dengan kerugian negara Rp1.445.318.081; Kabupaten Alor 51 kasus dengan kerugian negara Rp1.189084.790; Kabupaten Lembata 33 kasus dengan kerugian negara Rp958.446.407; Kabupaten Kupang jumlah kasus 33 dengan kerugian negara Rp682.379.281; Kabupaten Sumba Timur 28 kasus dengan kerugian negara Rp641.508.991; Kabupaten Ende 45 kasus dengan kerugian negara Rp515.958.050; Kabupaten Belu 43 kasus dengan kerugian negara Rp305.431.079; Kabupaten Sumba Barat 46 kasus dengan kerugian negara Rp248.128.986; Kabupaten Ngada 22 kasus dengan kerugian negara Rp208.943.786; Kabupaten Flores Timur 23 kasus dengan kerugian negara Rp200.751.733; Kabupaten Kota Kupang 29 kasus dengan kerugian Rp199.978.348; Kabupaten Rote-Ndao 16 kasus dengan kerugian Rp199.250.808; Kabupaten Manggarai Barat 3 kasus dengan kerugian Rp155.781.841. Total indikasi kerugian sebesar Rp17.623.400.700.
Meski angka korupsinya ada, begitu Paul bilang, tapi tidak ada koruptor yang masuk penjara.
Bagi jurnalis dan aktivis anti korupsi, penguasaan data korupsi itu penting. Bila jurnalis dan aktivis anti korupsi mau mengawasi penggunaan anggaran publik agar tidak dikorupsi, penting bagi mereka mengetahui titik-titik rawan di mana korupsi bisa terjadi dalam penggunaan anggaran publik.
Secara konseptual, ada tiga komponen utama yakni tahap perencanaan meliputi 18 tahapan di antaranya mulai dari penjaringan aspirasi masyarakat, musyawarah perencanaan pembangunan desa hingga musyawarah di kabupaten, penetuan strategi dan prioritas serta arah kebijakan umum APBD hingga sampai di satuan pemegang kas; tahap pelaksanaan mencakup 6 aktivitas yaknis asistensi DASK, penyerahan DASK, pembentukan panitia dan proses tender, kontrak/konstruksi, perubahan APBD, PHO/FHO; dan pelaporan mencakup 4 tahapan yakni monitoring, rapat koordinasi dan evaluasi, pelaporan, dan berita acara penyerahan kegiatan. Tiap tahapnya berpotensi terjadi tindakan korupsi dengan modus yang variatif.
Jika kemudian para jurnalis dan aktivis anti korupsi mau ikut berperan aktif melawan korupsi, maka penting selain menguasai data tetapi juga membangun jaringan kerja baik di dalam lembaga birokrasi maupun di luar lembaga birokrasi.
“Kita percaya bahwa masih ada orang di dalam birokrasi yang baik yang bersedia memberikan data korupsi kepada kita. Data-data itu biasanya valid dan pelaku tidak bisa berkelit,” kata Paul.
Data dari orang dalam, kira-kira begitu, adalah salah satu cara membongkar korupsi dari dalam. “Data orang dalam ini” jauh lebih valid jika dibandingkan dengan data-data yang diberikan BPKP.
Dalam banyak kasus, kata Benny R Hendrik dari Expo NTT, data BPKP tidak bisa dijadikan data tunggal yang bisa menjerat koruptor untuk dibawa ke pengadilan. Hal yang sama disampaikan anggota Komisi B DPRD Ende Yustinus Sani. “Kita mesti memiliki data pembanding, yang bisa kita dapat dari orang dalam,” katanya.
Dalam kasus korupsi, auditor BPKP jadi saksi ahli tapi dalam banyak hal pula kehadiran saksi ahli justru sering membebaskan pelaku dengan menyebut data korupsi yang tercantum dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPKP hanyalah kesalahan administratif pelaporan. Auditor tidak lagi menjadi perangkap untuk menangkap pelaku, tetapi justru membebaskannya.
Dalam diskusi ini yang dipandu Pastor Charles Beraf SVD, pentingnya membentuk jaringan memberantas korupsi dianggap akan dapat membantu para jurnalis dan aktivis anti korupsi saling memberikan data dan membagi teknik memasukkan koruptor ke dalam perangkap hukum.
Tetapi terbersit pula pesimisme di kalangan jurnalis bahwa mereka hampir saja “kehabisan” tinta dan kertas untuk menulis kasus korupsi. Amat sukar mendorong kasus korupsi dibawa ke pengadilan.
Kalau di kalangan jurnalis, ada keinginan membentuk jaringan untuk saling memberikan data dan mendorong kasus korupsi dibawa ke pengadilan, di kalangan elite juga sudah lama membentuk jaringan yang memacetkan bola salju korupsi itu menggelinding ke meja hijau. Kasus-kasus korupsi yang pelakunya adalah pejabat daerah terkesan tidak tersentuh atau terhenti di tengah jalan atau bolak balik antara kepolisian dan kejaksaan. Lalu, pada akhirnya kasus itu di-SP3-kan (Surat Perintah Penghentian Penyidikan/SP3). Hubungan erat antara elite kekuasaan dan elite penegak hukum ikut memperkuat jaringan yang memacetkan kasus korupsi digelindingkan ke pengadilan.
Pada masa Orde Baru Soeharto, forum Muspida yang tetap hidup sampai sekarang tidak saja jadi tempat koordinasi tugas antarpimpinan pemerintahan, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan Komandan Distrik Militer (Kodim), tetapi juga menjadi tempat saling menjaga dan saling membantu memenuhi kebutuhan antarinstansi. Caranya variatif mulai dari memenuhi segala urusan instansi, perbaikan rumah dinas, hingga sampai ke rekening pribadi.
Dari bisik-bisik di belakang pintu dengan wartawan oleh aparat penegak hukum di tingkat bawahan diketahui bahwa atasan mereka seringkali ikut memberi andil terhadap lepasnya pelaku korupsi dari jeratan hukum. Aparat di tingkat bawah sudah punya komitmen menuntaskan satu kasus korupsi, tetapi mereka tiba-tiba mendapat telepon dari atasan. Ini dimungkinkan oleh lobi-lobi pelaku dan jaringannya ke tingkat yang lebih tinggi, sehingga “bola” dismash saja dari atas dan langkah aparat bawahan terhenti.
Data-data BPKP juga susah dijadikan data yang bisa menjerat koruptor. Apalagi data-data dari Banwas, karena tergantung pada bupati. Ini tentu saja berkaitan dengan regulasi, yang mengatur bahwa uang yang disalahgunakan baik oleh karena kekeliruan administratif maupun karena jumlahnya kecil dikembalikan ke kas negara tanpa melalui proses hukum. “Kesalahan administratif” inilah yang bisa menyelamatkan muka dan membebaskan pelaku korupsi dari jeratan hukum. Karena itu peserta diskusi mengatakan penting juga jurnalis mengawasi kinerja auditor.
Pesimisme menulis kasus korupsi di kalangan jurnalis juga muncul oleh adanya fakta bahwa sering pula oknum-oknum penegak hukum tertentu menjadikan berita kasus korupsi sebagai alat untuk menekan pelaku menyelesaikan kasus korupsi di balik pintu. Dengan koran di tangan, orang-orang ini bertemu pelaku dan “menyelesaikannya” melalui cara-cara yang telah mereka sepakati bersama. Karenanya media merasa pemberitaan mereka hanyalah alat di tangan orang-orang tertentu untuk menekan dan menakut-nakuti pelaku. Karena itu juga seperti kata Paul SinlaEloE dari PIAR bahwa orang tidak lagi malu namanya disebutkan di koran sebagai pelaku korupsi.
Ini juga berakar di dalam budaya kita. Seperti dikatakan Pemimpin Redaksi Flores Pos Frans Anggal, kita hanya merasa malu (shamed culture) kalau perbuatan korupsi itu diketahui orang lain, tetapi masyarakat kita tidak punya budaya merasa bersalah (guilt culture). Kecuali, kata dia, aparat penegak hukum kita menggunakan perangkat hukum dengan pembuktian terbalik. Karena kelemahan inilah, pers bisa digugat balik dengan tuduhan mencemarkan nama baik. Apalagi biasanya aparat hukum proaktif menangani kasus pencemaran nama baik, sementara kasus korupsinya terunda-tunda sampai pejabat berikutnya datang.
Yang terjadi sekarang, lanjutnya, kita juga tidak bisa mengandalkan aparat penegak hukum, “karena kucing yang mau menangkap tikus adalah juga tikus berwajah kucing”.
Beruntung diskusi ini tidak sampai bolak balik apakah korupsi ini disebabkan oleh kelemahan regulasi atau kelemahan moral. Kalau oleh karena kelemahan regulasi, korupsi menjadi balon yang digantung jauh di atas kepala tak terjangkau tangan. Kalau oleh karena kelemahan moral, maka akan dengan mudah kita jatuh pada solusi perlunya meningkatkan ibadat atau sesering mungkin mendengar kotbah atau ceramah agama sebagaimana muncul pula dalam diskusi. Faktanya memang adalah pelaku rajin beribadat dan menggunakan simbol-simbol agama.
Ketua Persatuan Wartawan Flores (PWF), Hiero Bokilia dari Flores Pos mengatakan, masalahnya justru di penegak hukum. Ketika koran memberitakan kasus korupsi, mereka menangkap peluang tersebut dan menuju ke sumber korupsi. Setelah mereka dapat data, mereka diam.
“Saya jenuh menulis kasus korupsi. Berkali-kali saya menulis. Ada jaringan di sini. Para koruptor itu punya uang dan kalau dia sudah kasih, kasusnya putar-putar di antara mereka saja. Kalau terus menerus bolak balik, ya di-SP3-kan,” kata Benny R Hendrik dari Expo NTT.
Para jurnalis dan aktivis anti korupsi sepakat bahwa sesering mungkin mereka membuat pertemuan untuk saling menukar informasi dan data.
Yustinus Sani menekankan hal ini. “Kalau kasus korupsi itu muncul dari laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPKP, tak akan pernah masuk. Karena mekanisme kerja BPKP itu, mereka datang ambil data rekap yang diberikan oleh objek terperiksa,” kata Sani.
Jaringan perlu dibangun untuk menyuplai informasi, kata Sani. Namun dia mengingatkan pula agar “Jangan sampai data-data korupsi yang diberikan dijadikan ATM”.
Memang repot menulis korupsi.*
Flores Pos | Feature | Korupsi |24 Mei 2008 |
Email: franscoid@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar